Senin, 06 Juli 2015

ERIC CANTONA DARI BANDUNG





Sebuah kenangan terasa menyenangkan karena ia tidak akan bisa terulang. Tidak perlu memaksa untuk melupakan, sebab akan ada masa di mana kenangan pergi sendirian kemudian menghilang.

“Kamu masih ingat enggak waktu acara 17-an pas kita masih kelas 3 SMP?” kataku pada seorang wanita yang sedang terbaring di atas sebuah kasur putih yang tipis. “Waktu itu ada lomba bikin kue gitu di setiap kelas. Ketika selesai, kue itu dibagi-bagi dengan cara setiap anak cewek memotong kue itu lalu menyerahkan potongannya ke anak cowok yang dia ingin.”

Aku menghentikan kata-kata sebentar, memberi jeda dan mengambil nafas panjang sambil tanganku menggenggam punggung tangannya.

“Waktu anak cewek satu per satu memberi kuenya ke anak cowok, satu ruangan kelas jadi heboh,” Lanjutku. “Pas tiba giliran kamu memotong kue itu, anak cowok sekelas jadi lebih heboh, semua pada ngarep dapat kue dari kamu. Iya! Siapa sih yang enggak mau dapat kue dari kamu, Resti Faradilla, murid cewek paling cantik di kelas.”

Aku memandang langit-langit sebentar sebelum kembali melanjutkan kata-kataku.

“Kue yang kamu potong tersebut, ternyata kamu kasih ke aku. Aku disoraki anak cowok sekelas. Siapa sangka Sakti Ari Setyo, murid yang pendiam bahkan culun bisa mendapatkan potongan kue dari murid perempuan tercantik di kelas,” Aku tersenyum sejenak. “Saat itu aku tidak bertanya kepadamu, kenapa kamu memilih aku? Aku malu.Hehehe. Tapi sejak saat itu, aku mulai memperhatikanmu. Tentunya secara diam-diam.”

Jarum jam yang menempel di tembok sudah menunjukan pukul lima. Suara jarum detik yang bergerak di sana samar-samar terdengar memecah kesunyian ruangan. Ruangan yang berisi aku, dia yang sedang terbaring dan seseorang yang menemaniku di belakang.

“Kamu tahu enggak?” aku melanjutkan ceritaku. “Pas malam harinya waktu kamu kasih aku kue itu, aku iseng menelpon ke rumahmu dan kamu yang menerima. Aku grogi. Dan ketika kamu bertanya siapa aku, aku dengan bodohnya mejawab kalau namaku itu Eric Cantona. Tiba-tiba telepon kamu tutup dan aku enggak berani lagi menelpon kamu. Aku bego ya? Ngakunya pakai nama Eric Cantona. Hahaha”

"....."

“Terus waktu kita lulus SMP, aku diam-diam mendaftar ke SMA yang sama dengan kamu. Iya! Biar kita bisa satu sekolah lagi,” Aku menarik nafas panjang sebentar. “Tapi ternyata takdir berkata lain, Aku berhasil diterima masuk SMA itu tapi kamu gagal diterima. Akhirnya kita berpisah. Saat itu aku khawatir takut enggak bisa ketemu sama kamu lagi?”

Kugenggam tangannya lebih erat lalu kulihat wajahnya. Saat ini wajahnya tampak begitu pucat dan tampak kurus.

“Setahun, dua tahun sampai akhirnya enam tahun kemudian, tahun 2009, kita ketemu lagi secara enggak sengaja. Kita ketemu di lobby XXI, kamu saat itu sedang menunggu pacar kamu yang sedang ke toilet. Kita sama-sama sedang ingin menonton film Night at The Museum 2. Kita ngobrol sebentar lalu kamu minta nomor handphone dan akun Friendster aku.”

Kamu masih ingat enggak, Res? Kalau lupa juga enggak apa-apa, aku masih ingat kok.

“Sejak saat itu kita jadi lebih sering berkomunikasi, ngumpul sama teman-teman lain dan tanpa sengaja kita pernah jalan berdua. Kamu inget enggak waktu itu kita janjian jalan berempat tapi tiba-tiba dua teman kita itu batal datang, akhirnya kita jalan berdua. Hehehe”

Aku menyibak rambutnya yang menghalangi telinganya.

“Waktu itu kamu mau beliin baju buat pacar kamu, tapi nyocokinnya pakai badan aku. Kasirnya sempat mengira kita pacaran loh, aku inget banget waktu itu dia bilang, ‘Baju ini buat pacarnya, mbak? Saya kira cowok yang sama mbak itu pacarnya’. Waktu dengar kata-kata itu, enggak tahu aku harus senang atau sedih. Hahaha”

Aku kembali menghela nafas panjang.

“Tapi yang paling enggak aku lupain itu, waktu kita berdua pergi ke Solo naik kereta buat datang ke pernikahan sahabat kita. Di kereta kita ngobrol banyak tentang film, buku dan lagu. Kita berdebat tentang penyanyi yang suka cover lagu penyanyi lain. Aku enggak suka, tapi kamu suka. Saat itu kamu belain Ruth Sahanaya yang nyanyiin lagu Andaikan Kau Datang-nya Koes Plus dan setahun kemudian kamu ngajakin aku nonton konser 25 tahunnya Ruth Sahanaya. Dari sana aku baru sadar, ternyata kamu benar. Lagunya Koes Plus jadi bagus banget dibawain sama dia.”

"....."

“Andaikan kau datang kembali... Jawaban apa yang kan kuberi...” Aku menyanyikan sebait lagu andaikan kau datang. “Maaf ya suaraku jelek, Res. Makanya kenapa kalau kita karaoke-an, aku selalu nyanyi lagu Kangen Band. Biar suaraku masuk.”

Aku tersenyum sendirian. Kulihat dia yang dari tadi kuajak bicara masih saja terdiam tanpa kata.

“Pas di kereta, kamu juga cerita tentang hubungan kamu sama pacar kamu sampai akhirnya kamu mengantuk dan tertidur di bahu aku. Saat itu aku tidak bisa tidur, yang aku rasakan hanya detak jantungku yang berdetak agak cepat dan wangi rambutmu yang ingin aku belai tapi aku takut.”

Aku membelai rambutnya yang tampak lusuh dan merapihkan poninya yang sedikit menutupi matanya, kemudian aku kembali tersenyum sambil menggenggam tangannya tapi dia seakan tidak peduli denganku. Wajahnya enggan menoleh padaku sampai akhirnya dia bangun dari posisi tidur dan duduk di atas kasur tipisnya. Tatapan matanya kosong memandang lurus ke depan.

“Kenapa, Res?” Aku bertanya kepadanya.
“.....”

“Kamu mau apa? Kamu sudah makan?”

“Makan?” Jawabnya pelan. Akhirnya dia menoleh kepadaku tetapi tetap dengan pandangan yang kosong.

“Iya. Makan. Kamu sudah makan belum?” Tanyaku kembali.

“.....”

“Iya. Eh, aku punya sesuatu buat kamu,” Aku mengambil tasku dan mengeluarkan sebuah kotak yang di dalamnya ada sebuah donat. “Nih aku bawain kamu Donat J.Co, kamu masih suka yang Choco Loco kan?”

Aku membuka kotaknya lalu mengambil sebuah donat dan kuberikan kepadanya. Dia langsung mengambil donat yang aku pegang dengan antusias, seperti anak kecil yang sedang diberikan mainan oleh ayahnya. Aku tertawa pelan tapi tanpa tersadar air mataku sedikit keluar. Entah yang keluar itu air mata bahagia, haru atau sedih tapi yang pasti aku langsung menyekanya dengan jari tanganku.

“Aduh.. Udah gede kok makannya masih belepotan sih.Hehehe” Kataku karena melihat ada krim cokelat yang menempel di atas bibirnya

“.....”

Aku merogoh kantong jaketku dan mengambil tisue. Aku bersihkan mulutnya yang kotor berlumur krim cokelat, “Pelan-pelan ya makannya, res.”

Dia menatapku tetap dengan pandangan matanya yang kosong kemudian tiba-tia ia tertawa sendirian lalu kembali memakan donat yang masih tersisa di tangannya. Aku tersenyum dan air mataku kembali keluar lagi tapi kali ini tidak langsung kuseka.

“Res.. Terima kasih ya buat semuanya. Semua kenangan-kenangan manis yang mungkin kamu enggak sadar udah kamu kasih buat aku. Sehingga setelah dulu kamu pergi, aku masih bisa tersenyum dengan kenangan,” Kubelai lembut rambutnya kemudian kukecup keningnya. “Terima kasih.”

Tiba-tiba dia menatapku denga tatapan yang tajam tapi beberapa saat kemudian raut mukanya berubah menjadi ketakutan. Dia berteriak kencang, meracau tidak jelas lalu kembali berteriak lagi. Donat yang masih ada ditangannya tiba-tiba dilemparkan ke arahku, lalu ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Menangis dan kembali berteriak histeris.

“Bunda, Resti kenapa, Bun?” Aku bertanya kepada seorang wanita paruh baya yang ada di belakangku yang sejak tadi ada di ruangan bersamaku. Dia adalah ibunda dari Resti.

“Sudah, tidak apa-apa, nak.” Jawabnya. Dia lalu berjalan menuju pintu ruangan dan memanggil beberapa orang suster kemudian kembali lagi, “Yuk, nak Sakti. Kita ke luar. Biarkan mereka yang menangani."

“Iya, bunda.”

Aku bersama ibunda Resti berjalan ke luar, sebelum melewati pintu aku sempat menoleh ke arah Resti yang sedang ditenangkan oleh beberapa orang suster. Dia masih menutupi mukanya dan berteriak histeris. Sebuah pemandangan yang sangat mengiris hati.

Sepanjang berjalan di koridor Rumah Sakit, Ibunda Resti bercerita tentang keadaan Resti. Jadi empat bulan yang lalu suami, anak perempuannya yang masih berumur 2 tahun dan ibu mertuanya meninggal dunia karena mengalami kecelakaan di tol Cipularang. Mobil yang dikendarai suaminya mengalami pecah ban kemudian hilang kendali lalu sebuah truk tronton menyambar mobilnya.

Sejak peristiwa tersebut, kejiwaan Resti terganggu. Dia sering kurang tidur, berbicara dan tertawa sendiri ketika melihat foto suami dan anaknya, lalu tiba-tiba mengamuk memecahkan kaca, memecahkan peralatan rumah tangga dan melempar barang-barang yang ada di dekatnya.

“Mungkin tadi ketika kamu mencium keningnya, dia kembali teringat akan suaminya yang setiap pagi sebelum berangkat kerja dan malam setelah pulang kerja selalu mencium keningnya.” Ucap ibunda Resti

”Maaf ya, bunda. Aku enggak tahu.”

“Enggak apa-apa, nak Sakti. Mohon do’anya supaya Resti bisa cepat seperti dulu lagi.”

*

“Eh, nak Sakti baru datang. Bunda sudah tunggu dari tadi loh. Bagaimana tadi perjalanannya? Naik apa? Sudah hampir setahun enggak ketemu sekarang sekarang agak gemukan nih.”

“Iya, Bunda. Sejak pindah dinas ke Bandung aku jadi gampang laperan.Hahaha” candaku. “Tadi ke sini dari Bandung ke Jakarta naik Pesawat, terus langsung lanjut naik Taksi.”

“Ooh.. ya sudah. Ayo masuk, nak.” Katanya sambil menuntunku ke teras rumahnya. Aku membuka sepatuku sambil mendengarkan cerita Ibunda Resti.

Sejak terakhir aku bertemu dengan Resti di RSJ dulu, ternyata keadaannya perlahan-lahan semakin membaik. Walaupun kadang-kadang ia mendadak suka kambuh dengan berteriak histeris. Sampai akhirnya tiga bulan yang lalu, ia dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang. Dokter bilang, selain mengalami gangguan Schizophrenia, ia juga mengalami Disosiatif Amnesia, yaitu suatu gangguan memori yang membuat seseorang kehilangan sebagian atau keseluruhan ingatan mereka. Hal ini biasanya disebabkan oleh pengalaman traumatik.

“Sekarang dia tidak ingat hal apapun tentang suami dan anaknya, entah bunda harus bahagia atau sedih,” Kata bunda Resti.

Bunda kemudian juga bercerita kalau dia sudah membuang semua benda-benda yang berhubungan dengan mereka, termasuk foto-fotonya. Kata Dokter, memori yang hilang itu mungkin memori yang selalu dia pikirkan dan dia kenang.

"Untung dia masih ingat bunda, keluarga, saudara-saudaranya dan teman-temannya yang kemarin berkunjung ke sini.” Kata Bunda lagi.

“Ooh.. Begitu ya, bunda?”

“Iya. Eh, sebentar ya Bunda panggilkan Restinya dulu.”

Ibunda Resti meninggalkanku sendiri menunggu duduk di depan teras. Aku membayangkan seperti apa dia sekarang dan apa yang harus aku bicarakan ketika nanti sudah bertemu dengannya. 

“Ini dia nih orangnya.” Kata Ibunda Resti begitu keluar dari balik pintu.

Aku menoleh ke arahnya dengan sedikit terkejut. Kulihat di sampingnya ada seorang wanita berambut hitam panjang yang agak dibuat curly di ujungnya dan memakai cardigan dan rok selutut.

Cantik.

“Hai.“ Dia menyapaku sambil tersenyum.

“Hai juga.”

“Resti Faradilla.” Katanya sambil mengulurkan tangannya padaku.

Tiba-tiba Ibunda Resti berucap, “Loh, kok malah kenalan. Dia kan—“

“Bunda… “ Aku memotong ucapan Ibunda Resti sambil sedikit menggeleng-gelengkan kepala seperti memberikan gesture kata-kata ‘Sudah gak apa-apa dia enggak ingat sama aku, bunda. Mungkin ingatan dia tentang aku juga ikut hilang’.

Aku tersenyum ke Ibunda Resti dan ia juga balik tersenyum kepadaku.

“Resti Faradilla.” Kata Resti kembali mengulangi ucapannya. Tangannya masih diulurkan ke depan.

“Eric.” Aku membalas uluran tangannya, bersalaman dengannya sambil tersenyum.

“Eric?”

“Iya. Eric Cantona.”

Terlalu indah dilupakan
Terlalu sedih dikenangkan
Setelah aku jauh berjalan
Dan kau kutinggalkan

***


Tambun, 17 Januari 2015



Tulisan cerpen ini pernah dipublikasikan di Website-nya @KomtungTV dengan judul "MEMORI".
http://komtungtv.com/detailarticle.php?vid=174&pid=9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar