“Halo, Rud! Lagi sibuk enggak?!”
“Heemm.. Enggak sih. Kenapa, Ti?”
“Lo masih suka nonton JKT48?!”
“Masih. Tapi udah jarang, Ti. Kenapa emang?”
“Gue mau nonton JKT48 dong. Di—“
“Serius lo, ti?!!”
“Eh, tungguin gue selesai ngomong dulu, nyet!”
“Oh, sorry, Ti. Hahaha”
“Gue pengen nonton JKT48 karena si Andin tiba-tiba ngajak gue nonton. Katanya dia lagi kepengen nonton JKT48. Dan gue sanggupin bakal ngajak dia nonton. ”
“Andin yang mana nih?!”
“Raihandini Fahira. Pemain keyboard Homeband yang gue kenal di acara talk show.”
“Ooh.. Si Andin pemain organ. Tahu gue. Terus?”
“Keyboard, nyet!”
“Sama aja kali.”
“Ah, bodo lah. Pokoknya lo ajarin gue nonton JKT48. Oke?!”
“Oke. Nanti malam gue ke rumah lo ya, ti.”
“Sip. Eh, ngomong-ngomong lo lagi kondangan nih? Berisik banget suaranya.”
“Enggak. Gue lagi latihan breakdance.”
“Breakdance apaan yang pake lagu Cita Citata di Remix?! Lagian sejak kapan lo suka breakdance?”
”Dari tadi siang. Ba’da dzuhur.”
Tadi
itu percakapanku dengan temanku yang bernama Rudi Dirgantara empat hari
yang lalu. Aku bercerita, ada seseorang wanita yang aku suka tiba-tiba
mengajakku nonton JKT48. Aku bingung antara menolak atau mengiyakan
ajakannya, aku bingung karena aku ini adalah seorang die hard fans band
metal sejati, mulai dari Metallica, Lamb of God, Antrhrax sampai yang
lokal seperti Seringai, Deadsquad dan Vagetoz! Ah, tapi karena yang
mengajakku ini adalah wanita yang benar-benar aku puja mau tidak mau aku
harus mengiyakan.
Demi cinta.
Ya! Cara untuk mengetahui seberapa
hebat cinta seseorang itu bisa dilihat dari seberapa besar kita mau
melakukan hal yang tidak kita sukai atau bahkan menyakitkan demi yang
kita cintai.
Sekarang aku akan sedikit menjelaskan tentang siapa
dia. Namanya Raihandhini Fahira. Nama panggilannya Andin. Tapi aku
biasanya cukup memanggilnya dengan sebutan “ndin”, lebih singkat, hangat
dan terasa dekat. Aku bermimpi dalam waktu dua bulan mendatang, aku
ingin memanggilnya dengan sebutan “sayang”. Lalu dua tahun kemudian aku
memanggil dia dengan sebutan “mamah”. Tapi ternyata di mimpiku tersebut
aku tidak senang, karena di dalam mimpiku itu andin memanggilku dengan
sebutan “Aa Abdel”.
Aku berkenalan dengannya di sebuah acara tv,
dia merupakan pemain keyboard dari homeband sedangkan aku menjadi
seorang co host-nya. Setiap hari Jum’at, selama enam bulan ini, kami
selalu bertemu di studio tv, bahkan kadang kita juga sering janjian
untuk bertemu di lain hari. Seringnya intensitas waktu untuk bertemu
ternyata membuatku yakin akan perasaanku. Di suatu hari aku pernah
mengungkapkan perasaan yang kurasakan kepadanya.
Sayangnya, dia tidak memberikan sebuah kepastian. Entah menjawab ya atau tidak. Tapi aku tidak pernah memaksanya untuk menjawab. Karena yang namanya cinta itu bukan perkara memaksakan, tapi tentang sebuah keikhlasan. Itu kata Raja Iblis Pikoro sewaktu melamar Bulma.
Sayangnya, dia tidak memberikan sebuah kepastian. Entah menjawab ya atau tidak. Tapi aku tidak pernah memaksanya untuk menjawab. Karena yang namanya cinta itu bukan perkara memaksakan, tapi tentang sebuah keikhlasan. Itu kata Raja Iblis Pikoro sewaktu melamar Bulma.
“Bagaimana, Ti? Siap
buat nonton JKT48 malam minggu ini?” Kata Rudi dengan bersemangat. Kami
sudah berada di sebuah mall tempat home base-nya JKT48.
“Siap sih.” Kataku pelan. “Tapi si Andin belum balas-balas WhatsApp gue, nih. Last seen-nya jam 12 siang tadi, sekarang udah jam 5."
“Lagi siap-siap mungkin. Atau malah udah jalan.” Dia coba meyakinkanku. “Yang penting kita udah sampai duluan. Lo udah hafal belom yang kemaren udah gue kasih tau tentang JKT48?”
“Udah, Rud.”
“Gue test ya?!” Siapa member JKT48 yang paling muda?”
“Nabilah.”
“Member JKT48 yang tomboy?”
“Ghaida.”
“Siapa centre JKT48?”
“Shaquille O'neal.”
“Yee.. Itu mah centre-nya LA Lakers dulu. Centre-nya JKT48 itu Melody. Gimana sih lo, ti.” Keluhnya.
“Ah, elah. Lagian ribet banget sih centre-centre-an. Enggak sekalian dibikin Playmaker, Winger sama Striker-nya?”
Keberadaan Andin yang sampai saat ini tidak ada kabar, sangat mengganggu pikiranku. Aku sudah menghubunginya dua kali, tetapi keduanya tidak diangkat. Aku terus memandangi handphone, melihat layarnya yang sedang menampilkan aplikasi Whatsapp. Di Whatsapp tersebut tertulis nama “Raihandini Fahira” dengan status ‘Last seen at 12:06’. Kemana kamu, ndin?
“Lo suka banget ya sama Andin, ti?” Tiba-tiba Rudi bertanya dan duduk di sebelahku.
“Iya.
Suka banget. Gue ini ya, kalo misalnya liat cewek pertama kali terus
langsung deg-degan itu biasanya gue suka banget. Si Andin ini salah satu
yang bisa bikin gue kaya gitu.”
“Dia orang apa Debt Collector? Bisa bikin deg-degan gitu. Terus apa lagi yang lo suka dari dia?”
“Dia juga orang bisa bikin gue kepengen tobat, Rud. Dia solatnya rajin banget. Sampe tengsin (malu) gue kemaren.”
“Tengsin kenapa?” Tanyanya penasaran.
“Nih.. Lo liat sendiri chat-nya. Asli.. Bego banget gue kemaren. Hahaa.”
Aku
menunjukan handphone dan memperlihatkan chat-ku dengan Andin dan Rudi
segera mengambil handphone-ku dengan tangannya yang berlumur dosa. Eh,
maksudku berlumur minyak bekas kentang goreng.
Sakti Widjaya: Andin.. Lagi di mana?
Sakti Widjaya: Udah sampai studio belum?
Raihandini Fahira: Udah kok. Udah sampai. Ini lagi solat dulu.
Sakti Widjaya: Solat dimana? Sama nih.. mau solat juga.
Sakti Widjaya: Tungguin dong. :D
Raihandini Fahira: Di musola lantai 2. Kamu mau solat apa?
Sakti Widjaya: Lah.. Andin emang solat apa?
Raihandini Fahira: Dzuhur.
Sakti Widjaya: Oh, sama dong kalo gitu. Aku juga belum solat dzuhur nih. :D
Raihandini Fahira: Loh? Tapi kan sekarang hari Jum’at. Emang kamu tadi enggak jum’atan?
Sakti Widjaya: Oh….
Sakti Widjaya: itu.. aku kan orang Muhammadiyah, ndin. Jum’atannya udah kemaren. Biasa.. Lebih cepat sehari.
Sakti Widjaya: Hehehe..
Raihandini Fahira: Hahaha.. anak stand up, bisa aja ngelesnya. :D
Sakti Widjaya: Yaa… Aku bercanda dan kamu bahagia. Sesederhana itulah cinta. :p
Sakti Widjaya: Hehehe
Raihandini Fahira: Hehehehe..
Aku
melihat Rudi tersenyum-senyum sendiri, tertawa kemudian melenguh dan
mendesah. Aku curiga Rudi setelah membaca chat-ku dengan Andin, dia
langsung streaming video bokep.
*tidung* *tidung*
Tiba-tiba
aku mendengar bunyi notifikasi dari handphone milikku yang kini sedang
dipegang oleh Rudi. Kalau didengar dari bunyinya, sepertinya itu berasal
dari aplikasi Whatspp.
“Rud, dari siapa tuh?” Tanyaku
“Dari Andin, ti.” Jawabnya
“Eh, serius. Mana buruan sini!!” Aku mengambil handphone-ku dari genggaman Rudi.
Dengan
hati yang was-was, jantung berdegup kencang, nafas tidak teratur dan
belum bayar listrik, aku membaca WhatsApp dari Andin.
Raihandini Fahira:Saktiii…. Aku baru bangun. Tadi ketiduran.
Raihandini Fahira: Acaranya jam berapa sih? Keburu enggak ya?
Selesai
membaca pesan dari Andin, mendadak badanku menjadi lemas dan ada
sedikit perasaan kecewa. Perjuanganku selama tiga hari kemarin dengan
menghafal nama-nama personilnya yang jumlahnya saja melebihi teman-teman
seangkatanku waktu SD akhirnya menjadi sia-sia. Tapi mau bagaimana
lagi? Namanya juga udah keburu cinta. Karena kalau kata Didier Drogba,
yang paling cinta itu biasanya yang paling sering dikecewakan. Dengan
perasaan gamang, akhirnya aku membalas WhatsApp dari Andin.
Sakti Widjaya: Jam setengah enam batas terakhir beli tiketnya, ndin.
Raihandini Fahira: Yaah.. Enggak keburu dong.
Sakti Widjaya: Iya. Yaudah enggak apa-apa kok, ndin, Next time aja nontonnya.
Raihandini Fahira: Iya. Next time ya. :D
Raihandini Fahira: Terus sekarang kamu mau kemana? Enggak nonton sendiri?
Sakti Widjaya: Paling jalan-jalan aja ke sekitaran Senayan. Hana apa kabar, ndin?
Raihandini Fahira: Baik. Lagi lincah-lincahnya, main sama aku terus.Hehehe
Raihandini Fahira: Eh, Bener kamu enggak mau nonton sendiri ke sana?
Sakti Widjaya: iya enggak. Emang kenapa sih? Bagus banget yah emang?
Raihandini Fahira: Oh.. Enggak. Enggak apa-apa. Cuma tanya aja. :)
Raihandini Fahira: Hehehehe..
Aku menarik sebuah nafas pajang kemudian memandang Rudi. Kulihat dia sedikit tersenyum dan mengangguk, ‘Sabar ya, bro’. Mungkin itu maksud dari gesture yang dibuat olehnya.
“Rud, gue enggak jadi nonton ya. Dia ketiduran ternyata.”
“Iya, ti. Tapi gue tetap nonton ya. Lo mau nunggu di mana?”
“Di Kopi Tiam aja.”
“Oke. Kalo gitu gue nonton dulu ya. Selesai nonton gue ke sana.”
“Oke."
Dengan
langkah gontai aku berjalan menuju kedai Kopi Tiam. Handphone yang dari
tadi kupegang sudah aku bolak-balikan beberapa kali, berharap dan
berdo’a tiba-tiba muncul pesan dari nya yang berbunyi, ‘Dari pada enggak kemana-mana. Mending kamu main ke rumah aku aja. :)’. Semoga saja. Tapi aku juga harus sadar diri menerima kenyataan bahwa enggak semua yang kita harapkan itu bisa kita dapatkan.
Kalau semua do’a dan harapan bisa langsung dikabulkan, kapan kita bisa belajar mengikhlaskan?
*
“Halo, ti! Dimana? Masih di Kopi Tiam??”
“Iya, Rud. Lo udah selesai nontonnya?”
“Iya. Udah, Ini lagi nunggu keluar. Eh, ti! Lo harusnya tadi ikut nonton!!”
“Kenapa? Seru banget ya emangnya?”
“Bukan. Tapi tadi gue liat Andini ada di dalam. Nonton sama Laki-laki, tampangnya om-om banget lah sama anak kecil juga.”
“Eh, serius lo, nyet?!”
“Iya.. Terus—“
“Rud… Laki-lakinya itu tampangnya jepang-jepangan gitu ya? Terus anaknya cewek masih balita gitu?”
“Iya. Kok lo tau sih?”
“Itu mantan suaminya Andin, Rud. Dan anak kecilnya itu anak mereka.”
“Hah?! Mantan? Dia janda gitu maksudnya?”
“Iya. Dulu dia pernah nikah sama orang Jepang salah satu bos atau anak bos waktu dia masih kerja di PT gitu deh. Lupa gue.”
“Oooh…”
“Abis itu enggak tau kapan, mereka cerai, terus kemaren beberapa bulan yang lalu dia cerita mantan suaminya itu ngajakin rujuk.”
“Emang emang Jepang ngerti rujuk?”
“Mana gue tau. Tapi emang enggak ada yang salah dari hati yang telah pergi tapi ingin kembali lagi.”
“Gaya lo dah. Eh, tapi sabar ya, Ti.”
“
iya. Eh, lo tau gak? Mantan suaminya Andin itu dulu wota juga tuh di Jepang, suka sama JKT-JKT-annya Jepang. Enggak tau apaan itu namanya.”
iya. Eh, lo tau gak? Mantan suaminya Andin itu dulu wota juga tuh di Jepang, suka sama JKT-JKT-annya Jepang. Enggak tau apaan itu namanya.”
“AKB48 kali, ti.”
“Nah.. iya itu kali. Gara-gara dia gue jadi suka kesel banget kalo misalnya ngeliat wota gitu. Bawaannya kaya pengen nampol.”
“……”
“Eh, Rud. Lo masih lama? Jadi ke mari enggak nih?”
“Hemm... Sorry, ti. Gue enggak jadi ke sana nih. Gue lupa malam ini ada latihan Parkour.”
“Hah? Parkour? Sejak kapan lo suka parkour?”
“Barusan.”
***
Bekasi, 10 Januari 2015
Tulisan cerpen ini pernah dipublikasikan di Website-nya @KomtungTV dengan judul "EMPAT DELAPAN".
http://komtungtv.com/detailarticle.php?vid=170&pid=9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar