Senin, 14 September 2015

SESUNGGUHNYA DIA ADALAH DIRIKU




“Bu.. Sakti mau nikah dong, bu. Ibu bisa enggak dateng ke Jakarta buat ngelamar?”

“Kamu ini mau nikah sama siapa? Ngajak ibu lamaran kok udah kaya ngajak pergi ke Mall. Mendadak begini.”

“Iya, Bu. Pokoknya aku mau nikah.”

“Iya tau. Tapi begin, loh. Nikah itu bukan main-main loh. Cerita dulu yang jelas. Terus kamu udah siap semuanya apa belum? Kamu aja kerja belum ada setahun. Mau dikasih makan apa? Cinta?!”

“Iya. Yang penting kan itu dulu, duit sih tinggal jalanin. Bukannya kalau orang nikah itu pintu rezeki bakal terbuka lebih banyak.”

“Iya. Tapi begini, nak. Nikah itu bukan urusan cinta aja tapi yang utama adalah komitmen. Cinta itu urusannya tentag rasa, sementara komitmen urusannya logika. Logika untuk bakal selalu berusaha memahami, bahwa pernikahan itu adalah takdir dan janji kita kepada Allah waktu akad nikah.”

“Hemmm..”

“Kamu kenapa tiba-tiba mau nikah? Ibu aja belum pernah dengar kamu cerita punya pacar. Ini kok tiba-tiba mau nikah aja. Kamu enggak habis ngehamilin anak orang kan?!”

“Eh, bu! Semalem Dangdut Academy siapa yang tersenggol?”

*

Hal gila apa yang pernah kamu lakukan demi seseorang yang kamu suka atau kamu cintai? Hal gila didasari perbuatan yang bisa dibilang nekat dan tanpa berpikir panjang berkompromi dengan logika. Kita sebenarnya melakukannya semua hal gila itu dengan keadaan sadar, tapi kita juga tahu jka kita melakukannya dengan hati yang gusar. Karena keputusan yang bisa dibilang tergesa-gesa itu tidak seharusnya diambil untuk menyelesaikan perihal yang dianggap besar.

Benar kata Om Bagus, Den Coki dan Bang Eno yang tergabung dalam sebuah band bernama Netral, mereka bilang “Cinta memang gila, tak kenal permisi. Bila disengatnya, say no to kompromi.” Ketika kita sedang jatuh cinta, terkadang kehilangan sebagian dari kewarasan merupakan sebuah hal yang wajar. Jatuh cinta membuat kita menjadi gila, apalagi jika kita jatuh cinta pada orang yang salah. Misalnya, jatuh cinta kepada seseorang yang sudah ada pemiliknya atau jatuh cinta terhadap sahabat sendiri. Walaupun kita tahu bahwa pada dasarnya cinta tidak mengenal kata salah.

Aku melakukan keduanya. Aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri yang  hatinya sudah dimiliki oleh orang lain. Aku sebenarnya sudah tahu apa yang nanti akhirnya akan terjadi bila yang kulakukanini benar-benar salah. Meninggalkannya. Ya! Karena cinta yang salah itu cepat atau lambat pasti akan ditinggalkan.

Namanya Revanny Ferdania. Perempuan yang seringkali mengambil sedikit kewarasanku.

Entah sudah berapa kali aku jatuh cita pada seseorang yang seharusnya hanya kuanggap sebagai seorang sahabat. Pada hakikatnya, sahabat merupakan tempat berbagi canda, tawa, sedih, suka, duka dan berbagai macam emosi lainnya tanpa diembel-embeli dengan rasa egois ingin memiliki sendiri. Aku tidak bisa mengontrolnya. Aku jatuh terlalu dalam ke sebuah kondisi perasaan yang kuanggap itu.. Hemm... “Cinta.”

Sayangnya, keberanianku untuk jatuh cinta terhadapnya ternyata tidak diikuti dengan keberanianku untuk mengungkapkan cinta. Pertama, dia sudah mempunyai seorang kekasih. Kedua, aku takut dia yang sudah sepenuhnya percaya kepadaku sebagai seorang sahabatnya, kecewa kepadaku lalu pergi. Jadi, perasaan sayangku yang sudah ada selama bertahun-tahun ini hanya bisa ditunjukan dengan menjadi seorang sahabat yang terbaik untuknya yaitu dengan cara mendengarkannya curhat, menyediakannya bahu ketika ia butuh bersandar, serta membuatnya tersenyum dan tertawa. Ketika sedang bersamaku, dia harus selalu merasa nyaman serta sadar jika selama ini ternyata dia mempunyai seseorang yang selalu ada untuknya. Ya! Selalu ada untuknya.

“Sakti! Dimana?” Tanyanya di suatu hari.

“Di rumah. Kenapa, Van?”

“Temenin aku nonton, yuk! Si Yudi lagi main futsal nih. Bete.” Yudi adalah nama kekasihnya.

“Ayo!” aku langsung mengiyakan ajakannya. Padahal ketika itu aku berbohong, aku tidak sedang di rumah tapi sedang di kantor lagi kerja sambil main Solitaire.

“Eh, jelek. Lagi ngapain? Ditelpon kok lama banget ngangatnya?” Katanya lagi di suatu hari yang lain.

“Nyuci motor.” Jawabku singkat.

“Temenin aku clubing dong. Si Yudi biasa nih, ilang lagi main sama temen-temennya. Sebel!”

“Clubing? Hemm.. Yuk!” aku kembali mengiyakan ajakannya dengan berbohong lagi, aku tidak sedang nyuci motor tapi habis menyelesaikan solat Isya. Abis solat, clubing terus lajut mabuk-mabukan sedikit. Yaa.. Enggak apa-apa deh. Impas.

“Ke mall yuk, ti?!” Tanyanya lagi di hari yang lain.

“Mau ngapain? Nonton apa makan aja?” Aku balik bertanya.

“Enggak. Nyari kado buat Yudi. Minggu depan dia ulang tahun. Badan kamu kan enggak beda jauh sama badan dia. Biar enggak salah ukuran. Hehehe”

“Oooh... “ Aku menarik nafas panjang. “Oke!”

Jika kamu tidak mempunyai hati yang sekuat Superman, jangan pernah sekali-kali membawa cinta ke dalam sebuah pertemanan. Dan menurutku juga, kita bukanlah manusia jika kita bisa merasakan bahagia ketika melihat seseorang yang kita cintai bahagia bersama orang lain. Yang ada hanyalah pura-pura bahagia. Itu menurutku, enggak tau deh kalau menurut mas Anang.

Mempunyai seorang sahabat perempuan, yang dia dianugerahi paras yang menawan bahkan bisa dibilang mengagumkan, sudah tentu akan banyak sekali mendatangkan godaan setan. Karena sering kali menghabiskan waktu berdua dan sudah terlalu dekat, dia tidak segan-segan berangkulan dan berpelukan denganku. Tapi hanya itu saja, tidak lebih. Dan sampai saat ini, tidak pernah ada niatan sekalipun dariku untuk mengambil kesempatan tersebut, walaupun ketika tubuhnya menempel entah kenapa sepertinya detak jantung dan aliran darahku berdetak serta berdesir dengan cepat. Aku harus ingat bahwa aku ini adalah sahabat terbaiknya, sahabat yang mempunyai keahlian pura-pura bahagia saat melihat dia sedang bersama kekasihnya.

Pura-pura bahagia. Itu salah satu keahlianku.  

Revanny adalah seorang perempuan yang mungkin ketika diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan mood yang bagus. Kalian tahu Scarlett Johansson? Ya! Mukanya Revanny enggak mirip sama dia. Cantiknya Revanny itu menurutku biasa saja, tapi bikin kagum. Banyak wanita yang kuihat di televisi lebih cantik darinya tapi cantiknya Revanny itu masuk kategori enak dilihat dan enggak bikin kita minder, sehingga kita kalau berduaan dengannya ingin rasanya jarum jam bisa berjalan dengan lambat. Bentuk tubuhnya Ideal tapi agak berisi. Kalian harus lihat ketika Revanny sedang membetulkan rambutnya, ia suka menggulung rambutnya yang tergerai panjang itu sampai leher jenjangnya yang putih terlihat dan beberapa helai rambut ada di tengkuknya. Setelah itu, turunkan pandangan kalian ke bawah sedikit, tanggannya yang sibuk sedikit terentangkan ketika membetulkan rambut, membuat tubuhnya agak membusung. Ketika dia sedang melakukan gerakan itu, janganlah berkedip apalagi pura-pura nyari korek.

Sebagai seorang sahabat yang sangat dia percaya, aku hampir selalu menjadi tempat dia mencurahkan isi hatinya, baik itu ketika senang, sedih ataupun marah. Kalau dia mempunyai masalah dengan keluarga atau pacarnya, akulah orang yang bakal pertama kali tahu. Revanny berasal dari keluarga yang broken home. Kedua orang tuanya bercerai ketika dia berusia 6 tahun. Sebelum bercerai, yang kudengar dari ceritanya, keluaga Recanny ini termasuk keluarga yang religius. Sampai akhirnya mereka tiba-tiba bercerai karena ayah Revanny kepergok mengikuti sebuah gerakan aliran sesat yang salah satu ritualnya boleh mengizinkan anggotanya melakukan seks bebas antar keluarga sesama anggotanya.

Bagaimana degan pacarnya?

Kalau mendengar cerita-cerita Revanny tentang Yudi, pacarnya, aku hanya bisa menyimpulkan kalau dia itu tidaklah lebih baik dariku. Dia suka bersikap seenaknya ke Revanny seperti tidak menganggap kalau Revanny itu kekasihnya. Bahkan belakangan yang kutahu, ternyata dia juga seorang yang emosian, pemarah dan kasar. Hal ini aku tahu, karena aku sering melihat lengan Revanny yang kadang ada luka lebam.

“Kenapa tuh tangan?” Kataku suatu hari kulihat ada luka lebam di lengan Revanny pada saat dia memuka sweater-nya.

“Oh.. Ini...” Dia sejenak berhenti berbicara. “Dicubit sama Yudi, ti.”

“Dicubit?” Kataku sambil kutatap matanya seakan-akan aku tidak percaya dengan ucapannya, “Dicubit pakai apaan? Pakai obeng kembang?”

“He..he..he..”

“Malah nyengir.”

“Dia udah minta maaf kok, ti,” Katanya sambil memegang lenganku. Seperti sedang membujuku agar aku tidak kesal dengannya. “Dia janji enggak bakal kaya gitu lagi.”

“Harusnya orang yang membuat kesalahan dalam sebuah hubungan hanya boleh diberi maaf, enggak usah dikasih kesempatan lagi,” ucapku dengan nada yang sedikit metinggi. “Kenapa kamu enggak putusin dia sih. Cari yang lain, yang lebih bener.”

Kata-kata itu sudah aku ucapkan berulang-ulang kepadanya tiap kali dia bercerita tentang hubungan mereka yang sedang bertengkar. Karena menurutku, sudah saatnya kita mengatakan sebuah perpisahan, kalau ketika bersama yang dia lakukan hanya selalu mengulang kesalahan. Itu menurutku, enggak tahu deh kalu menurut Bang Ipul.

“Tapi aku masih sayang dia, ti. Aku masih bahagia dengannya.”

Aku terdiam. Kalau dia sudah berkata seperti itu, yang biasanya aku lakukan adalah tersenyum kepadanya lalu memegang kepala dan mengelus-elusnya sambil merapihkan beberapa helai rambutnya.

“Tapi kamu harus tetap bisa jaga diri ya, van. Aku emang selalu ada buat kamu. Tapi saat kamu lagi sama dia, aku enggak bisa ada di sana.” Ucapku pelan sambil jemariku merapihkan beberapa helai rambut yang menggantung di wajahnya lalu kumasukan ke dalam sela-sela telingannya. Dia mengangguk.

Sejak dia bersamaku, sebagai seorang sahabat tentunya, tidak pernah sekalipun aku melihatnya menangis. Sesedih-sedihnya dia curhat denganku, tidak pernah dia menceritakannya sambil mengeluarkan air mata. Bahkan kadang ketika sedang cerita sedih, dia menceritakannya sambil tertawa. Itulah yang sedikit membuatku lega, dia bukan tipe perempuan yang cengeng. Karena sebagai seseorang yang mencintainya, dengan diam-diam tentunya, aku sangat tidak ingin melihat dia menangis. Entah itu menangis karena orang lain, atau menangis karenaku.

Tapi kemarin malam, di tengah hujan gerimis yang membasahi ibukota, untuk pertama kalinya aku melihatnya menangis. Jam delapam malam, tanpa mengabariku terlebih dahulu, dia tiba-tiba datang ke kosanku sendirian. Ketika kubuka pintu kosan, kulihat matanya sedikit sembab, rambutnya sedikit basahmungkin karena terkena hujan dan wajahnya menunjukan raut ketakuan. Belum juga aku bertanya kepadanya, dia langsung mendekatkan wajahnya ke dadaku lalu menunduk. Tangannya menggenggam erat kemejaku.  Samar-samar mulai kudengar suara isakan tangis. Tapi tidak lama kemudian wajahnya perlahan-lahan mulai terangkat, menatapku lalu berkata dengan terbata-bata,

“Aku.. hamil, ti. Aku hamil...” 

Isak tangisnya kembali pecah, kali ini tangisannya terdengar lebih keras. Aku terdiam seakan tidak percaya atas apa yang telah aku dengar barusan tadi.


Setelah terdiam sejenak ketika mendengar kata-kata yang cukup mengejutkan dari Revanny, yang mengatakan bahwa dia kini sedang hamil, aku langsung menyilakannya untuk masuk ke dalam. Kami berdua duduk di pinggir tempat tidurku. Luas kosanku ini berukuran sedang, tidak kecil tapi tidak juga besar. Di dalamnya hanya ada tempat tidur, meja kerja, lemari dan beberapa alat elektronik. Tidak ada sofa apalagi kolam renang.

“Van, kamu kenapa? Coba cerita ke aku ya?” Tanyaku dengan lembut. Kuraih jemarinya lalu kugenggam erat. Kuyakinkan dia jika saat ini akulah satu-satunya orang yang bisa dia percaya.

Dengan sedikit terisak, Revanny mulai mengatur nafasnya dan mulai bercerita. Aku diam menatapnya, mencoba berusaha untuk mendengarkannya sepenuh hati meskipun saat ini mungkin hatiku sedang hancur berkeping-keping.

Revanny mengatakan ketika sedang merayakan ulang tahun kekasihnya di sebuah klub malam, dia dan yudi sama-sama mabuk berat. Selesai berpesta, Revanny menginap di apartemen salah satu teman Yudi. Saat itu, keadaannya masih dalam pengaruh minuman alkohol, setengah tidak sadar dengan apa yang sedang dia lakukan. Sampai akhirnya keesokan paginya, Revanny baru tersadar kalau dia sedang berada di atas tempat tidur, di balik selimut sedang bersama Yudi dalam keadaan tanpa busana. 

Aku mendengar ceritanya sambil tertegun menelan ludah. Pikiranku kacau. Aku ingin marah kepada Revanny atas kelakuan bodoh yang telah dia lakukan itu. Tapi aku tidak bisa marah kepadanya, karena aku sayang dia.

“Awalnya aku enggak mikirin  kejadian malam itu, karena kita melakukannya atas nama cinta, atas dasar suka sama suka. Dan dia sedang ulang tahun, jadi anggap saja itu kado terindah dariku,” Katanya.

BANGSAAAT!!

Dalam hati aku berteriak.

Atas dasar cinta? Atas dasar suka sama suka? Kado terindah?! Saking kesalnya, kalau di depanku ada ember proyek, aku pasti akan menendangnya keras-keras sampai jauh ke Burkina Faso.

Revanny kembali melanjutkan ceritanya. Walaupun kejadian itu hanya dianggap angin lalu, ternyata masalah baru muncul beberapa hari setelahnya, ketika dia tersadar kalau dia telat mengalami siklus menstruasi dari jadwal seharusnya. Ketika diperiksa, ternyata dia sedang hamil. Saat itu lah dia mulai merasa ketakutan dan langsung menghubungi Yudi menceritakan masalahnya. Setelah beberapa lama berbicara, Yudi akhirnya mengatakan kalau ia siap bertanggung jawab.

Revanny mendadak terdiam. Dia menunduk menghentikan ceritanya dan kembali terdengar suara isakan tangis darinya, kulihat air matanya kelar dan mengalir melewati pipinya.

“Van,” aku menempelkan tanganku di pipinya untuk menyeka airmata yang ada di sana, lalu kusentuh dagunya dan sedikit mengangkatnya agar dia bisa melihatku.

“Kamu ke sini. Terus menangis... Jangan bilang kalau sekarang pacar kamu itu menghilang. Pergi ninggalin kamu?!”

Tangisnya kembali meledak.

Dia membenamkan wajahnya di dadaku dan tangganya erat memelukku. Aku hanya bisa menghela nafas panjang dan mendekapnya. Tetapi kali ini dekapkanku tidak terlalu kuat. Pikiranku saat ini sedang kacau. Entah marah, sedih, kecewa atau kasihan terhadapnya.

“Sehari setelah dia bilang kalau dia mau bertanggung jawab, tiba-tiba dia menghilang enggak bisa dihubungi, ti.” Ucap Revanny sambil terisak.

“Kamu udah tanya teman-temannya?” Tanyaku.

“Udah, ti,” Jawabnya. “Teman-temannya juga enggak tahu dia sekarang lagi ada di mana.”

“Kamu lapor polisi aja.”

“Jangan, ti! Jangan lapor polisi ya,” pintanya. “ Aku malu. Karena kami melakukannya atas rasa sama-sama suka. Aku malu.”
Aku kembali menghela nafas, “Kalau begitu bilang ke orang tuanya aja. Ceritakan kejadian sebenarnya.”

“.......”

“Kok diam?”

“Aku takut, ti. Aku pun belum bilang hal ini ke ibu. Aku takut. Aku bingung apa yang harus aku lakukan sekarang. Saat ini yang ada di pikiranku cuma kamu, ” tatapnya memelas. “Cuma kamu yang bisa nolongin aku saat ini. Cuma kamu, ti.”

Kali ini aku yang terdiam. Ternyata memang benar kalau cinta itu bisa membuat pikiran kita menjadi sedikit tidak waras atau bahkan menjadi benar-benar tidak waras.

Entah kenapa tiba-tiba ada terbesit dalam pikiranku saat ini, aku ingin benar-benar memiliki Revanny. Aku bersedia menikahinya dan menjadi ayah bagi janin yang kini sedang dikandungnya.

Ah, aku gila! Menikah. Aku tidak pernah membayangkan untuk menikah karena aku tahu kerumitannya. Apalagi jika sudah menyangkut biaya yang harus dikeluarkan. Menikah itu mahal, apalagi kalau misalnya nyewa organ tunggal.

“Sakti....” katanya memaggil namaku yang membuatku tersadar dari lamunan.

“Iya, van?”

“Kamu masih mau nolongin aku aku?”

“Kok kamu ngomong gitu sih?” Tanyaku keheranan. “Aku pasti bakal nolongin kamu. Kapanpun kamu perlu, kapanpun kamu butuh. Aku bakal selalu ada buat kamu, Van. Kamu mau minta tolong apa?”

“Aku minta tolong kamu cariin Yudi. Tolong cari dia untuk aku, ti. Janin yang ada di dalam rahimku ini butuh ayah. Aku enggak mau dia lahir dalam keadaan tanpa ayah, ti. Aku mohon.” Ucapnya terisak-isak. Wajahnya menatapku dengan tatapan penuh harapan.

Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya. Tapi sudah kupastikan senyumku yang baru saja aku tunjukan itu  adalah senyum terpalsu yang pernah aku berikan kepadanya.

Malam itu, akhirnya Revanny menginap di kosanku. Tapi kalian jangan membayangkan yang macam-macam ketika Revanny sedang tertidur atau apakah aku juga tidur dengannya di tempat tidur yang sama. Tidak. Aku tidak mau seperti itu. Meski malam itu Revanny kulihat tampak lebih menggemaskan puluhan kali lipat. Dia tidur dengan mengenakan celana basket dan kaosku yang ketika dia pakai tampak begitu kelonggaran.

“Kenapa kamu masih memilihnya? Padahal aku yang selalu ada untukmu,” bisikku kepadanya yang tengah terlelap.

*

Sudah dua minggu aku mencari Yudi, si bajingan yang tidak tahu bagaimana caranya bersyukur karena telah menjadi pacar Revanny, hampir semua teman-temannya sudah aku tanyai bahkan rumahnya sudah pernah aku awasi selama dua hari berturut-turut. Tapi memang tak ada tanda-randa kehadiran darinya di sana.
Sudah dua minggu batas kesabaranku untuk memendam perasaanku yang kacau ini kepada Revanny. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri, jika dalam waktu dua minggu Yudi belum juga ditemukan, maka aku akan bertemu dengan Revanny dan menyampaikan perasaanku ini kepadanya.

Aku berniat untuk menikahinya.

Entah bagaimana caranya nanti yang pasti tekadku sudah bulat. Aku sudah menghubungi Ibuku untuk yang kedua kalinya, setelah aku tidak bisa meyakinkannya waktu pertama kali menghubunginya tempo hari. Aku menjelaskan duduk perkaranya, bagaimana perasaanku terhadapnya dan bagaimana aku ingin selalu menjaganya kepada ibuku. Ibuku akhirnya luluh, lalu ia menyarankanku untuk mengutarakan sendiri dahulu ke Revanny, sehabis itu baru ibuku akan datang ke Jakarta untuk resmi melamarnya.

Dua minggu sudah berlalu. Itu artinya hari ini adalah hari yang sangat penting setidaknya untukku. Aku akan menyatakan semua perasaanku selama ini kepadanya. Dengan mengendari sebuah motor Astrea yang spionnya sudah kendor, aku pergi ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, aku bisa merasakan sendiri ketegangan di wajahku. Mungkin hari ini adalah salah satu hari terpenting untuk hidupku. Aku terus berdoa dalam hati sambil bernyanyi. 

Mohon Tuhan untuk kali ini saja, lancarkanlah hariku.
Hariku bersamanya. 

Ketika sudah berada di dekat rumahnya, aku menghentikan sepeda motorku di depan sebuah warung rokok dekat tikungan menuju ke rumahnya karena kulihat di depan rumah Revanny ada sebuah mobil sedang terparkir. Tampaknya dia atau ibunya sedang kedatangan tamu. Mau tidak mau aku harus menunggu tamu yang sedang berada di rumahnya itu pergi.

Dua puluh menit aku menunggu, sampai akhirnya kulihat pintu pagar rumahnya terbuka. Dari dalam rumah keluar sosok laki-laki dan perempuan paruh baya berpenampilan rapih. Selang beberapa detik kemudian, seorang laki-laki keluar dari rumahnya. Tapi kali ini sosok laki-laki tersebut wajahnya tidak asing bagiku sebab selama dua minggu ini fotonya selalu kulihat di dalam handphone milikku karena aku sedang mencarinya.

Laki-laki yang baru saja keluar dari dalam rumah Revanny adalah Yudi.

*

“Kenapa Yudi ada di rumahmu?!” Tanyaku ketus ke Revanny.

Setelah Yudi bersama kedua orang tua paruh baya itu pergi, aku langsung menghubungi Revanny untuk memeri tahu jika aku sedang berada di dekat rumahnya dan ingin berkunjung ke rumahnya serta meminta penjelasannya tentang apa yang aku lihat tadi. Tapi dia malah mengajaku untuk untuk membicarakan hal ini di tempat lain, di sebuah Coffee Shop daerah mall dekat rumahnya.

“Maksud dia datang ke rumahku adalah untuk bertanggung jawab, ti.” Jawabnya.

“Apanya yang bertanggung jawab?! Dia kabur selama dua minggu. Dia pengecut, Van!”

“Enggak, ti,” bantahnya. “Dia hanya menenangkan diri untuk mengambil keputusan terbaik untuk kami. Dua hari yang lalu dia menghubungiku agar aku segera memberi tahu ibuku bahwa dia akan melamarku.”

“Dan tadi dia telah melamarmu?”

“Ya.” Jawabnya singkat sambil memperlihatkan jari manisnya yang kini dihiasi sebuah cincin.

Aku menghela nafas sejenak. Tuhan itu memang maha adil, memberikan kita bahagia meski dengan berbeda. Dia Memberiku bahagia saat sedang bersamamu dan memberimu bahagia saat sedang bersamanya.

“Lalu Ibumu tahu kalau kamu sekarang hamil?”

“Enggak, ti. Ibu enggak tahu.”

“Kenapa kamu berbohong?”

“Aku enggak bohong, ti. Cuma enggah kasih tau aja,” bantahnya halus. “Lagipula ada sesuatu yang aku sembunyikan, ti. Dan aku ingin menceritakannya ke kamu.”

“Hah? Maksudnya?” Tanyaku keheranan.

“Ti.. Maaf ya kemarin waktu aku ke kosan kamu, aku sebenarnya udah bohong sama kamu.”

“Bohong bagaimana, van?” Aku malah tambah heran.

“Sebenarnya... anak yang ada di dalam kandunganku ini bukan anak dari Yudi.”

“Hah?!”

“Aku sudah dihamilin duluan sama orang lain. Tapi aku menjebak Yudi, dengan membuatnya mabuk dan tidur denganku agar seolah-olah aku hamil karena perbuatannya,” Jelasnya yang membuatku terkejut. ”Aku takut dia pergi ninggalin aku kalau aku bilang aku sudah hamil, ti.”

“Lalu itu anak siapa?!”

“Kamu ingat waktu aku minta ditemenin ke klub malam sama kamu?”

Aku diam sebentar untuk mengingat-ingat, “Iya! Aku ingat.”
 
“Waktu itu pas pulang dari sana aku enggak pulang ke rumah karena aku takut dengan ibuku. Jadi aku pulang ke rumah ayahku. Dan disana...”

Dia menghentikan kata-katanya sejenak. Sedangkan aku dari tadi berkali-kali menelan ludah sambil mendengarkan ceritanya.

“Di sana ada teman-teman ayahku sesama penganut ajarannya, dan aku dilecehkan di sana. Ayahku tidak bisa berbuat apa-apa, ti.” Ucapnya kini sambil terisak-isak.

Aku tidak berbicara atau bertanya lagi. Aku langsung mendekap dan memeluknya.

“Maaf ya, ti aku udah bohong kemarin. Sampai akhirnya aku menyesal dan selalu kepikiran. Kamu selama ini sudah baik banget ke aku, selalu ada buat aku, dan selalu jagain aku. Tapi—“

“Udah enggak apa-apa kok.” Aku memotong kata-katanya.

“Ti..”

“Iya, Van?”

“Kamu masih mau nolongin aku kan?”

“Kamu udah tau kan aku bakal jawab apa?”

“Pasti 'iya' ya? Makasih. Hehehe”

“Mau minta tolong apa?”

“Tolong Yudi jangan sampai tahu ya.”

Aku mengangguk dan tersenyum.

Ternyata memang benar, cinta bukan perkara memaksakan, tapi perkara merelakan.

“Sakti...”

“Iya?”

“Waktu di kosan kamu, sebenarnya engak bisa tidur. Aku cuma merem aja.”

“Eh?”

“Maaf ya.... Karena aku milih dia, padahal kamu yang selalu ada.”


Sesungguhnya dia adalah diriku,
Lebih dari sekedar teman dekatmu.
Berhentilah mencari,
Karena kau tlah menemukannya.

***



Bekasi, 1 Agustus 2015

*terinspirasi dari lagu DRIVE yang berjudul 'Akulah Dia'.


Tulisan cerpen ini pernah dipublikasikan di Website-nya @KomtungTV
http://komtungtv.com/detailarticle.php?vid=235&pid=9 

 

Senin, 27 Juli 2015

MESSAGE ON A CUP



“Mas Caki! Green Tea Latte atas nama Caki!” Seorang barista berteriak dari balik meja kasir memanggil nama seseorang yang memesan segelas minuman Green Tea Latte.

“Tuh! Itu Green Tea Latte kamu tuh.” Kata seorang perempuan yang duduk di depanku tanpa menoleh. Matanya sibuk menatap layar laptop yang ada di depannya. Enta apa yang dia lakukan. Mungkin sedang ngehack Pentagon.

“Iya. Nama minumannya sih betul. Tapi namanya salah. Namaku Sakti, bukan Caki.” Ujarku sedikit kesal.

“Udah biasa kali di sini baristanya salah nyebutin nama.”

“Ya tapi jangan dibiasain dong. Udah beberapa kali mereka salah menulis namaku jadi Caki, bahkan namaku pernah diganti jadi Septi. Kebiasaan nih lama-lama.” Kataku sambil mengtuk meja dengan lumayan keras hingga sampai membuat para pengunjung Coffee Shop yang lain menoleh ke padaku.

“Loh, kok kamu keselnya ke aku?” Dia mengangkat kepalanya. Matanya tajam menatapku.

“Eh, enggak. Aku enggak kesel sama kamu. Aku keselnya sama barista itu.” Bantahku.

“Enggak. Kamu kesel sama aku, karena aku enggak mau balikan sama kamu kan? Kebetulan aja ada orang lain yang salah terus kamu lampiasin ke dia, padahal kamu keselnya sama aku. Kamu tuh emang gitu ya.”

“Enggak kok. Aku enggak kesel sama kamu, Res.”

“Mas Caki! Green Tea Latte atas nama Caki!” Barista itu kembali memanggil namaku yang sebenarnya itu bukan namaku.

IYA TUNGGU SEBENTAR, SETAN!!

Rasanya aku ingin berteriak seperti itu. Tapi kuurungkan niatku tersebut karena selain tidak sopan, saat ini aku sedang bersama seseorang yang kalau aku menunjukan sikap kasar di depannya, mungkin dia bisa ilfeel kepadaku.

Jadi yang harus kulakukan saat ini adalah berdiri dari kursi, berjalan ke kasir mengambil minuman pesananku dan melihat nama yang tertera di seragam barista tersebut. Rudi. Oke! Setelah itu aku akan masuk ke dalam ruang manager lalu menghasutnya agar dia memecat barista yang bernama Rudi, karena dia telah berkali-kali salah dalam menuliskan namaku. Dan semoga dia nanti masuk neraka, terus di neraka nanti dihukum disuruh main Winning Eleven pakai stick yang tombol ‘X’-nya mendem.

Oke! Kayanya itu terlalu berlebihan. Setelah mengambil pesananku dan meliat namanya, sepertinya aku cukup memberikan muka masam saja menunjukan kalau aku tidak puas dengan pelayanannya, tidak perlu melaporkannya ke manager-nya, ngadu ke orang tuanya atau bahkan menuntutnya ke Mahkamah Agung. Selamat, Rudi! Kamu aman malam ini.

Oh, iya sebelumnya mungkin perlu aku ceritakan kenapa aku tetap saja mau ke tempat ini meskipun aku sering dibuat kesal oleh baristanya. Aku mengunjungi tempat ini karena hanya di sinilah aku bisa bertemu dengan seseorang yang dulu pernah memberikanku banyak kebahagian dan keceriaan ketika sedang berada di dekatnya. Tapi juga membuatku menjadi seseorang yang mudah resah dan emosional ketika aku sedang jauh darinya. Dia mantan pacarku.

Rezky Fitriadinda. Nama panggilannya Ires.  

Kami pisah bulan lalu karena sebuah pertengkaran yang diawali oleh hal yang sebenarnya sepele. Waktu itu kami janjian di Coffee Shop ini, aku datang terlebih dahulu. Dan ketika Ires sampai ke Coffee Shop ini, dari balik jendela aku melihat dia turun dari taksi. Dan dia turun dari pintu depan taksi. Artinya selama di perjalanan, dia duduk di samping supir taksi! Bayangkan!! Naik taksi sendirian tapi duduknya di depan.

Aku langsung ke luar dari Coffee Shop dengan sedikit berlari lalu menghampirinya dan bertanya kenapa dia naik taksi tapi duduk di depan? Waktu duduk di depan, dia ngapain aja sama supir taksinyanya? dan Taksi-taksi apa yang ganteng? Dia menjawabnya dengan cuek seakan-akan tidak ada apa-apa da dia enggak bisa menjawab tebak-tebakanku, padahal kan jawabannya gampang. Taksido Bertopeng.

Aku kesal. Sampai akhirnya aku memakinya dengan kata-kata ‘Dasar cewek murahan!’

Aku menyesal. Aku menyesal kenapa aku bisa berkata-kata sekasar itu, harusnya aku bisa sedikit tenang dengan tidak menyebut dia dengan sebutan ‘cewek murahan’ tapi ‘cewek gampangan’. Mungkin itu sedikit lebih sopan.

“Eh, jaga ya mulut kamu. Aku enggak nyangka kamu sekasar ini.” Kata Ires waktu itu saat aku memakinya dengan kata-kata ‘cewek murahan’.

“Emang kenyataannya gitu!” Aku tidak mau kalah emosi juga.

“Aku mau pisah!!”

“Pisah.. Pisah.. Emangnya bihun.”

“Terserah!”

“Dasar cewek murahan... “

Aku langsung pergi setelah puas memakinya, dia kutinggal sendirian di depan Coffee Shop. Tapi 5 menit kemudian aku balik lagi ke Coffee Shop tersebut. Bukan untuk mencarinya tapi karena Green Tea Latte-ku masih tersisa setengah. Sayang kalau enggak dihabiskan, harganya 38 ribu. Ini Green Tea Latte, bukan Granita. Ketika kembali ke sana, aku melihatnya sedang duduk di pojokan sambil tersenyum sendirian memandangi gelas Iced Chocolate-nya. Dasar gila! Psikopat!

Entah kenapa saat itu aku bisa berpikiran dan berbuat seperti itu. Tapi yang pasti. Sekarang aku sangat menyesal. Sungguh.  

“Liat nih, Res. Siapa yang enggak kesel coba. Udah salah tulis nama, masih sempatnya dia meledekku.” Aku menunjukan gelas Green Tea Latte-ku kepadanya.

“Ha? Apaan maksudnya?

“Iya. Liat di bawah tulisan CAKI. Dia ngasih icol melet ‘:p’ dibawahnya. Ngeledek banget kan?”

“Ih, lucu tau. Difoto aja terus kamu upload di twitter.”

“Difoto?” Tanyaku seperti sedang menyadari sesuatu. “Tadi kamu bilang difoto terus diupload di twitter?”

“Iya. Emang kenapa?” Dia balik bertanya kebingungan.

“Ooh.. Aku tau sekarang kenapa mereka suka salah nulis nama,” Aku mulai menjelaskan. “Tujuan biar pelanggannya yang mengganggap ini lucu terus diupload ke twitter. Kamu liat nih kenapa mereka nulis namanya di bawah logo Coffee Shop-nya. Promosi gratisan ujung-ujungnya! Kamu kok mau aja sih dikerjain sama mereka?”

Aku baru sadar. Ternyata tujuan para barista itu salah menuliskan nama-nama pelanggannya adalah supaya kelakuan mereka itu dianggap lucu dan berharap pelanggan bakal memfoto gelas tersebut kemudian mempostingnya di akun socmed mereka. Pantas saja di hari ketika aku putus dengan Ires, aku melihat akun twitter-nya di sana ada sebuah posting-an dengan sebuah foto gelas dengan logo Coffee Shop dan dibawahnya ada tulisan seperti ini kalau enggak salah: You are beautiful...

Hih! Dasar cewek gampangan. Mau aja dimodusin abang-abang tukang kopi pakai lirik lagu Cherrybelle.

“Apaan sih kamu, ti?! Mulai lagi kan suudzon sama orang.” Katanya ketus.

“Bukannya suudzon,” bantahku. “Tapi mereka emang curang.”

“Udah lah. Akui aja kalau kita emang enggak cocok.” Ujarnya sambil sedikit menutup layar laptopnya. Sepertinya dia juga sudah mulai kesal. 

"Maksud kamu?"

“Aku capek. Belakangan waktu kita masih jadian, kalau ketemu kita pasti berantem terus. Enggak kehitung udah berapa kali kita berantem karena hal-hal yang enggak penting. Dan aku selalu minta udahan.” Jelasnya. Aku lihat tangannya mengambil gelas Iced Chocolate yang ada di samping laptopnya. Mungkin dia haus setelah lama berdebat denganku.

“Dan kamu yang minta balikan lagi.”

“Iya!” balas Ires cepat. Tangannya menaruh kembali Gelas Iced Chocolate yang belum sempat dia minum. “Karena aku merasa aku bisa mengubah kamu. Tapi ternyata enggak. Kamu orangnya susah diatur atau mungkin kamu emang enggak pernah mau berubah. Dan satu lagi,  kamu itu orangnya cemburuan. Cemburuan pake banget. Titik.”

“Tapi, Res... Aku cemburu karena kamu cuek banget sama aku. Enggak ngehargain aku. Temen-temen cowok yang mepet-mepet ke kamu, kamu biarin aja. Entah kamu yang emang suka atau kamu itu...”

“Apa? Cewek murahan?!” Dia memotong kata-kataku.

“Bukan, Res.”

“Lalu apa?!”

“Cewek gampangan.”

“Terserah!!”

“Maksudku...” Aku menghentikan kata-kataku sejenak.

Aku berpikir tanpa berani memandangnya. Sepertinya aku salah ngomong lagi. Mataku melirik-lirik melihat apapun yang bisa mengalihkanku dari tatapan matanya. Sampai akhirnya aku melihat sebuah cup bekas Iced Chocolate miliknyanya yang lain, yang sudah habis dia minum dan mengambilnya untuk melihatnya lebih dekat. Di gelas tersebut terdapat tulisan ‘IRES” dengan icon hati di bawah namanya.

“Ini siapa yang nulis di gelas ini?!” Kataku mencoba untuk sedikit mengalihkan pembicaraan.

“Apa?” Dia bertanya balik seakan-akan tidak mengerti maksud pertanyaanku.

“Ini gelas kamu ada yang nulis icon love di bawah nama kamu. Siapa yang nulis?”

“Emang kenapa sih? Aku aja seneng-seneng aja, kok malah kamu yang sewot?”

“Ya karena aku ini kan.....”

“Apa?!” Tanyanya dengan mata yang sedikit melotot ke arahku.

“Mantan pacar kamu...” jawabku sambil menunduk dan menaruh kembali gelas yang tadi kupegang.

“Udah mantan kan? Kamu enggak berhak larang-larang aku ini itu lagi.”

“Kita balikan yuk, Res!” Kataku tiba-tiba. Aku bingung enggak tahu harus ngomong apa lagi dan langsung memberikan pertanyaan yang memang menjadi tujuanku untuk mengajaknya balikan lagi ketika bertemu dengannya. Sepertinya kali ini aku yang gila. Atau bukan kali ini, tapi sebenarnya dari kemarin itu aku yang gila.

“Apaan sih!!” Dia menatapku dengan aneh. Sepertinya tatapan itu berbicara kepadaku dengan kata-kata ‘apaan sih ini orang aneh banget lagi ngomongin apa tiba-tiba nagajak balikan’,

Aku hanya bisa menunduk setelah dia menatapku seperti itu. 

“Ini kok malah main balikan-balikan aja," Ketusnya, "Aku enggak mau dan enggak bisa.”

“Tapi aku mau.”

“Itu urusanmu.”

“Ayolah, Res. Kita harus balikan karena kita ini adalah pasangan terhebat yang pernah diciptakan di muka bumi nomor 4 terbaik setelah Adam-Hawa, Habibie-Ainun, dan Fathur-Nadila.”

“Fathur-Nadila itu cuma pasangan duet, bukan pasangan hidup! Terserah kamu mau ngomong apa. Yang jelas aku enggak bisa sama kamu karena aku sudah punya pengganti kamu kamu?”

“Maksudnya? Kamu udah punya pacar lagi?”

“Iya.” Jawabnya tanpa ada keraguan.

“Siapa?!”

Dia mengambil gelas Iced Chocolate dari samping laptopnya yang masih terisi, mungkin dia baru meminum seperempat isinya, kemudian memutarnya tepat dihadapanku untuk menunjukan sesuatu. Aku lihat gelas tersebut dengan jelas, di sana ada tulisan. Tulisan yang cukup panjang. Bukan hanya sekedar tulisan nama seperti di gelasku atau gelas-gelas yang lainnya. Setelah aku baca, pikiranku langsung menerawang mengingat-ingat sesuatu.

Temanku yang seorang selebtweet galau-galauan pernah ngetwit: Suatu saat nanti akan ada masanya di mana mundur itu adalah sebuah jawaban bukan pilihan.

Dan sekarang sepertinya aku sedang mengalami masa itu.

Aku kembali membaca perlahan tulisan yang ada di gelas Iced Chocolate milik Ires tesebut dengan perasaan sedikit kecewa dan hati yang patah. Di sana terdapat sebuah kalimat:

‘Kamu cantik hari ini, dan membuatku makin jatuh hati. I Love You. – Rudi.’


***


Bekasi, 19 Juli 2015


Cerpen ini pernah dipublikasiin di web-nya @KomtungTV. Yeah! 

Rabu, 22 Juli 2015

CAKE & RED CAKE



“Kamu ini suka sama cewek enggak sih, ti?” tanya Rena Febiana sambil tersenyum dan menatap lembut mataku.
 

“Yaa… Suka ah. Aneh-aneh aja pertanyaan kamu.”

“Tapi kok kamu enggak pernah punnya pacar sih? Umur kamu 25 tahun loh. Itu artinya kamu itu udah jomblo perak.”

“Hahahaha!”

“Yee.. Malah ketawa.” 

Jomblo Perak. Istilah yang menggelikan untukku. Tapi dia benar, di umurku yang sudah menginjak angka seperempat abad ini, aku belum pernah sekalipun mempunyai seseorang yang kata orang-orang itu disebut pacar. Di saat teman-temanku yang seumuranku sudah mulai mempunyai rencana untuk membangun sebuah rumah tangga, aku masih saja santai main-main atau asyik menonton FTV yang soundtrack-nya hampir selalu diambil dari lagunya Tangga.
Dia melemparkan sebuah french fries ke arahku karena aku masih saja tertawa dalam menanggapi ucapannya, tapi french fries yang dilemparkan tidak berhasil mengenaiku sehingga jatuh di sofa tempatku duduk. Karena sayang udah beli mahal-mahal, akhirnya french fries tesebut kupungut kembali dan kumakan.

“Ya abisnya ada-ada aja istilah kamu. Masa iya jomblo perak.” Kataku sambil mengunyah french fries yang tadi kuambil.

“Jorok, ih!!”

“Biarin! Hahaha”

“Sebagai seorang sahabat aku khawatir sama kamu, ti. Apalagi sekarang jamannya laki suka sama laki.”

“Enggak mungkin lah. Aku pernah suka kok sama cewek.”

“Siapa? Coba cerita kapan pertama kali kamu suka sama cewek. Aku ingin tau.” Pintanya penasaran.

“Aduh. Aku enggak bisa cerita. Hahaha”

“Yaaah… Cerita dong.”

“Atau begini deh, aku bakal cerita ke kamu tentang orang yang pernah aku suka pertama kali. Tapi dalam bentuk cerpen. Kasih aku waktu kurang lebih setengah jam. Selama aku menulis, aku minta tolong ke kamu untuk beliin aku sesuatu.”

“Beli apa?”

“Tolong belikan sekotak Brownies di sebuah toko di lantai 3. Nama tokonya CakeTalk.” Kataku sambil mengeluarkan selembar uang seratus ribuan ke padanya.

“Hemm.. menarik juga. Kamu memang selalu bisa bikin orang jadi penasaran.” Dia mengangguk-angguk. “Baiklah aku ke atas dulu ya. Aku bakal ke sini lagi 20 menit kemudian.

Aku mengangguk. Kukeluarkan sebuah laptop dari dalam tas dan setelah menyala jariku mengklik logo MS Word.  Sebelum mulai menulis, aku mengambil cangkir kopi yang ada di atas mejaku tapi sayang ternyata kopinya sudah habis.

Aku melirik ke kiri dan kanan, pengunjung kedai kopi dan pelayannya sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku mengeluarkan segelas Granita dari dalam tas lalu kubuka dan kutuang ke dalam cangkir tersebut. Lumayan. Setidaknya aku masih bisa nongkrong disini kurang lebih 2-3 jam lagi.

*

17 Agustus 2003
Hari itu adalah hari yang kita peringati sebagai Hari Kemerdekaan, sebuah hari yang dirayakan oleh seluruh penduduk Indonesia karena pada hari itu di tahun 1945, kita bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Banyak cara yang dilakukan untuk merayakan hari tersebut. Tentunya dengan berbagai macam cara atau acara yang diselenggarakan untuk memperingati hari Kemerdekaan tersebut termasuk SMP gue.

Jadi, SMP gue mengadakan lomba bikin kue antar kelas. Tiap kelas harus membuat kue dan nanti dinilai oleh tim penilai yang berisikan guru-guru. Tapi bukan itu inti dari cerita yang bakal gue ceritakan. Gue enggak ingat sama lombanya, yang gue ingat adalah kejadian yang terjadi setelah lomba. Kue tersebut bakal dipotong satu per satu oleh anak perempuan dan diberikan kepada anak laki-laki yang dia inginkan.

“Eh.. gimana kalo kita seru-seruan. Ini kan ada kue lumayan gede. Gimana kalo yang cewe motong ini kue sepotong-sepotong terus dikasihin ke anak-anak cowo. Setuju?"  kata Ketua kelas gue waktu itu.

Suasana menjadi heboh, teriakan dan siulan terdengar riuh di dalam kelas. Anak-anak cewek saling tarik-tarikan malu-malu. Akhirnya Ketua Kelas gue tersebut menyuruh salah seorang anak cewe maju buat motong kue lalu diberikan ke anak cowok. Dan cewe yang Beruntung atau sial itu namanya Resti. Dia bisa dibilang sebagai cewek paling populer di kelas, bahkan di sekolah. Sontak satu kelas langsung riuh dan cowok-cowok yang ada di kelas pasti bakal ngarep bakalan dikasih kue tersebut.

Resti udah berada di depan kelas untuk memotong kue yang kemudian nanti akan diberikan kepada anak cowo yang dipilihnya. Gue melihat dia didepan lagi ngobrol bercanda sama si Ketua Kelas, tampaknya dia agak terkejut karena disuruh buat jadi korban si Ketua Kelas.

“Pasti gue nih yang dikasih.”  Kata Rudi, teman sebangku gue dengan penuh percaya diri.

“Apaan, Rud? Elu? Ngaca Rud? Kalo ga punya kaca, Ngaca sono di Sumur. Kalo kaget lo tinggal nyemplung.“  Kata Onoy, teman yang ada di belakang bangku gue.

“Ah.. elu sama aja Noy. Mana mau dia sama preman Stasiun. Nih gue Calon 
terkuat. Anak rumahan. Raden Mas Haryo Purboningrat.”  Kata Haryo, teman sebangku Onoy, sambil menepuk-nepuk dadanya.

“Diem lu, Jawir!” balas Onoy

Gue cuma bisa tertawa ngeliat tingkah temen-temen di samping dan di belakang gue. Tapi tawa gue mendadak berhenti ketika gue melihat Resti di depan kelas. Gue lihat matanya menatap ke arah gue. Tidak lama kemudian dia berjalan perlahan sampai akhirnya berada tepat di depan meja gue. Dia berdiri dihadapan gue sambil membawa sepotong kue yang diletakan di atas piring kertas. Gue mendongak keatas. Wajahnya yang putih bersih, rambutnya yang hitam dan panjang.


Cantik.

Dia tersenyum dan gue grogi ingin kencing.

Mimpi apa gue semalem?! Gue ingat-ingat kembali, berfikir keras untuk mengetahui mimpi apa gue semalem. Apakah gue Mimpi jalan-jalan ke DUFAN sama Keluarga gue? Oh. Bukan! Itu mimpi waktu 2 hari yang lalu.

Gue kembali berfikir lagi.

Jangan-jangan mimpi dikejar Setan? Heeemm.. ah bukan juga, itu mimpi waktu malem jumat minggu lalu.

Gue berfikir keras lagi, mencari-cari sebenarnya gue mimpi apa.

Jangan-jangan Gue semalem Begadang?! Gak tidur, makanya gue jadi gak inget mimpi apa gue semalem?!

Deg..deg.. Deg.

Deg.. Deg..deg.. Deg..deg..

Deg..deg.. Deg..deg….deg.. Deg..deg….

“Heii Saktii, Nih kue dari gue. Diterima yaaa.”  Kata Resti sambil menyerahkan kue yang ada ditangannya ke gue sambil tersenyum lagi. Setelah itu gue ditinggal pergi.

Sejak saat itu. Selama 10 tahun bayang-bayangnya selalu hadir di pikiran gue dan selama 10 tahun itu juga gue hanya bisa menjadi seorang pengagumnya saja. Gue enggal pernah menanyakan kenapa saat itu dia menyerahkan kue-nya ke gue. Gue takut apa yang gue harapakan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.

Teruntuk Resti yang telah membuatku jatuh hati, maaf aku tak pernah punya nyali.

**
 
“Wah, keren!” Kata Rena setelah membaca cerpen tentang pengalamanku ketika suka dengan seseorang untuk pertama kali.

“Makasih, Ren,” Balasku. “Oh, iya. Brownies-nya mana?”

“Oh, iya lupa. Nih Brownies-nya.” Katanya sambil menyerahkan bungkusan plastik yang berisi sekotak Brownies. “Ti, sekarang kabarnya cewek yang ad di cerpen kamu gimana?”

“Resti? Dia udah nikah. Dia menikah dengan salah satu anak mantan pejabat gitu lah tahun lalu. Sekarang kerjaannya upload foto liburan terus di Path. Sebel sih tapi tetap aja aku kasih love di fotonya.Hehehe”

“Oh, gitu. Tapi aku yakin sebenarnya dulu itu dia suka loh sama kamu. Sepotong kue yang dia kasih ke kamu itu sinyal-sinyal yang dikirim buat kamu, tapi sayangnya kamu enggak kasih balasan.”

Aku juga sebenarnya berpikiran seperti itu. Tapi saat itu aku memang benar-benar tidak punya nyali untuk mendekatinya apalagi menyatakan apa yang aku rasakan kepadanya. aku banyak belajar dari sana. Belajar agar kejadian tersebut tidak boleh terulang lagi.

Jika kamu sedang jatuh cinta, katakanlah. Cinta memang perkara hati tapi bukan berarti terus disimpan di dalam hati. Jika kamu sedang jatuh cinta, perjuangkanlah. Ya! Karena menurutku cinta itu adalah sebuah perjuangan. Itulah kenapa ada orang yang jatuh hati pada hati yang sudah ada pemiliknya.
“Iya. Aku baru paham. Makanya sekarang aku menyesal. Kalau suka sama orang itu bilang. Makanya aku enggak mau kejadian itu keulang lagi.” Kataku ke Resti. 

“Lalu kue Brownies ini untuk apa?” tanyanya.

“itu—“ Aku menarik nafas dalam-dalam sejenak. “Itu buat kamu, Ren. Semoga kamu suka.”

“Maaf, aku enggak suka sama kamu.”

“…..”

“Eh, maksud aku, aku enggak suka sama Brownies, aku lebih suka Red Velved. Mahalan dikit.”

***

 
Bekasi, 15 Februari 2015



Tulisan cerpen ini pernah dipublikasikan di Website-nya @KomtungTV

Minggu, 19 Juli 2015

SHEILA ON 19



“Jadi mamas udah pernah pacaran berapa kali?” Tanyanya tanpa menatap ke arahku. Matanya fokus lurus ke depan dan tangannya lincah dan sigap mengendalikan stir agar mobil tidak hilang kendali.

“18 kali. Kalau ditambah sama kamu, jadinya udah 19 kali.”

“Wah.. Banyak juga ya.” Dia menoleh ke arahku kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Hahaha!”

“Terus di antara itu semua, paling lama kamu pacaran sama yang mana dan berapa lama?”

“Sama yang nomer 10.” Jawabku singkat.

“Nomer 10? kamu ini memang ingat atau pacar kamu memang kamu nomerin kaya hewan kurban?”

“Ingat. Soalnya aku pernah kasih dia kado jersey Manchester United nomor punggung 10, Lionel Messi.”

“Manchester United? Lionel Messi? Bukannya Messi pemain Barcelona?” Tanyanya keheranan.

“Pertanyaanmu kurang lebih sama seperti dia dulu.” Aku tersenyum. “Kamu mau tau aku jawab apa?”

“Apa?”

“Dengan cinta, semua bisa menjadi nyata.”

“Pret!!”

“Hahaha!”

Dia mencubit gemas lenganku. Awalnya pelan tapi lama kelamaan cubitannya makin keras dan mengecil sehingga menimbulkan perih. Dalam hati aku ingin berteriak, SAKIT ANYING!!   

“Terus kenapa kamu putus sama dia? Katanya cinta?” Ia kembali bertanya.

“Awalnya aku sama dia itu berbeda keyakinan. Semua harusnya berjalan dengan baik, sampai akhirnya suatu hari dia berkata kepadaku kalau dia sudah berpindah keyakinan, menganut keyakinan yang sama denganku. Saat itu juga aku putusin dia.”

“Lah, kok gitu sih? Bukannya kamu harusnya senang?”

“Enggak. Aku enggak suka dia pindah agama demi aku. Intinya, jangan pernah percaya sama seseorang yang pindah keyakinan meskipun katanya demi cinta. Logikanya, Tuhan aja dia khianati, apalagi aku yang hanya manusia.”

“Sadis. Hahaha.” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Terus dia bilang apa pas kamu putusin?”

“Dia bilang, ‘Lah? Kok gitu sih?’ ”

Bulan Februari memang benar-benar bulan yang selalu penuh dengan cinta. Setidaknya buatku. Sejak aku akil baligh sampai sekarang, aku tidak pernah merasakan patah hati di bulan ini. Aku selalu mempunyai kekasih di bulan ini, baik itu kekasih lama yang telah aku pacari berbulan-bulan lamanya atau kekasih baru yang baru aku tembak di bulan Januari. Dan di bulan Februari kali ini, masih sama seperti dulu. Aku mempunyai seorang kekasih.

Risheila Febiola.

Itu nama kekasihku saat ini. Aku biasanya memanggilnya dengan nama Sheila. Tepat seminggu yang lalu aku mengungkapkan perasaanku, memintanya untuk menjadi kekasihku dan dia menerima permintaanku tersebut.

Sheila ini tipe perempuan yang Mandiri. Manja dan suka pakai tangan kiri alias kidal. Karena sifatnya yang manja, dia memanggilku dengan panggilan sayang ‘kangmas’ atau ‘mamas’, mungkin karena namaku agak terlalu Jawa, Saktiawan Sadewa Pamungkas. Tapi dari dulu aku lebih senang dipanggil dengan nama Pedro. Alasannya karena dari kecil aku ngefans sama karakter Pedro di serial Amigos. Sayang teman-temanku enggak ada yang memanggilku Pedro, mereka lebih sering memanggilku Wawan. Dari Pedro ke Wawan.

Oke! Enggak beda jauh kok.

“Sayang..”

“Iya, mamas? Kenapa?”

“CD-nya ganti dong. Masa dari tadi lagunya Dewa 19 terus. Ganti sama CD Sheila On 7 punyaku dong.”

“Nanti doong… Belum juga ada satu album ini diputar.” Tolaknya. “Lagian enakan lagu Dewa 19. Aku suka lagu Sheila On 7, tapi lagu Dewa 19 itu lebih puitis dan filosofis.”

“Eh, lagu Sheila On 7 juga puistis tapi dengan gaya yang apa adanya.” Aku tidak mau kalah. “Lagian aku suka sama kamu kan salah satunya gara-gara nama kamu ada kata ‘Sheila’-nya.”

“Kamu juga. Nama kamu ada kata ‘Dewa’-nya.” Ia juga tidak mau kalah.

“Semua kisah hubungan percintaan itu ada di lagu Sheila On 7. Mereka punya lagu tentang hubungan LDR, Bertahan Di Sana. Dewa 19 punya enggak?”

“Punya!”

“Apa?”

Kangen.” Jawabnya tegas. “Lagu tentang seseorang yang menerima surat dari kekasihnya yang sedang rindu dan setia menunggu ia pulang.”

Percayalah padaku akupun rindu kamu
Ku akan pulang
Melepas semua kerinduan
Yang terpendam...

Dia menyanyikan sebagian bait lagu Kangen-nya Dewa 19. Aku baru pertama kalinya mendengar dia bernyanyi. Suaranya bagus dan merdu. Kalo karaokean di Inul Vista, dia pasti udah dapat score 98. Setelah menyanyikan lagu tersebut, ia menoleh ke arahku dan memainkan alisnya naik-turun sambil tersenyum kepadaku. Sepertinya berkata kepadaku, 'Gimana? Suara gue bagus kan?'

“Suara kamu bagus.” Aku memujinya.

“Terima kasih mamaskuu” balasnya manja.

“Tapi Dewa 19 punya enggak lagu tentang cinta beda agama? Sheila On 7 ada. Judulnya Tentang Hidup.”

Bertahan sayang dengan doamu
Kucoba bertanya pada Tuhanku

Baru dua bait aku menyanyikan lagu Tentang Hidup-nya Sheila On 7, tiba-tiba dia menimpukku dengan koin 500-an.

“Kamu engak usah nyanyi. Jelek!”

Jleb! Kata-katanya begitu menohok, enggak nyangka dia bisa berkata seperti itu. Ya! Walaupun memang benar suaraku jelek, mungkin seandainya aku ikut audisi Indonesian idol, Anang Hermansyah pasti bakal kasih aku Golden Ticket Indonesia Mencari Bakat.

“Dewa 19 juga punya kok lagu tentang beda keyakinan. Judul lagunya Shine On--

“Sheila On 7 punya lagu tentang perselingkuhan. Sephia.” Aku langsung memotong kata-katanya sebelum dia menyanyikan lagu yang dia maksud tersebut.

“Dewa 19 juga ada.” Balasnya cepat. “Aku Cinta Kau dan Dia kan lagu tentang selingkuh.”

"Itu lagunya Ahmad Band."

"Sama aja! Dhani-Dhani juga."

“Dewa 19 punya lagu tentang mantan enggak?”

“Heem.. Ada kayanya. Tapi aku lupa.”

“Bilang aja enggak ada. Sheila On 7 dong, punya lagu tentang mantan. Judulnya Mantan Kekasih.”

“Hemm.. Pasti ada sih. Tapi aku lupa dan kamu menang deh. Hahaha”

Akhirnya dia mengalah. Lagu Dewa 19 yang sejak tadi diputar di CD Player-nya dihentikan dan digantikan oleh CD Sheila On 7 yang baru saja dibeli tadi ketika kita mengunjungi toko CD di sebuah mall.

“Oh iya.. Ngomong-ngomong soal mantan. Aku mau tanya serius nih sama kamu, mas.” Ia kembali membuka percakapan.

“Tanya apa?”

“Hemm.. Hal ‘spesial’ apa yang pernah kamu lakukan sama mantan-mantan kamu?” Tanya sambil memainkan ujung jari telunjuknya ketika menyebut kata ‘spesial’. Seperti memberi sebuah tanda kutip di kata tersebut.

“Maksud kamu?”

“Kamu pasti udah tau maksud aku, mas? Tinggal jawab aja. Udah pernah apa belum?”

“……”

“Oke! Udah pernah ya.” Katanya tanpa aku sempat menjawab pertanyaannya. Dan dugaannya memang tepat

“Iya. Aku udah pernah. Tapi itu dulu, sekarang aku serius sama kamu dan yang pasti—“

“…..”

“Yang pasti aku sayang banget sama kamu. Sebelumnya aku selalu bohong sama mantan-mantan sebelum kamu, tapi kali ini aku enggak mau bohong. Itu karena aku sayang sama kamu.” Aku sedikit menarik nafas panjang. “Tapi aku enggak mau memaksa kamu, kalo menurut kamu tentang keperjakaan itu penting, kamu bisa mutusin aku sekarang juga kalau kamu mau.”

“Ini enggak fair....”

“Sheila.. Seandainya saat ini ada kata yang lebih tulus dan indah dari kata ‘maaf’, itu pasti udah aku ucapin ke kamu.”

“…..”

Aku lihat dia hanya terdiam. Beberapa kali kulihat dia mengigit bibirnya. Seperti ada yang ingin dia ucapkan namun ditahan. Tidak beberapa lama kemudian kurasakan laju mobil bergerak melambat sampai akhirnya berhenti di depan sebuah convenience store.

“Aku boleh tanya lagi, mas?” Tanyanya sambil melepaskan seat belt dari tubuhnya.

“Iya. Mau tanya apa lagi?”

“Kenapa kamu enggak balas tanya aku udah ngapain aja sama mantan-mantan aku? Bisa aja aku ini lebih buruk dari kamu, mas. Kenapa kamu enggak tanya aku?” Katanya dengan mata yang mulai sedikit berkaca-kaca.

“Karena aku enggak peduli sama masa lalu kamu. Sebab aku ingin menjalani masa depan kamu, bukan masa lalu kamu. Enggak peduli seburuk apa masa lalu kamu atau aku. Tapi jika Tuhan masih memberikan kita waktu untuk memperbaiki diri, masa depan yang indah, damai dan bergelimang harta akan tercipta untuk aku, kamu, kita.”

“....”

“Untuk mendapatkan masa depan yang sesuai dengan apa yang kita inginkan, kita harus bisa untuk mengikhlaskan masa lalu.” Kataku lagi. “Tuhan itu maha baik. Memberikan kamu sehingga aku bisa meninggalkan masa lalu, memperbaiki aku hari ini agar bisa bermimpi untuk masa depan. ”

“Mas….” Tiba-tiba tangannya merangkul lengaku lalu merebahkan kepalanya di bahuku. Aku dengar sedikit suara isakan tangis darinya.

“Sheila…” Dia mengangkat wajahnya. Kulihat ada bekas air mata di kedua pipinya. Dengan lembut kuseka air mata di pipinya.

“Mamas.. Maaf yaa.” Ucapnya pelan.

“Iya. Enggak apa-apa kok. Yaudah sekarang kita jalan lagi yuk!” Aku tersenyum kepadanya.

“Enggak. Maksud aku... Maaf kita harus putus.”

“Lah? Kok gitu sih?!”

*

Sudah lima menit lebih kami berdebat, beradu argumen bahkan saling mengeluarkan kata-kata kasar. Jelas aku tidak terima diputusin secara sepihak olehnya. Ini adalah sebuah penghinaan untukku. Aku berencana untuk membawa dan menggugat kasus ini ke Mahkamah Agung. Tapi aku sadar kalau ternyata aku enggak punya tim pengacara, aku membujuk Sheila untuk meminjamkanku uang 480 juta. Tapi dia menolaknya dan malah marah-marah lagi sampai akhirnya dia menyuruhku turun dari mobil.

“Turun kamu!! Aku kesel sama kamu!!” Perintahnya.

“Loh? Kok aku sih yang turun. Biasanya kan kalo ada pasangan yang berantem di mobil, ceweknya yang harusnya turun. Kenapa sekarang aku yang harus turun?!”

“YA KARENA INI KAN MOBIL AKU!!!”

Oh, iya. Aku lupa.

Akhirnya aku turun dari mobilnya. Tapi sebelum aku tutup pintu mobilnya, aku ingin mengucapkan sedikit kata-kata perpisahan kepadanya.

“Heh! Sekali lagi aku kasih tau sama kamu. Nama gitarisnya Sheila On 7 itu Eross bukan Erros. Huruf ‘s’-nya yang dua, bukan huruf ‘r’-nya yang dua! Camkan itu!”

“BODO AMAT!”

Anjir.

BRAAAKK!!!

Dengan perasaan kesal, aku membanting pintu mobilnya dengan keras. Aku menatap mobilnya dengan penuh kebencian selayaknya kebencian Harry Potter terhadap Vagetos. Eh, salah.. Maksudku Voldemort.

Pip! Pip! Pip!

Ada sebuah pesan WhatsApp masuk. Kulihat pesan tersebut dari Sheila dan langsung kubuka 
berharap dia berubah pikiran.

Sheila MyBeb:  NUTUP PINTUNYA PELAN-PELAN BEGO!!!
Sheila MyBeb: KALO RUSAK EMANG LO SANGGUP GANTI?!!
WaOne Pedro: Eh, maaaaf. Gak sengajaa..
WaOne Pedro: Beb.. CD Sheila On 7  aku masih ada di sana. Belum aku keluarin.
Sheila MyBeb: BODO AMAT. LAGIAN INI CD KAN BELINYA PAKE DUIT GUE! JADI PUNYA GUA DONG!!
WaOne Pedro: Lah? Kok gitu sih?!

***


Tambun, 7 Februari 2015



 
Tulisan cerpen ini pernah dipublikasikan di Website-nya @KomtungTV
http://komtungtv.com/detailarticle.php?vid=182&pid=9