“Bu.. Sakti mau nikah dong, bu. Ibu bisa enggak dateng ke Jakarta buat ngelamar?”
“Kamu ini mau nikah sama siapa? Ngajak ibu lamaran kok udah kaya ngajak pergi ke Mall. Mendadak begini.”
“Iya, Bu. Pokoknya aku mau nikah.”
“Iya
tau. Tapi begin, loh. Nikah itu bukan main-main loh. Cerita dulu yang
jelas. Terus kamu udah siap semuanya apa belum? Kamu aja kerja belum ada
setahun. Mau dikasih makan apa? Cinta?!”
“Iya. Yang penting kan
itu dulu, duit sih tinggal jalanin. Bukannya kalau orang nikah itu pintu
rezeki bakal terbuka lebih banyak.”
“Iya. Tapi begini, nak. Nikah
itu bukan urusan cinta aja tapi yang utama adalah komitmen. Cinta itu
urusannya tentag rasa, sementara komitmen urusannya logika. Logika untuk
bakal selalu berusaha memahami, bahwa pernikahan itu adalah takdir dan
janji kita kepada Allah waktu akad nikah.”
“Hemmm..”
“Kamu
kenapa tiba-tiba mau nikah? Ibu aja belum pernah dengar kamu cerita
punya pacar. Ini kok tiba-tiba mau nikah aja. Kamu enggak habis
ngehamilin anak orang kan?!”
“Eh, bu! Semalem Dangdut Academy siapa yang tersenggol?”
*
Hal
gila apa yang pernah kamu lakukan demi seseorang yang kamu suka atau
kamu cintai? Hal gila didasari perbuatan yang bisa dibilang nekat dan
tanpa berpikir panjang berkompromi dengan logika. Kita sebenarnya
melakukannya semua hal gila itu dengan keadaan sadar, tapi kita juga
tahu jka kita melakukannya dengan hati yang gusar. Karena keputusan yang
bisa dibilang tergesa-gesa itu tidak seharusnya diambil untuk
menyelesaikan perihal yang dianggap besar.
Benar kata Om Bagus,
Den Coki dan Bang Eno yang tergabung dalam sebuah band bernama Netral,
mereka bilang “Cinta memang gila, tak kenal permisi. Bila disengatnya,
say no to kompromi.” Ketika kita sedang jatuh cinta, terkadang
kehilangan sebagian dari kewarasan merupakan sebuah hal yang wajar.
Jatuh cinta membuat kita menjadi gila, apalagi jika kita jatuh cinta
pada orang yang salah. Misalnya, jatuh cinta kepada seseorang yang sudah
ada pemiliknya atau jatuh cinta terhadap sahabat sendiri. Walaupun kita
tahu bahwa pada dasarnya cinta tidak mengenal kata salah.
Aku
melakukan keduanya. Aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri yang hatinya
sudah dimiliki oleh orang lain. Aku sebenarnya sudah tahu apa yang
nanti akhirnya akan terjadi bila yang kulakukanini benar-benar salah.
Meninggalkannya. Ya! Karena cinta yang salah itu cepat atau lambat pasti
akan ditinggalkan.
Namanya Revanny Ferdania. Perempuan yang seringkali mengambil sedikit kewarasanku.
Entah
sudah berapa kali aku jatuh cita pada seseorang yang seharusnya hanya
kuanggap sebagai seorang sahabat. Pada hakikatnya, sahabat merupakan
tempat berbagi canda, tawa, sedih, suka, duka dan berbagai macam emosi
lainnya tanpa diembel-embeli dengan rasa egois ingin memiliki sendiri.
Aku tidak bisa mengontrolnya. Aku jatuh terlalu dalam ke sebuah kondisi
perasaan yang kuanggap itu.. Hemm... “Cinta.”
Sayangnya,
keberanianku untuk jatuh cinta terhadapnya ternyata tidak diikuti dengan
keberanianku untuk mengungkapkan cinta. Pertama, dia sudah mempunyai
seorang kekasih. Kedua, aku takut dia yang sudah sepenuhnya percaya
kepadaku sebagai seorang sahabatnya, kecewa kepadaku lalu pergi. Jadi,
perasaan sayangku yang sudah ada selama bertahun-tahun ini hanya bisa
ditunjukan dengan menjadi seorang sahabat yang terbaik untuknya yaitu dengan cara mendengarkannya curhat, menyediakannya bahu ketika ia butuh bersandar,
serta membuatnya tersenyum dan tertawa. Ketika sedang bersamaku, dia
harus selalu merasa nyaman serta sadar jika selama ini ternyata dia
mempunyai seseorang yang selalu ada untuknya. Ya! Selalu ada untuknya.
“Sakti! Dimana?” Tanyanya di suatu hari.
“Di rumah. Kenapa, Van?”
“Temenin aku nonton, yuk! Si Yudi lagi main futsal nih. Bete.” Yudi adalah nama kekasihnya.
“Ayo!”
aku langsung mengiyakan ajakannya. Padahal ketika itu aku berbohong,
aku tidak sedang di rumah tapi sedang di kantor lagi kerja sambil main
Solitaire.
“Eh, jelek. Lagi ngapain? Ditelpon kok lama banget ngangatnya?” Katanya lagi di suatu hari yang lain.
“Nyuci motor.” Jawabku singkat.
“Temenin aku clubing dong. Si Yudi biasa nih, ilang lagi main sama temen-temennya. Sebel!”
“Clubing?
Hemm.. Yuk!” aku kembali mengiyakan ajakannya dengan berbohong lagi,
aku tidak sedang nyuci motor tapi habis menyelesaikan solat Isya. Abis
solat, clubing terus lajut mabuk-mabukan sedikit. Yaa.. Enggak apa-apa
deh. Impas.
“Ke mall yuk, ti?!” Tanyanya lagi di hari yang lain.
“Mau ngapain? Nonton apa makan aja?” Aku balik bertanya.
“Enggak.
Nyari kado buat Yudi. Minggu depan dia ulang tahun. Badan kamu kan
enggak beda jauh sama badan dia. Biar enggak salah ukuran. Hehehe”
“Oooh... “ Aku menarik nafas panjang. “Oke!”
Jika
kamu tidak mempunyai hati yang sekuat Superman, jangan pernah
sekali-kali membawa cinta ke dalam sebuah pertemanan. Dan menurutku
juga, kita bukanlah manusia jika kita bisa merasakan bahagia ketika
melihat seseorang yang kita cintai bahagia bersama orang lain. Yang ada
hanyalah pura-pura bahagia. Itu menurutku, enggak tau deh kalau menurut
mas Anang.
Mempunyai seorang sahabat perempuan, yang dia
dianugerahi paras yang menawan bahkan bisa dibilang mengagumkan, sudah
tentu akan banyak sekali mendatangkan godaan setan. Karena sering kali
menghabiskan waktu berdua dan sudah terlalu dekat, dia tidak segan-segan
berangkulan dan berpelukan denganku. Tapi hanya itu saja, tidak lebih.
Dan sampai saat ini, tidak pernah ada niatan sekalipun dariku untuk
mengambil kesempatan tersebut, walaupun ketika tubuhnya menempel entah
kenapa sepertinya detak jantung dan aliran darahku berdetak serta
berdesir dengan cepat. Aku harus ingat bahwa aku ini adalah sahabat
terbaiknya, sahabat yang mempunyai keahlian pura-pura bahagia saat
melihat dia sedang bersama kekasihnya.
Pura-pura bahagia. Itu salah satu keahlianku.
Revanny adalah seorang perempuan yang mungkin
ketika diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan mood yang bagus. Kalian tahu
Scarlett Johansson? Ya! Mukanya Revanny enggak mirip sama dia.
Cantiknya Revanny itu menurutku biasa saja, tapi bikin kagum. Banyak
wanita yang kuihat di televisi lebih cantik darinya tapi cantiknya
Revanny itu masuk kategori enak dilihat dan enggak bikin kita minder,
sehingga kita kalau berduaan dengannya ingin rasanya jarum jam bisa
berjalan dengan lambat. Bentuk tubuhnya Ideal tapi agak berisi. Kalian
harus lihat ketika Revanny sedang membetulkan rambutnya, ia suka
menggulung rambutnya yang tergerai panjang itu sampai leher jenjangnya
yang putih terlihat dan beberapa helai rambut ada di tengkuknya. Setelah
itu, turunkan pandangan kalian ke bawah sedikit, tanggannya yang sibuk
sedikit terentangkan ketika membetulkan rambut, membuat tubuhnya agak
membusung. Ketika dia sedang melakukan gerakan itu, janganlah berkedip
apalagi pura-pura nyari korek.
Sebagai seorang sahabat yang sangat
dia percaya, aku hampir selalu menjadi tempat dia mencurahkan isi
hatinya, baik itu ketika senang, sedih ataupun marah. Kalau dia
mempunyai masalah dengan keluarga atau pacarnya, akulah orang yang bakal
pertama kali tahu. Revanny berasal dari keluarga yang broken home.
Kedua orang tuanya bercerai ketika dia berusia 6 tahun. Sebelum
bercerai, yang kudengar dari ceritanya, keluaga Recanny ini termasuk
keluarga yang religius. Sampai akhirnya mereka tiba-tiba bercerai karena
ayah Revanny kepergok mengikuti sebuah gerakan aliran sesat yang salah
satu ritualnya boleh mengizinkan anggotanya melakukan seks bebas antar
keluarga sesama anggotanya.
Bagaimana degan pacarnya?
Kalau
mendengar cerita-cerita Revanny tentang Yudi, pacarnya, aku hanya bisa
menyimpulkan kalau dia itu tidaklah lebih baik dariku. Dia suka bersikap
seenaknya ke Revanny seperti tidak menganggap kalau Revanny itu
kekasihnya. Bahkan belakangan yang kutahu, ternyata dia juga seorang
yang emosian, pemarah dan kasar. Hal ini aku tahu, karena aku sering
melihat lengan Revanny yang kadang ada luka lebam.
“Kenapa tuh tangan?” Kataku suatu hari kulihat ada luka lebam di lengan Revanny pada saat dia memuka sweater-nya.
“Oh.. Ini...” Dia sejenak berhenti berbicara. “Dicubit sama Yudi, ti.”
“Dicubit?”
Kataku sambil kutatap matanya seakan-akan aku tidak percaya dengan
ucapannya, “Dicubit pakai apaan? Pakai obeng kembang?”
“He..he..he..”
“Malah nyengir.”
“Dia
udah minta maaf kok, ti,” Katanya sambil memegang lenganku. Seperti
sedang membujuku agar aku tidak kesal dengannya. “Dia janji enggak bakal
kaya gitu lagi.”
“Harusnya orang yang membuat kesalahan dalam
sebuah hubungan hanya boleh diberi maaf, enggak usah dikasih kesempatan
lagi,” ucapku dengan nada yang sedikit metinggi. “Kenapa kamu enggak
putusin dia sih. Cari yang lain, yang lebih bener.”
Kata-kata itu
sudah aku ucapkan berulang-ulang kepadanya tiap kali dia bercerita
tentang hubungan mereka yang sedang bertengkar. Karena menurutku, sudah
saatnya kita mengatakan sebuah perpisahan, kalau ketika bersama yang dia
lakukan hanya selalu mengulang kesalahan. Itu menurutku, enggak tahu
deh kalu menurut Bang Ipul.
“Tapi aku masih sayang dia, ti. Aku masih bahagia dengannya.”
Aku
terdiam. Kalau dia sudah berkata seperti itu, yang biasanya aku lakukan
adalah tersenyum kepadanya lalu memegang kepala dan mengelus-elusnya
sambil merapihkan beberapa helai rambutnya.
“Tapi kamu harus tetap
bisa jaga diri ya, van. Aku emang selalu ada buat kamu. Tapi saat kamu
lagi sama dia, aku enggak bisa ada di sana.” Ucapku pelan sambil
jemariku merapihkan beberapa helai rambut yang menggantung di wajahnya
lalu kumasukan ke dalam sela-sela telingannya. Dia mengangguk.
Sejak
dia bersamaku, sebagai seorang sahabat tentunya, tidak pernah sekalipun
aku melihatnya menangis. Sesedih-sedihnya dia curhat denganku, tidak
pernah dia menceritakannya sambil mengeluarkan air mata. Bahkan kadang
ketika sedang cerita sedih, dia menceritakannya sambil tertawa. Itulah
yang sedikit membuatku lega, dia bukan tipe perempuan yang cengeng.
Karena sebagai seseorang yang mencintainya, dengan diam-diam tentunya,
aku sangat tidak ingin melihat dia menangis. Entah itu menangis karena
orang lain, atau menangis karenaku.
Tapi kemarin malam, di tengah
hujan gerimis yang membasahi ibukota, untuk pertama kalinya aku
melihatnya menangis. Jam delapam malam, tanpa mengabariku terlebih
dahulu, dia tiba-tiba datang ke kosanku sendirian. Ketika kubuka pintu
kosan, kulihat matanya sedikit sembab, rambutnya sedikit basahmungkin
karena terkena hujan dan wajahnya menunjukan raut ketakuan. Belum juga
aku bertanya kepadanya, dia langsung mendekatkan wajahnya ke dadaku lalu
menunduk. Tangannya menggenggam erat kemejaku. Samar-samar mulai
kudengar suara isakan tangis. Tapi tidak lama kemudian wajahnya
perlahan-lahan mulai terangkat, menatapku lalu berkata dengan
terbata-bata,
“Aku.. hamil, ti. Aku hamil...”
Isak tangisnya
kembali pecah, kali ini tangisannya terdengar lebih keras. Aku terdiam
seakan tidak percaya atas apa yang telah aku dengar barusan tadi.
*
Setelah terdiam sejenak ketika mendengar kata-kata yang cukup
mengejutkan dari Revanny, yang mengatakan bahwa dia kini sedang hamil,
aku langsung menyilakannya untuk masuk ke dalam. Kami berdua duduk di
pinggir tempat tidurku. Luas kosanku ini berukuran sedang, tidak kecil
tapi tidak juga besar. Di dalamnya hanya ada tempat tidur, meja kerja,
lemari dan beberapa alat elektronik. Tidak ada sofa apalagi kolam
renang.
“Van, kamu kenapa? Coba cerita ke aku ya?” Tanyaku dengan
lembut. Kuraih jemarinya lalu kugenggam erat. Kuyakinkan dia jika saat
ini akulah satu-satunya orang yang bisa dia percaya.
Dengan
sedikit terisak, Revanny mulai mengatur nafasnya dan mulai bercerita.
Aku diam menatapnya, mencoba berusaha untuk mendengarkannya sepenuh hati
meskipun saat ini mungkin hatiku sedang hancur berkeping-keping.
Revanny
mengatakan ketika sedang merayakan ulang tahun kekasihnya di sebuah
klub malam, dia dan yudi sama-sama mabuk berat. Selesai berpesta,
Revanny menginap di apartemen salah satu teman Yudi. Saat itu,
keadaannya masih dalam pengaruh minuman alkohol, setengah tidak sadar
dengan apa yang sedang dia lakukan. Sampai akhirnya keesokan paginya,
Revanny baru tersadar kalau dia sedang berada di atas tempat tidur, di
balik selimut sedang bersama Yudi dalam keadaan tanpa busana.
Aku
mendengar ceritanya sambil tertegun menelan ludah. Pikiranku kacau. Aku
ingin marah kepada Revanny atas kelakuan bodoh yang telah dia lakukan
itu. Tapi aku tidak bisa marah kepadanya, karena aku sayang dia.
“Awalnya
aku enggak mikirin kejadian malam itu, karena kita melakukannya atas
nama cinta, atas dasar suka sama suka. Dan dia sedang ulang tahun, jadi
anggap saja itu kado terindah dariku,” Katanya.
BANGSAAAT!!
Dalam hati aku berteriak.
Atas dasar cinta? Atas dasar suka sama suka? Kado terindah?! Saking kesalnya, kalau di depanku ada ember proyek, aku pasti akan menendangnya keras-keras sampai jauh ke Burkina Faso.
Revanny
kembali melanjutkan ceritanya. Walaupun kejadian itu hanya dianggap
angin lalu, ternyata masalah baru muncul beberapa hari setelahnya,
ketika dia tersadar kalau dia telat mengalami siklus menstruasi dari
jadwal seharusnya. Ketika diperiksa, ternyata dia sedang hamil. Saat itu
lah dia mulai merasa ketakutan dan langsung menghubungi Yudi
menceritakan masalahnya. Setelah beberapa lama berbicara, Yudi akhirnya
mengatakan kalau ia siap bertanggung jawab.
Revanny mendadak
terdiam. Dia menunduk menghentikan ceritanya dan kembali terdengar suara
isakan tangis darinya, kulihat air matanya kelar dan mengalir melewati
pipinya.
“Van,” aku menempelkan tanganku di pipinya untuk menyeka
airmata yang ada di sana, lalu kusentuh dagunya dan sedikit
mengangkatnya agar dia bisa melihatku.
“Kamu ke sini. Terus menangis...
Jangan bilang kalau sekarang pacar kamu itu menghilang. Pergi ninggalin
kamu?!”
Tangisnya kembali meledak.
Dia membenamkan wajahnya
di dadaku dan tangganya erat memelukku. Aku hanya bisa menghela nafas
panjang dan mendekapnya. Tetapi kali ini dekapkanku tidak terlalu kuat.
Pikiranku saat ini sedang kacau. Entah marah, sedih, kecewa atau kasihan
terhadapnya.
“Sehari setelah dia bilang kalau dia mau bertanggung
jawab, tiba-tiba dia menghilang enggak bisa dihubungi, ti.” Ucap
Revanny sambil terisak.
“Kamu udah tanya teman-temannya?” Tanyaku.
“Udah, ti,” Jawabnya. “Teman-temannya juga enggak tahu dia sekarang lagi ada di mana.”
“Kamu lapor polisi aja.”
“Jangan, ti! Jangan lapor polisi ya,” pintanya. “ Aku malu. Karena kami melakukannya atas rasa sama-sama suka. Aku malu.”
Aku kembali menghela nafas, “Kalau begitu bilang ke orang tuanya aja. Ceritakan kejadian sebenarnya.”
“.......”
“Kok diam?”
“Aku
takut, ti. Aku pun belum bilang hal ini ke ibu. Aku takut. Aku bingung
apa yang harus aku lakukan sekarang. Saat ini yang ada di pikiranku cuma
kamu, ” tatapnya memelas. “Cuma kamu yang bisa nolongin aku saat ini.
Cuma kamu, ti.”
Kali ini aku yang terdiam. Ternyata memang benar
kalau cinta itu bisa membuat pikiran kita menjadi sedikit tidak waras
atau bahkan menjadi benar-benar tidak waras.
Entah kenapa
tiba-tiba ada terbesit dalam pikiranku saat ini, aku ingin benar-benar
memiliki Revanny. Aku bersedia menikahinya dan menjadi ayah bagi janin
yang kini sedang dikandungnya.
Ah, aku gila! Menikah. Aku tidak
pernah membayangkan untuk menikah karena aku tahu kerumitannya. Apalagi
jika sudah menyangkut biaya yang harus dikeluarkan. Menikah itu mahal,
apalagi kalau misalnya nyewa organ tunggal.
“Sakti....” katanya memaggil namaku yang membuatku tersadar dari lamunan.
“Iya, van?”
“Kamu masih mau nolongin aku aku?”
“Kok
kamu ngomong gitu sih?” Tanyaku keheranan. “Aku pasti bakal nolongin
kamu. Kapanpun kamu perlu, kapanpun kamu butuh. Aku bakal selalu ada
buat kamu, Van. Kamu mau minta tolong apa?”
“Aku minta tolong kamu
cariin Yudi. Tolong cari dia untuk aku, ti. Janin yang ada di dalam
rahimku ini butuh ayah. Aku enggak mau dia lahir dalam keadaan tanpa
ayah, ti. Aku mohon.” Ucapnya terisak-isak. Wajahnya menatapku dengan
tatapan penuh harapan.
Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya.
Tapi sudah kupastikan senyumku yang baru saja aku tunjukan itu adalah
senyum terpalsu yang pernah aku berikan kepadanya.
Malam itu,
akhirnya Revanny menginap di kosanku. Tapi kalian jangan membayangkan
yang macam-macam ketika Revanny sedang tertidur atau apakah aku juga
tidur dengannya di tempat tidur yang sama. Tidak. Aku tidak mau seperti
itu. Meski malam itu Revanny kulihat tampak lebih menggemaskan puluhan
kali lipat. Dia tidur dengan mengenakan celana basket dan kaosku yang
ketika dia pakai tampak begitu kelonggaran.
“Kenapa kamu masih memilihnya? Padahal aku yang selalu ada untukmu,” bisikku kepadanya yang tengah terlelap.
*
Sudah
dua minggu aku mencari Yudi, si bajingan yang tidak tahu bagaimana
caranya bersyukur karena telah menjadi pacar Revanny, hampir semua
teman-temannya sudah aku tanyai bahkan rumahnya sudah pernah aku awasi
selama dua hari berturut-turut. Tapi memang tak ada tanda-randa
kehadiran darinya di sana.
Sudah dua minggu batas kesabaranku
untuk memendam perasaanku yang kacau ini kepada Revanny. Aku sudah
berjanji kepada diriku sendiri, jika dalam waktu dua minggu Yudi belum
juga ditemukan, maka aku akan bertemu dengan Revanny dan menyampaikan
perasaanku ini kepadanya.
Aku berniat untuk menikahinya.
Entah
bagaimana caranya nanti yang pasti tekadku sudah bulat. Aku sudah
menghubungi Ibuku untuk yang kedua kalinya, setelah aku tidak bisa
meyakinkannya waktu pertama kali menghubunginya tempo hari. Aku
menjelaskan duduk perkaranya, bagaimana perasaanku terhadapnya dan
bagaimana aku ingin selalu menjaganya kepada ibuku. Ibuku akhirnya
luluh, lalu ia menyarankanku untuk mengutarakan sendiri dahulu ke
Revanny, sehabis itu baru ibuku akan datang ke Jakarta untuk resmi
melamarnya.
Dua minggu sudah berlalu. Itu artinya hari ini adalah
hari yang sangat penting setidaknya untukku. Aku akan menyatakan semua
perasaanku selama ini kepadanya. Dengan mengendari sebuah motor Astrea
yang spionnya sudah kendor, aku pergi ke rumahnya. Sepanjang
perjalanan, aku bisa merasakan sendiri ketegangan di wajahku. Mungkin
hari ini adalah salah satu hari terpenting untuk hidupku. Aku terus
berdoa dalam hati sambil bernyanyi.
Mohon Tuhan untuk kali ini saja, lancarkanlah hariku.
Hariku bersamanya.
Ketika
sudah berada di dekat rumahnya, aku menghentikan sepeda motorku di
depan sebuah warung rokok dekat tikungan menuju ke rumahnya karena
kulihat di depan rumah Revanny ada sebuah mobil sedang terparkir.
Tampaknya dia atau ibunya sedang kedatangan tamu. Mau tidak mau aku
harus menunggu tamu yang sedang berada di rumahnya itu pergi.
Dua
puluh menit aku menunggu, sampai akhirnya kulihat pintu pagar rumahnya
terbuka. Dari dalam rumah keluar sosok laki-laki dan perempuan paruh
baya berpenampilan rapih. Selang beberapa detik kemudian, seorang
laki-laki keluar dari rumahnya. Tapi kali ini sosok laki-laki tersebut
wajahnya tidak asing bagiku sebab selama dua minggu ini fotonya selalu
kulihat di dalam handphone milikku karena aku sedang mencarinya.
Laki-laki yang baru saja keluar dari dalam rumah Revanny adalah Yudi.
*
“Kenapa Yudi ada di rumahmu?!” Tanyaku ketus ke Revanny.
Setelah
Yudi bersama kedua orang tua paruh baya itu pergi, aku langsung
menghubungi Revanny untuk memeri tahu jika aku sedang berada di dekat
rumahnya dan ingin berkunjung ke rumahnya serta meminta penjelasannya
tentang apa yang aku lihat tadi. Tapi dia malah mengajaku untuk untuk
membicarakan hal ini di tempat lain, di sebuah Coffee Shop daerah mall dekat rumahnya.
“Maksud dia datang ke rumahku adalah untuk bertanggung jawab, ti.” Jawabnya.
“Apanya yang bertanggung jawab?! Dia kabur selama dua minggu. Dia pengecut, Van!”
“Enggak,
ti,” bantahnya. “Dia hanya menenangkan diri untuk mengambil keputusan
terbaik untuk kami. Dua hari yang lalu dia menghubungiku agar aku segera
memberi tahu ibuku bahwa dia akan melamarku.”
“Dan tadi dia telah melamarmu?”
“Ya.” Jawabnya singkat sambil memperlihatkan jari manisnya yang kini dihiasi sebuah cincin.
Aku
menghela nafas sejenak. Tuhan itu memang maha adil, memberikan kita
bahagia meski dengan berbeda. Dia Memberiku bahagia saat sedang
bersamamu dan memberimu bahagia saat sedang bersamanya.
“Lalu Ibumu tahu kalau kamu sekarang hamil?”
“Enggak, ti. Ibu enggak tahu.”
“Kenapa kamu berbohong?”
“Aku
enggak bohong, ti. Cuma enggah kasih tau aja,” bantahnya halus.
“Lagipula ada sesuatu yang aku sembunyikan, ti. Dan aku ingin
menceritakannya ke kamu.”
“Hah? Maksudnya?” Tanyaku keheranan.
“Ti.. Maaf ya kemarin waktu aku ke kosan kamu, aku sebenarnya udah bohong sama kamu.”
“Bohong bagaimana, van?” Aku malah tambah heran.
“Sebenarnya... anak yang ada di dalam kandunganku ini bukan anak dari Yudi.”
“Hah?!”
“Aku
sudah dihamilin duluan sama orang lain. Tapi aku menjebak Yudi, dengan
membuatnya mabuk dan tidur denganku agar seolah-olah aku hamil karena
perbuatannya,” Jelasnya yang membuatku terkejut. ”Aku takut dia pergi
ninggalin aku kalau aku bilang aku sudah hamil, ti.”
“Lalu itu anak siapa?!”
“Kamu ingat waktu aku minta ditemenin ke klub malam sama kamu?”
Aku diam sebentar untuk mengingat-ingat, “Iya! Aku ingat.”
“Waktu
itu pas pulang dari sana aku enggak pulang ke rumah karena aku takut
dengan ibuku. Jadi aku pulang ke rumah ayahku. Dan disana...”
Dia menghentikan kata-katanya sejenak. Sedangkan aku dari tadi berkali-kali menelan ludah sambil mendengarkan ceritanya.
“Di
sana ada teman-teman ayahku sesama penganut ajarannya, dan aku
dilecehkan di sana. Ayahku tidak bisa berbuat apa-apa, ti.” Ucapnya kini
sambil terisak-isak.
Aku tidak berbicara atau bertanya lagi. Aku langsung mendekap dan memeluknya.
“Maaf
ya, ti aku udah bohong kemarin. Sampai akhirnya aku menyesal dan selalu
kepikiran. Kamu selama ini sudah baik banget ke aku, selalu ada buat
aku, dan selalu jagain aku. Tapi—“
“Udah enggak apa-apa kok.” Aku memotong kata-katanya.
“Ti..”
“Iya, Van?”
“Kamu masih mau nolongin aku kan?”
“Kamu udah tau kan aku bakal jawab apa?”
“Pasti 'iya' ya? Makasih. Hehehe”
“Mau minta tolong apa?”
“Tolong Yudi jangan sampai tahu ya.”
Aku mengangguk dan tersenyum.
Ternyata memang benar, cinta bukan perkara memaksakan, tapi perkara merelakan.
“Sakti...”
“Iya?”
“Waktu di kosan kamu, sebenarnya engak bisa tidur. Aku cuma merem aja.”
“Eh?”
“Maaf ya.... Karena aku milih dia, padahal kamu yang selalu ada.”
Lebih dari sekedar teman dekatmu.
Berhentilah mencari,
Karena kau tlah menemukannya.
***
Bekasi, 1 Agustus 2015
*terinspirasi dari lagu DRIVE yang berjudul 'Akulah Dia'.
Tulisan cerpen ini pernah dipublikasikan di Website-nya @KomtungTV
http://komtungtv.com/detailarticle.php?vid=235&pid=9