Senin, 14 September 2015

SESUNGGUHNYA DIA ADALAH DIRIKU




“Bu.. Sakti mau nikah dong, bu. Ibu bisa enggak dateng ke Jakarta buat ngelamar?”

“Kamu ini mau nikah sama siapa? Ngajak ibu lamaran kok udah kaya ngajak pergi ke Mall. Mendadak begini.”

“Iya, Bu. Pokoknya aku mau nikah.”

“Iya tau. Tapi begin, loh. Nikah itu bukan main-main loh. Cerita dulu yang jelas. Terus kamu udah siap semuanya apa belum? Kamu aja kerja belum ada setahun. Mau dikasih makan apa? Cinta?!”

“Iya. Yang penting kan itu dulu, duit sih tinggal jalanin. Bukannya kalau orang nikah itu pintu rezeki bakal terbuka lebih banyak.”

“Iya. Tapi begini, nak. Nikah itu bukan urusan cinta aja tapi yang utama adalah komitmen. Cinta itu urusannya tentag rasa, sementara komitmen urusannya logika. Logika untuk bakal selalu berusaha memahami, bahwa pernikahan itu adalah takdir dan janji kita kepada Allah waktu akad nikah.”

“Hemmm..”

“Kamu kenapa tiba-tiba mau nikah? Ibu aja belum pernah dengar kamu cerita punya pacar. Ini kok tiba-tiba mau nikah aja. Kamu enggak habis ngehamilin anak orang kan?!”

“Eh, bu! Semalem Dangdut Academy siapa yang tersenggol?”

*

Hal gila apa yang pernah kamu lakukan demi seseorang yang kamu suka atau kamu cintai? Hal gila didasari perbuatan yang bisa dibilang nekat dan tanpa berpikir panjang berkompromi dengan logika. Kita sebenarnya melakukannya semua hal gila itu dengan keadaan sadar, tapi kita juga tahu jka kita melakukannya dengan hati yang gusar. Karena keputusan yang bisa dibilang tergesa-gesa itu tidak seharusnya diambil untuk menyelesaikan perihal yang dianggap besar.

Benar kata Om Bagus, Den Coki dan Bang Eno yang tergabung dalam sebuah band bernama Netral, mereka bilang “Cinta memang gila, tak kenal permisi. Bila disengatnya, say no to kompromi.” Ketika kita sedang jatuh cinta, terkadang kehilangan sebagian dari kewarasan merupakan sebuah hal yang wajar. Jatuh cinta membuat kita menjadi gila, apalagi jika kita jatuh cinta pada orang yang salah. Misalnya, jatuh cinta kepada seseorang yang sudah ada pemiliknya atau jatuh cinta terhadap sahabat sendiri. Walaupun kita tahu bahwa pada dasarnya cinta tidak mengenal kata salah.

Aku melakukan keduanya. Aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri yang  hatinya sudah dimiliki oleh orang lain. Aku sebenarnya sudah tahu apa yang nanti akhirnya akan terjadi bila yang kulakukanini benar-benar salah. Meninggalkannya. Ya! Karena cinta yang salah itu cepat atau lambat pasti akan ditinggalkan.

Namanya Revanny Ferdania. Perempuan yang seringkali mengambil sedikit kewarasanku.

Entah sudah berapa kali aku jatuh cita pada seseorang yang seharusnya hanya kuanggap sebagai seorang sahabat. Pada hakikatnya, sahabat merupakan tempat berbagi canda, tawa, sedih, suka, duka dan berbagai macam emosi lainnya tanpa diembel-embeli dengan rasa egois ingin memiliki sendiri. Aku tidak bisa mengontrolnya. Aku jatuh terlalu dalam ke sebuah kondisi perasaan yang kuanggap itu.. Hemm... “Cinta.”

Sayangnya, keberanianku untuk jatuh cinta terhadapnya ternyata tidak diikuti dengan keberanianku untuk mengungkapkan cinta. Pertama, dia sudah mempunyai seorang kekasih. Kedua, aku takut dia yang sudah sepenuhnya percaya kepadaku sebagai seorang sahabatnya, kecewa kepadaku lalu pergi. Jadi, perasaan sayangku yang sudah ada selama bertahun-tahun ini hanya bisa ditunjukan dengan menjadi seorang sahabat yang terbaik untuknya yaitu dengan cara mendengarkannya curhat, menyediakannya bahu ketika ia butuh bersandar, serta membuatnya tersenyum dan tertawa. Ketika sedang bersamaku, dia harus selalu merasa nyaman serta sadar jika selama ini ternyata dia mempunyai seseorang yang selalu ada untuknya. Ya! Selalu ada untuknya.

“Sakti! Dimana?” Tanyanya di suatu hari.

“Di rumah. Kenapa, Van?”

“Temenin aku nonton, yuk! Si Yudi lagi main futsal nih. Bete.” Yudi adalah nama kekasihnya.

“Ayo!” aku langsung mengiyakan ajakannya. Padahal ketika itu aku berbohong, aku tidak sedang di rumah tapi sedang di kantor lagi kerja sambil main Solitaire.

“Eh, jelek. Lagi ngapain? Ditelpon kok lama banget ngangatnya?” Katanya lagi di suatu hari yang lain.

“Nyuci motor.” Jawabku singkat.

“Temenin aku clubing dong. Si Yudi biasa nih, ilang lagi main sama temen-temennya. Sebel!”

“Clubing? Hemm.. Yuk!” aku kembali mengiyakan ajakannya dengan berbohong lagi, aku tidak sedang nyuci motor tapi habis menyelesaikan solat Isya. Abis solat, clubing terus lajut mabuk-mabukan sedikit. Yaa.. Enggak apa-apa deh. Impas.

“Ke mall yuk, ti?!” Tanyanya lagi di hari yang lain.

“Mau ngapain? Nonton apa makan aja?” Aku balik bertanya.

“Enggak. Nyari kado buat Yudi. Minggu depan dia ulang tahun. Badan kamu kan enggak beda jauh sama badan dia. Biar enggak salah ukuran. Hehehe”

“Oooh... “ Aku menarik nafas panjang. “Oke!”

Jika kamu tidak mempunyai hati yang sekuat Superman, jangan pernah sekali-kali membawa cinta ke dalam sebuah pertemanan. Dan menurutku juga, kita bukanlah manusia jika kita bisa merasakan bahagia ketika melihat seseorang yang kita cintai bahagia bersama orang lain. Yang ada hanyalah pura-pura bahagia. Itu menurutku, enggak tau deh kalau menurut mas Anang.

Mempunyai seorang sahabat perempuan, yang dia dianugerahi paras yang menawan bahkan bisa dibilang mengagumkan, sudah tentu akan banyak sekali mendatangkan godaan setan. Karena sering kali menghabiskan waktu berdua dan sudah terlalu dekat, dia tidak segan-segan berangkulan dan berpelukan denganku. Tapi hanya itu saja, tidak lebih. Dan sampai saat ini, tidak pernah ada niatan sekalipun dariku untuk mengambil kesempatan tersebut, walaupun ketika tubuhnya menempel entah kenapa sepertinya detak jantung dan aliran darahku berdetak serta berdesir dengan cepat. Aku harus ingat bahwa aku ini adalah sahabat terbaiknya, sahabat yang mempunyai keahlian pura-pura bahagia saat melihat dia sedang bersama kekasihnya.

Pura-pura bahagia. Itu salah satu keahlianku.  

Revanny adalah seorang perempuan yang mungkin ketika diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan mood yang bagus. Kalian tahu Scarlett Johansson? Ya! Mukanya Revanny enggak mirip sama dia. Cantiknya Revanny itu menurutku biasa saja, tapi bikin kagum. Banyak wanita yang kuihat di televisi lebih cantik darinya tapi cantiknya Revanny itu masuk kategori enak dilihat dan enggak bikin kita minder, sehingga kita kalau berduaan dengannya ingin rasanya jarum jam bisa berjalan dengan lambat. Bentuk tubuhnya Ideal tapi agak berisi. Kalian harus lihat ketika Revanny sedang membetulkan rambutnya, ia suka menggulung rambutnya yang tergerai panjang itu sampai leher jenjangnya yang putih terlihat dan beberapa helai rambut ada di tengkuknya. Setelah itu, turunkan pandangan kalian ke bawah sedikit, tanggannya yang sibuk sedikit terentangkan ketika membetulkan rambut, membuat tubuhnya agak membusung. Ketika dia sedang melakukan gerakan itu, janganlah berkedip apalagi pura-pura nyari korek.

Sebagai seorang sahabat yang sangat dia percaya, aku hampir selalu menjadi tempat dia mencurahkan isi hatinya, baik itu ketika senang, sedih ataupun marah. Kalau dia mempunyai masalah dengan keluarga atau pacarnya, akulah orang yang bakal pertama kali tahu. Revanny berasal dari keluarga yang broken home. Kedua orang tuanya bercerai ketika dia berusia 6 tahun. Sebelum bercerai, yang kudengar dari ceritanya, keluaga Recanny ini termasuk keluarga yang religius. Sampai akhirnya mereka tiba-tiba bercerai karena ayah Revanny kepergok mengikuti sebuah gerakan aliran sesat yang salah satu ritualnya boleh mengizinkan anggotanya melakukan seks bebas antar keluarga sesama anggotanya.

Bagaimana degan pacarnya?

Kalau mendengar cerita-cerita Revanny tentang Yudi, pacarnya, aku hanya bisa menyimpulkan kalau dia itu tidaklah lebih baik dariku. Dia suka bersikap seenaknya ke Revanny seperti tidak menganggap kalau Revanny itu kekasihnya. Bahkan belakangan yang kutahu, ternyata dia juga seorang yang emosian, pemarah dan kasar. Hal ini aku tahu, karena aku sering melihat lengan Revanny yang kadang ada luka lebam.

“Kenapa tuh tangan?” Kataku suatu hari kulihat ada luka lebam di lengan Revanny pada saat dia memuka sweater-nya.

“Oh.. Ini...” Dia sejenak berhenti berbicara. “Dicubit sama Yudi, ti.”

“Dicubit?” Kataku sambil kutatap matanya seakan-akan aku tidak percaya dengan ucapannya, “Dicubit pakai apaan? Pakai obeng kembang?”

“He..he..he..”

“Malah nyengir.”

“Dia udah minta maaf kok, ti,” Katanya sambil memegang lenganku. Seperti sedang membujuku agar aku tidak kesal dengannya. “Dia janji enggak bakal kaya gitu lagi.”

“Harusnya orang yang membuat kesalahan dalam sebuah hubungan hanya boleh diberi maaf, enggak usah dikasih kesempatan lagi,” ucapku dengan nada yang sedikit metinggi. “Kenapa kamu enggak putusin dia sih. Cari yang lain, yang lebih bener.”

Kata-kata itu sudah aku ucapkan berulang-ulang kepadanya tiap kali dia bercerita tentang hubungan mereka yang sedang bertengkar. Karena menurutku, sudah saatnya kita mengatakan sebuah perpisahan, kalau ketika bersama yang dia lakukan hanya selalu mengulang kesalahan. Itu menurutku, enggak tahu deh kalu menurut Bang Ipul.

“Tapi aku masih sayang dia, ti. Aku masih bahagia dengannya.”

Aku terdiam. Kalau dia sudah berkata seperti itu, yang biasanya aku lakukan adalah tersenyum kepadanya lalu memegang kepala dan mengelus-elusnya sambil merapihkan beberapa helai rambutnya.

“Tapi kamu harus tetap bisa jaga diri ya, van. Aku emang selalu ada buat kamu. Tapi saat kamu lagi sama dia, aku enggak bisa ada di sana.” Ucapku pelan sambil jemariku merapihkan beberapa helai rambut yang menggantung di wajahnya lalu kumasukan ke dalam sela-sela telingannya. Dia mengangguk.

Sejak dia bersamaku, sebagai seorang sahabat tentunya, tidak pernah sekalipun aku melihatnya menangis. Sesedih-sedihnya dia curhat denganku, tidak pernah dia menceritakannya sambil mengeluarkan air mata. Bahkan kadang ketika sedang cerita sedih, dia menceritakannya sambil tertawa. Itulah yang sedikit membuatku lega, dia bukan tipe perempuan yang cengeng. Karena sebagai seseorang yang mencintainya, dengan diam-diam tentunya, aku sangat tidak ingin melihat dia menangis. Entah itu menangis karena orang lain, atau menangis karenaku.

Tapi kemarin malam, di tengah hujan gerimis yang membasahi ibukota, untuk pertama kalinya aku melihatnya menangis. Jam delapam malam, tanpa mengabariku terlebih dahulu, dia tiba-tiba datang ke kosanku sendirian. Ketika kubuka pintu kosan, kulihat matanya sedikit sembab, rambutnya sedikit basahmungkin karena terkena hujan dan wajahnya menunjukan raut ketakuan. Belum juga aku bertanya kepadanya, dia langsung mendekatkan wajahnya ke dadaku lalu menunduk. Tangannya menggenggam erat kemejaku.  Samar-samar mulai kudengar suara isakan tangis. Tapi tidak lama kemudian wajahnya perlahan-lahan mulai terangkat, menatapku lalu berkata dengan terbata-bata,

“Aku.. hamil, ti. Aku hamil...” 

Isak tangisnya kembali pecah, kali ini tangisannya terdengar lebih keras. Aku terdiam seakan tidak percaya atas apa yang telah aku dengar barusan tadi.


Setelah terdiam sejenak ketika mendengar kata-kata yang cukup mengejutkan dari Revanny, yang mengatakan bahwa dia kini sedang hamil, aku langsung menyilakannya untuk masuk ke dalam. Kami berdua duduk di pinggir tempat tidurku. Luas kosanku ini berukuran sedang, tidak kecil tapi tidak juga besar. Di dalamnya hanya ada tempat tidur, meja kerja, lemari dan beberapa alat elektronik. Tidak ada sofa apalagi kolam renang.

“Van, kamu kenapa? Coba cerita ke aku ya?” Tanyaku dengan lembut. Kuraih jemarinya lalu kugenggam erat. Kuyakinkan dia jika saat ini akulah satu-satunya orang yang bisa dia percaya.

Dengan sedikit terisak, Revanny mulai mengatur nafasnya dan mulai bercerita. Aku diam menatapnya, mencoba berusaha untuk mendengarkannya sepenuh hati meskipun saat ini mungkin hatiku sedang hancur berkeping-keping.

Revanny mengatakan ketika sedang merayakan ulang tahun kekasihnya di sebuah klub malam, dia dan yudi sama-sama mabuk berat. Selesai berpesta, Revanny menginap di apartemen salah satu teman Yudi. Saat itu, keadaannya masih dalam pengaruh minuman alkohol, setengah tidak sadar dengan apa yang sedang dia lakukan. Sampai akhirnya keesokan paginya, Revanny baru tersadar kalau dia sedang berada di atas tempat tidur, di balik selimut sedang bersama Yudi dalam keadaan tanpa busana. 

Aku mendengar ceritanya sambil tertegun menelan ludah. Pikiranku kacau. Aku ingin marah kepada Revanny atas kelakuan bodoh yang telah dia lakukan itu. Tapi aku tidak bisa marah kepadanya, karena aku sayang dia.

“Awalnya aku enggak mikirin  kejadian malam itu, karena kita melakukannya atas nama cinta, atas dasar suka sama suka. Dan dia sedang ulang tahun, jadi anggap saja itu kado terindah dariku,” Katanya.

BANGSAAAT!!

Dalam hati aku berteriak.

Atas dasar cinta? Atas dasar suka sama suka? Kado terindah?! Saking kesalnya, kalau di depanku ada ember proyek, aku pasti akan menendangnya keras-keras sampai jauh ke Burkina Faso.

Revanny kembali melanjutkan ceritanya. Walaupun kejadian itu hanya dianggap angin lalu, ternyata masalah baru muncul beberapa hari setelahnya, ketika dia tersadar kalau dia telat mengalami siklus menstruasi dari jadwal seharusnya. Ketika diperiksa, ternyata dia sedang hamil. Saat itu lah dia mulai merasa ketakutan dan langsung menghubungi Yudi menceritakan masalahnya. Setelah beberapa lama berbicara, Yudi akhirnya mengatakan kalau ia siap bertanggung jawab.

Revanny mendadak terdiam. Dia menunduk menghentikan ceritanya dan kembali terdengar suara isakan tangis darinya, kulihat air matanya kelar dan mengalir melewati pipinya.

“Van,” aku menempelkan tanganku di pipinya untuk menyeka airmata yang ada di sana, lalu kusentuh dagunya dan sedikit mengangkatnya agar dia bisa melihatku.

“Kamu ke sini. Terus menangis... Jangan bilang kalau sekarang pacar kamu itu menghilang. Pergi ninggalin kamu?!”

Tangisnya kembali meledak.

Dia membenamkan wajahnya di dadaku dan tangganya erat memelukku. Aku hanya bisa menghela nafas panjang dan mendekapnya. Tetapi kali ini dekapkanku tidak terlalu kuat. Pikiranku saat ini sedang kacau. Entah marah, sedih, kecewa atau kasihan terhadapnya.

“Sehari setelah dia bilang kalau dia mau bertanggung jawab, tiba-tiba dia menghilang enggak bisa dihubungi, ti.” Ucap Revanny sambil terisak.

“Kamu udah tanya teman-temannya?” Tanyaku.

“Udah, ti,” Jawabnya. “Teman-temannya juga enggak tahu dia sekarang lagi ada di mana.”

“Kamu lapor polisi aja.”

“Jangan, ti! Jangan lapor polisi ya,” pintanya. “ Aku malu. Karena kami melakukannya atas rasa sama-sama suka. Aku malu.”
Aku kembali menghela nafas, “Kalau begitu bilang ke orang tuanya aja. Ceritakan kejadian sebenarnya.”

“.......”

“Kok diam?”

“Aku takut, ti. Aku pun belum bilang hal ini ke ibu. Aku takut. Aku bingung apa yang harus aku lakukan sekarang. Saat ini yang ada di pikiranku cuma kamu, ” tatapnya memelas. “Cuma kamu yang bisa nolongin aku saat ini. Cuma kamu, ti.”

Kali ini aku yang terdiam. Ternyata memang benar kalau cinta itu bisa membuat pikiran kita menjadi sedikit tidak waras atau bahkan menjadi benar-benar tidak waras.

Entah kenapa tiba-tiba ada terbesit dalam pikiranku saat ini, aku ingin benar-benar memiliki Revanny. Aku bersedia menikahinya dan menjadi ayah bagi janin yang kini sedang dikandungnya.

Ah, aku gila! Menikah. Aku tidak pernah membayangkan untuk menikah karena aku tahu kerumitannya. Apalagi jika sudah menyangkut biaya yang harus dikeluarkan. Menikah itu mahal, apalagi kalau misalnya nyewa organ tunggal.

“Sakti....” katanya memaggil namaku yang membuatku tersadar dari lamunan.

“Iya, van?”

“Kamu masih mau nolongin aku aku?”

“Kok kamu ngomong gitu sih?” Tanyaku keheranan. “Aku pasti bakal nolongin kamu. Kapanpun kamu perlu, kapanpun kamu butuh. Aku bakal selalu ada buat kamu, Van. Kamu mau minta tolong apa?”

“Aku minta tolong kamu cariin Yudi. Tolong cari dia untuk aku, ti. Janin yang ada di dalam rahimku ini butuh ayah. Aku enggak mau dia lahir dalam keadaan tanpa ayah, ti. Aku mohon.” Ucapnya terisak-isak. Wajahnya menatapku dengan tatapan penuh harapan.

Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya. Tapi sudah kupastikan senyumku yang baru saja aku tunjukan itu  adalah senyum terpalsu yang pernah aku berikan kepadanya.

Malam itu, akhirnya Revanny menginap di kosanku. Tapi kalian jangan membayangkan yang macam-macam ketika Revanny sedang tertidur atau apakah aku juga tidur dengannya di tempat tidur yang sama. Tidak. Aku tidak mau seperti itu. Meski malam itu Revanny kulihat tampak lebih menggemaskan puluhan kali lipat. Dia tidur dengan mengenakan celana basket dan kaosku yang ketika dia pakai tampak begitu kelonggaran.

“Kenapa kamu masih memilihnya? Padahal aku yang selalu ada untukmu,” bisikku kepadanya yang tengah terlelap.

*

Sudah dua minggu aku mencari Yudi, si bajingan yang tidak tahu bagaimana caranya bersyukur karena telah menjadi pacar Revanny, hampir semua teman-temannya sudah aku tanyai bahkan rumahnya sudah pernah aku awasi selama dua hari berturut-turut. Tapi memang tak ada tanda-randa kehadiran darinya di sana.
Sudah dua minggu batas kesabaranku untuk memendam perasaanku yang kacau ini kepada Revanny. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri, jika dalam waktu dua minggu Yudi belum juga ditemukan, maka aku akan bertemu dengan Revanny dan menyampaikan perasaanku ini kepadanya.

Aku berniat untuk menikahinya.

Entah bagaimana caranya nanti yang pasti tekadku sudah bulat. Aku sudah menghubungi Ibuku untuk yang kedua kalinya, setelah aku tidak bisa meyakinkannya waktu pertama kali menghubunginya tempo hari. Aku menjelaskan duduk perkaranya, bagaimana perasaanku terhadapnya dan bagaimana aku ingin selalu menjaganya kepada ibuku. Ibuku akhirnya luluh, lalu ia menyarankanku untuk mengutarakan sendiri dahulu ke Revanny, sehabis itu baru ibuku akan datang ke Jakarta untuk resmi melamarnya.

Dua minggu sudah berlalu. Itu artinya hari ini adalah hari yang sangat penting setidaknya untukku. Aku akan menyatakan semua perasaanku selama ini kepadanya. Dengan mengendari sebuah motor Astrea yang spionnya sudah kendor, aku pergi ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, aku bisa merasakan sendiri ketegangan di wajahku. Mungkin hari ini adalah salah satu hari terpenting untuk hidupku. Aku terus berdoa dalam hati sambil bernyanyi. 

Mohon Tuhan untuk kali ini saja, lancarkanlah hariku.
Hariku bersamanya. 

Ketika sudah berada di dekat rumahnya, aku menghentikan sepeda motorku di depan sebuah warung rokok dekat tikungan menuju ke rumahnya karena kulihat di depan rumah Revanny ada sebuah mobil sedang terparkir. Tampaknya dia atau ibunya sedang kedatangan tamu. Mau tidak mau aku harus menunggu tamu yang sedang berada di rumahnya itu pergi.

Dua puluh menit aku menunggu, sampai akhirnya kulihat pintu pagar rumahnya terbuka. Dari dalam rumah keluar sosok laki-laki dan perempuan paruh baya berpenampilan rapih. Selang beberapa detik kemudian, seorang laki-laki keluar dari rumahnya. Tapi kali ini sosok laki-laki tersebut wajahnya tidak asing bagiku sebab selama dua minggu ini fotonya selalu kulihat di dalam handphone milikku karena aku sedang mencarinya.

Laki-laki yang baru saja keluar dari dalam rumah Revanny adalah Yudi.

*

“Kenapa Yudi ada di rumahmu?!” Tanyaku ketus ke Revanny.

Setelah Yudi bersama kedua orang tua paruh baya itu pergi, aku langsung menghubungi Revanny untuk memeri tahu jika aku sedang berada di dekat rumahnya dan ingin berkunjung ke rumahnya serta meminta penjelasannya tentang apa yang aku lihat tadi. Tapi dia malah mengajaku untuk untuk membicarakan hal ini di tempat lain, di sebuah Coffee Shop daerah mall dekat rumahnya.

“Maksud dia datang ke rumahku adalah untuk bertanggung jawab, ti.” Jawabnya.

“Apanya yang bertanggung jawab?! Dia kabur selama dua minggu. Dia pengecut, Van!”

“Enggak, ti,” bantahnya. “Dia hanya menenangkan diri untuk mengambil keputusan terbaik untuk kami. Dua hari yang lalu dia menghubungiku agar aku segera memberi tahu ibuku bahwa dia akan melamarku.”

“Dan tadi dia telah melamarmu?”

“Ya.” Jawabnya singkat sambil memperlihatkan jari manisnya yang kini dihiasi sebuah cincin.

Aku menghela nafas sejenak. Tuhan itu memang maha adil, memberikan kita bahagia meski dengan berbeda. Dia Memberiku bahagia saat sedang bersamamu dan memberimu bahagia saat sedang bersamanya.

“Lalu Ibumu tahu kalau kamu sekarang hamil?”

“Enggak, ti. Ibu enggak tahu.”

“Kenapa kamu berbohong?”

“Aku enggak bohong, ti. Cuma enggah kasih tau aja,” bantahnya halus. “Lagipula ada sesuatu yang aku sembunyikan, ti. Dan aku ingin menceritakannya ke kamu.”

“Hah? Maksudnya?” Tanyaku keheranan.

“Ti.. Maaf ya kemarin waktu aku ke kosan kamu, aku sebenarnya udah bohong sama kamu.”

“Bohong bagaimana, van?” Aku malah tambah heran.

“Sebenarnya... anak yang ada di dalam kandunganku ini bukan anak dari Yudi.”

“Hah?!”

“Aku sudah dihamilin duluan sama orang lain. Tapi aku menjebak Yudi, dengan membuatnya mabuk dan tidur denganku agar seolah-olah aku hamil karena perbuatannya,” Jelasnya yang membuatku terkejut. ”Aku takut dia pergi ninggalin aku kalau aku bilang aku sudah hamil, ti.”

“Lalu itu anak siapa?!”

“Kamu ingat waktu aku minta ditemenin ke klub malam sama kamu?”

Aku diam sebentar untuk mengingat-ingat, “Iya! Aku ingat.”
 
“Waktu itu pas pulang dari sana aku enggak pulang ke rumah karena aku takut dengan ibuku. Jadi aku pulang ke rumah ayahku. Dan disana...”

Dia menghentikan kata-katanya sejenak. Sedangkan aku dari tadi berkali-kali menelan ludah sambil mendengarkan ceritanya.

“Di sana ada teman-teman ayahku sesama penganut ajarannya, dan aku dilecehkan di sana. Ayahku tidak bisa berbuat apa-apa, ti.” Ucapnya kini sambil terisak-isak.

Aku tidak berbicara atau bertanya lagi. Aku langsung mendekap dan memeluknya.

“Maaf ya, ti aku udah bohong kemarin. Sampai akhirnya aku menyesal dan selalu kepikiran. Kamu selama ini sudah baik banget ke aku, selalu ada buat aku, dan selalu jagain aku. Tapi—“

“Udah enggak apa-apa kok.” Aku memotong kata-katanya.

“Ti..”

“Iya, Van?”

“Kamu masih mau nolongin aku kan?”

“Kamu udah tau kan aku bakal jawab apa?”

“Pasti 'iya' ya? Makasih. Hehehe”

“Mau minta tolong apa?”

“Tolong Yudi jangan sampai tahu ya.”

Aku mengangguk dan tersenyum.

Ternyata memang benar, cinta bukan perkara memaksakan, tapi perkara merelakan.

“Sakti...”

“Iya?”

“Waktu di kosan kamu, sebenarnya engak bisa tidur. Aku cuma merem aja.”

“Eh?”

“Maaf ya.... Karena aku milih dia, padahal kamu yang selalu ada.”


Sesungguhnya dia adalah diriku,
Lebih dari sekedar teman dekatmu.
Berhentilah mencari,
Karena kau tlah menemukannya.

***



Bekasi, 1 Agustus 2015

*terinspirasi dari lagu DRIVE yang berjudul 'Akulah Dia'.


Tulisan cerpen ini pernah dipublikasikan di Website-nya @KomtungTV
http://komtungtv.com/detailarticle.php?vid=235&pid=9 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar