Minggu, 04 Januari 2015

FIKSI



“Maaf Mbak, buku Tuntunan Sholat ada di mana ya?” Aku bertanya kepada salah seorang pegawai toko buku yang kebetulan lewat di sampingku.

“Oh, ada di sana, mas,” Pegawai toko buku itu menunjuk ke arah kasir yang ada di seberangku. “Di rak buku Agama persis di sebelah kasir.”

“Oooh di sana? Di rak buku agama?”

“Iya, mas.”

“Enggak ada di rak buku komik? Sebelah rak komik Naruto gitu, mbak?”

“Ya enggak ada lah, mas. Masa buku Tuntunan Sholat ditaruh di rak komik.”

“Yaa.. Mbak, yang namanya hidayah itu siapa yang tahu, bisa datang ke siapa aja, mbak.”

“…….”

“Siapa tahu Naruto berubah pikiran dan mendapatkan hidayah, dia udah enggak mau jadi Hokage lagi maunya jadi Habib.”

Pegawai toko buku tersebut terdiam menatapku. Keningnya berkenyit dan bibir sebelah kirinya sedikit tertarik ke atas, mungkin dia kagum dengan penjelasanku tadi.  Ya! Aku memang pintar.

Tiba-tiba dia mengambil salah satu buku dari rak yang ada di sampingku.

“Permisi ya, mas.” Katanya pelan dan kemudian dia pergi meninggalkan ku tanpa ucapan perpisahan apalagi diiringi lagu gelang sipaku gelang.

Aku berjalan ke arah rak buku komik lalu berdiri di samping seorang wanita yang sedang asyik membaca komik Doraemon. Tampaknya dia tidak menyadari keberadaanku di sampingnya.  Aku diam-diam meliriknya dari samping, sore ini dia terlihat cantik.

Oh! Bukan. Dia memang sudah cantik dari lahir, bukan sore ini saja. Wajah putih bersih, hidung mancung, pipi sedikit chubby dan rambut hitam yang sore ini dia ikat dengan sebuah ikat rambut berwarna pink yang membuat leher jenjangnya terlihat, serta wangi tubuhnya yang harum membuatku harus berusaha menahan diri agar tidak lupa diri dengan tiba-tiba memeluk tubuhnya. 

Reini Febrianty. Dia mantanku yang terakhir.

Sore ini aku menemaninya nonton film Stand By Me Doraemon. Dia menghubungiku tadi siang, mengajaku untuk menonton film yang ceritanya sudah sering aku lihat di televisi setiap minggu pagi. Setelah itu kami kami mampir ke sebuah toko buku yang terkenal dan terbesar di Indonesia.

“Eh, buku Tuntuan Sholat-nya ada di rak agama dekat kasir,” Kataku sambil menepuk pelan pundaknya sehingga membuatnya sedkit kaget.

“Oh, di sana.” Dia menutup buku komik yang tadi dibacanya.

“Iya. Di sana tuh.” Aku menunjuk kea rah dekat kasir.

“Ya udah.. Tolong ambilin dong sekalian yaa, Ti. Hehehe.” Pintanya dengan memelas. Suaranya dibuat menjadi manja. Tipikal suara cewek kalau dia mau menyuruh laki-laki yang sudah dikenalnya dekat.

Aku menggeleng, “Enggak mau, ah, Ambil sendiri. Serem ke sananya”

“Serem? Kenapa emangnya?”

“Kamu enggak lihat itu di rak buku agama judul buku-buku yang dipajang serem-serem. ‘Malapetaka Akhir Zaman’, ‘Membongkar Misteri Dajjal’, ‘Tampil Cantik Dengan Hijab’. Aku takut—“

“Takut kenapa sih?!”

“Aku takut.. Aku nanti kepengen  pakai hijab.”

“Ih apaan sih. Enggak mau tauu.. Pokoknya ambiliin.” Kali ini tidak hanya suaranya yang dibuat manja, tapi dia juga merangkul lenganku dan pipi chubby-nya dikembungkan. Lucu!

“Iya.. iyaa.. Aku ambilin.” Akhirnya aku menyerah.

Aku berjalan ke arah rak buku agama. Ketika sudah dekat dengan rak buku tersebut, aku menahan nafas dan menutup mata dengan tangan kiri. Aku melihat dari sela-sela jari tengah dan manis, buku Tuntunan Shalat ada di rak nomor dua. Dengan berjalan perhan-lahan sambil berulang kali mengucapkan Expecto Patronum, mantra sihirnya Harry Potter, akhirnya aku berhasil mendapatkan buku Tuntunan Shalat yang diinginkan Reini.

Aku kembali menghampiri Reini yang masih berada di rak buku komik sambil membaca komik Doraemon.

“Nih, Bukunya.” Kataku sambil menyerahkan buku itu kepadanya. “Buat apaan sih? Tumben banget beli buku kaya gitu.”

“Iih.. Orang mau tobat kok dibilang tumben sih.”

“Yaa.. Abisnya aneh aja…”

“Udah. Nanti aku kasih tau. Lagi nanggung baca nih.”

“Baca Doraemon? Kan tadi udah nonton film-nya? Enggak puas tadi nonton sampai nangis-nangis?”

“Tuh kan kamu mah gitu. Emang enggak pernah bisa paham perasaan cewek. Tadi aku di dalam nangis malah diledekin.”

“Yaa abis kaya anak kecil aja. Nonton film kartun aja nangis.”

“Ya kan sediiiiih. Kamu mah emang udah enggak punya hati, makanya enggak sedih.”

“Gimana mau nangis. Hati aku aja masih kamu curi, belum dibalikin. Hehehe”

“Ih, gitu. Begini nih kalau ketemu sama mantan yang masih ngarep.Hahaha,” Dia tertawa.

Dia tertawa lepas. Buatku tertawanya kali ini seperti sedang  meledekku.

“Oh, iya. Ngomong-ngomong soal Doraemon..." Aku mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan dengan bercerita tentang keherananku pada film Doraemon yaitu kenapa Shizuka lebih memilih menikah sama Nobita.

Iya. Kenapa ya Shizuka enggak memilih  menikah sama Dekisugi yang cerdas, yang kalau misalnya diajak ngobrol nyambung, atau enggak memilih Giant yang seorang petarung, jadi kalau ada apa-apa dia merasa terlindungi, atau enggak sama Suneo yang kaya raya jadi dia kalau mau beli apa-apa tinggal bilang. Eh, malah nikah sama Nobita yang bego, penakut dan hidupnya pas-pasan.”

Dia terdiam. Tampaknya dia sedang berpikir untuk menjawab pertanyaanku. Pertanyaanku memang brilian. Harusnya aku ini mendapatkan sebuah nobel.
 
“Kamu tahu kenapa Shizuka memilih Nobita?” Tanyanya.

“Kenapa?” Aku balik bertanya.

"Saksikan setelah pesan-pesan berikut ini. Hahaha"

"Yeee.. " Aku mendengus. Tidak kesal hanya sedikit gemas dengannya. Rasanya ingin kucubit pipinya yang tembem itu lalu kucium. Itu juga kalau boleh.

“Maaf.. Maaf." Dia tersenyum.

"Iya dimaafkan."

"Hemm.. Kenapa Shizuka memilih Nobita?"

“Kenapa?”

Dia mendekatkan wajahnya kearahku. Wangi tubuhnya tercium harum di masuk ke dalam rongga hidungku. Rasa-rasanya aku ingin berhenti bernafas saja supaya wangi tubuhnya tetap berada di dalam rongga hidungku. Oke! Ini berlebihan. Kalo kata cabe-cabean sekarang sih katanya lebay atau perez.

"Kenapa Shizuka memilih Nobita? Mungkin karena cuma Nobita yang memperjuangkan cintanya.” Katanya. “Cinta itu buatku adalah sebuah perjuangan. Cinta bukan soal harta, kekuatan dan lain sebagainya.”

“Perjuangan? PDI kali ah perjuangan.”

“Hahaha.. Apaan sih.”

“Hahaha.. Jadi menurut kamu aku selama ini belum berjuang?” Aku kembali bertanya kepadanya. Pertanyaan kali ini sepertinya terbawa perasaan.

“Kamu terlalu sibuk sama dunia kamu sendiri. Apalah itu hobby nge-game, main bola, stand up sama apalah itu namanya yang suka koleksi mainan-mainan pajangan yang harganya mahal?" Ketusnya. "Aku udah berusaha buat memahami kamu, mengerti kamu. Tapi nyatanya? Kamu masih aja cuek. Harusnya kamu belajar bagaimana memahami perasaan wanita, ti.” 

Saat dia menjelaskan, aku tidak membantahnya atau membela diri. Kata-kata itu sebenarnya sudah pernah aku dengar ketika hubungan kami mau berakhir.

“Begitu yaa…..” Kataku sambil menarik nafas dalam-dalam. Ada perasaan sedikit menyesal karena aku ternyata tidak bisa memahami perasaannya.

“Maaf yaa. Aku harap sih kalau kamu kalau lagi dekat sama cewek lain, kamu coba untuk lebih peka lagi. Pahami dia.”

Aku menggeleng. Sekali lagi kutatap kedua bola matanya, berharap dia luluh dan memaafkan segala kekhilafanku.

“Tapi aku maunya dekat sama kamu, Rein.”

“Kemain ke mana aja, Sakti? Apa aku harus pergi dulu yang jauh biar kamu tahu apa itu dekat?”

“Aku cuma suka sama kamu.”

“Aku udah enggak suka kamu.”

“Dan dia enggak suka kamu!” Nada bicaraku kali ini agak sedikit tinggi sampai-sampai orang yang ada di depanku melirik kearahku.

Aku balas lirikan orang tersebut sambil menggigit bibir dan memainkan lidah. Tidak sampai 5 detik orang yang tadi melirikku langsung bersembunyi dibalik rak buku.

“Dia maksud kamu itu siapa?!” Kali ini Reini juga tidak mau kalah. Nada suaranya kini menjadi sedikit lebih tinggi. “Siapa?! Yudi?! Heh.. Kamu lihat aja nanti, dia pasti bakal suka sama aku.”

“Kenapa kamu suka sama dia?”

Please deh, Sakti. Siapa sih yang enggak suka sama cowok yang pintar lulusan Harvard, juara Karate dan orang tuanya pejabat tinggi di sini? Dia pasti enak diajak ngobrol, bisa melindungi aku dan kalau aku mau beli apa-apa pasti dikasih. ”

“Hah?!”

“Kenapa?”

Aku sedikit menarik nafas panjang, “Enggak. Aku bingung aja sama kamu.”

“Oh, iya. Kakeknya ulama besar, makanya aku beli buku Tuntunan Sholat, siapa tahu ada gunanya. hehehe”

Kali ini aku hanya terpaku lalu menggeleng-gelengkan kepala setelah mendengar penjelasan-penjelasannya. Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Apa yang ia ucapkan kadang bertolak belakang dengan apa yang ia lakukan. Sepertinya aku memang harus belajar memahami perasaan wanita. Mungkin memahami jalan pikirannya juga.

“Mbak.. Mbak?” Aku memanggil salah seorang pegawai toko buku yang lewat di tempatku berdiri.

“Iya, mas? Ada apa?”

“Mau tanya nih.”

“Iya, mas. Mau tanya apa?”

“Di sini ada buku ‘Cara Memahami Perasaan Wanita?’

“Oh ada di sana, mas,” Jawabnya sambil menunjuk ke salah satu rak buku yang letaknya tidak jauh dari tempatku berdiri. “Itu bukunya ada di sebelah rak komik naruto, rak kategori buku fiksi.”

***


Bekasi, 27 Desember 2014




Cerpennya seperti biasa pernah dimuat di web-nya @komtungTV
http://komtungtv.com/detailarticle.php?vid=152&pid=9

Enjoy! :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar