“Tahun 2015 nanti, aku mau berhenti
main judi. Entah itu judi bola, judi kartu apalagi judi dadu. Aku capek kalah
terus. Padahal gayaku mengocok dadu udah kaya Chow Yun Fat si Dewa Judi, tapi
nyatanya aku malah kaya Dewa 19. Pupus.”
“Yaa.. Bagus lah, ti. Makanya kamu jangan suka nongkrong sama Rudi anak bagian Finance. Bawa pengaruh buruk tuh dia, bokapnya katanya cukong judi.”
”Iya, Aku usahain.” Aku mengangguk pelan. “Terus aku juga mau berhenti berhenti buat nonton film kartun lagi.”
“Kenapa?” Tanyanya.
“Aku udah terlalu uzur buat lihat kucing sama anjing bisa ngomong.”
“Hahaha.”
“Eh, tapi kayanya enggak perlu berhenti.” Aku menopang daguku dengan satu tangan, sambil mencoba untuk meralat ucapanku tadi. “Cukup mengimbanginya dengan menonton acara-acara tv yang beredukasi kaya berita. Misalnya nonton Silet sama Kiss.”
“Itu sih gosip bukan berita.” Tangannya lembut menepuk lenganku.
“Yee.. Itu berita juga loh.” Aku mencoba menjelaskan, “Kemarin aku nonton katanya Ivan Gunawan dekat dengan Ayu Ting-ting sama Cita Citata.”
“Oh ya? Terus kalau kata kamu, kira-kira Ivan Gunawan cocoknya sama siapa?”
“Saiful Jamil.”
“Hahaha.. Odong ih. Hahaha.”
Dia tertawa. Ketika dia tertawa, aku
melihat gigi gingsul-nya yang terselip diantara gigi-giginya.
Manis.
“Tahun 2015 aku juga bakal janji buat
bangun pagi supaya enggak sering telat datang ke kantor.” Kataku kembali mengungkapkan keinginan-keinginanku untuk berubag menjadi seseorang yang lebih baik di tahun baru ini.
“Nah iya tuh! Kamu sering banget telat. Padahal rumah enggak jauh dari kantor.”
“Aku bakal bangun jam 4 pagi!” Ujarku dengan mantap.
“Enggak mungkin. Itu enggak realistis. Revisi!” Katanya sambil menggelengkan kepala.
“Oke! Jam lima, deh. Eh, tanggung kayanya. Jam setengah enam aja.”
“Yakin?”
“Iya. Jam setengah enam. Pas. Enggak bisa kurang lagi. Kalau aku bisa bangun jam setengah enam, aku kan bisa olah raga pagi sebentar lari keliling komplek.”
“Olah raga? Please deh, Sakti. Bangun tidur terus olah raga pagi? Kayanya itu cuma bagus buat slogan iklan layanan masyarakat Kemenpora deh. Tolong bikin janji sesuai sama apa yang bakal bisa kamu kerjain.”
“Ooh.. Begitu. Jadi kalau aku ikut andil dalam menjaga perdamaian di Timur Tengah sama observasi penanganan banjir di Pintu Air Katulampa enggak perlu dimasukan nih?”
“IYA! ENGGAK PERLU!!”
Sore ini berbeda dengan sore-sore yang
pernah kualami. Biasanya ketika weekend seperti hari ini, aku masih
tidur-tiduran di kamar sambil nonton Naruto
di TV. Ditemani sepiring mie goreng yang kubuat sambil memakai headset supaya
mirip Al-Ghazali, tapi sayangnya setelah aku pakai ternyata aku malah mirip
Al-Kafirun.
Jadi, sore ini untuk pertama kalinya sejak aku tinggal di Jakarta 4 tahun lalu, aku jalan dengan seorang wanita. Berdua saja. Yaa.. Bahasa Norwegia-nya ngedate lah.
Jadi, sore ini untuk pertama kalinya sejak aku tinggal di Jakarta 4 tahun lalu, aku jalan dengan seorang wanita. Berdua saja. Yaa.. Bahasa Norwegia-nya ngedate lah.
Nama wanita tersebut adalah Renata Fathiasabila. Atau biasa
dipanggil dengan nama Rena.
Dia rekan kerjaku. Salah satu karyawati idola di kantor. Hampir semua karyawan, termasuk aku, ingin sekali menjadi
teman se-kosan-nya. Tapi kalau mau jujur sih, aku hanya mengaguminya saja,
enggak mau berharap lebih apalagi curi-curi kesempatan buat mendekatinya. Da Aku mah apa atuh… Hanya karyawan biasa yang ke
kantor cuma naik motor Supra-X yang
rantainya kendor.
Jadi begini ceritanya. Tadi siang
ketika aku sedang menonton Marsa and The Bear jam
setengah dua, tiba-tiba dia meneleponku dan mengajakku untuk menemaninya nonton
film Stand By Me Doraemon. Dan yang
hebatnya lagi tadi pagi, Rini, yang juga menjadi karyawati idola di kantorku, juga
mengajakku untuk menemaninya nonton film Night At The Museum 3. Dua
ajakan dari dua orang wanita idola di kantor membuatku sedikit berpikir merasa
mirip Ferdi Nuril. Eh, bukan. Mungkin mirip Vino G.Bastian. Ah.. kayanya
terlalu berlebihan. Kayanya aku lebih mirip sama Ucup Bengkel.
Akhirnya aku lebih menerima ajakan
Rena, karena dia mengajakku nonton film Doraemon walaupun aku sendiri kemarin sudah menonton filmnya. Aku bukannya
enggak suka sama film Night At The Museum 3,
tapi si Rini mengajakku nonton film itu sore-sore. Aku takut film-nya belum
buka. Dan yang lebih penting lagi…
Ah, sudahlah. Nanti saja aku menjelaskannya.
Ah, sudahlah. Nanti saja aku menjelaskannya.
“Terima kasih ya, ti. Udah mau
menemani aku nonton tadi.” Katanya sambil tersenyum ke arahku.
“Iya. Sama-sama.”
“Eh, kamu kenapa sih mau aku ajak nonton? Selain karena aku yang bayarin yaa. Hehehe” Tanyanya.
“Eeee… Itu.. Anu, Ren. Eeee…”
“Enggak usah grogi gitu ah, ti. Hahaha” Dia kembali menepuk lembut lenganku.
“Eeee… Itu loh.. Nganu, Ren. Eeee…”
Susah banget sih mau ngomong karena
aku suka kamu.
Jangankan nemenin nonton, nemenin
tidur juga aku mau!
“Keren ya tadi filmnya.” Katanya
sambil matanya menatap lurus ke depan kemudian menengok menatapku.
“Iya, Ren.” Aku mengangguk pelan.
“Aku paling suka pas Nobita dan Shizuka terjebak di badai salju lalu Nobita mempercayai dirinya di masa depan untuk menolongnya. Dia berjudi dengan nasib dan waktunya. Beresiko abis.”
“Yaa namanya juga resiko. Dalam hidup, adanya resiko itu udah hal yang biasa.”
“Iya. Tapi enggak mengambil resiko juga termasuk resiko terbesar dalam hidup loh.”
“Jacksen F. Tiago pernah bilang, ‘He who is not courageous enough to take risks will accomplish nothing in life’.” Kataku sambil mengusap-usap hidung. Mengucapkan kalimat bahasa inggris kadang merasa membuat hidungku jadi bertambah sedikit mancung 5 cm.
“Kamu jangan bohongi aku deh, itu quote-nya Muhammad Ali. Aku pernah dengar. Weeee~” Katanya sambil menjulurkan sedikit lidahnya keluar dari bibirnya. Begitu menggemaskan.
“Hahaha.. Ternyata kamu tau juga ya.”
Kulihat jam tangan, waktu sudah
menunjukan pukul lima lewat empat puluh delapan menit. Sebentar lagi maghrib.
Aku enggak tahu apakah di kosan-nya Rena ada peraturan penghuni kost harus ada
di kosan ketika waktu maghrib tiba karena bapak kos akan keliling kamar untuk mengadakan
test ngaji.
Yaa ada atau enggak peraturan itu,
sepertinya aku harus mengantarnya pulang karena biar lebih sopan aja untuk
sebuah kencan pertama kali. Tapi masalahnya, dia mau enggak ya naik motor yang
rantenya kendor?
“Eh, Ren. Udah mau maghrib nih. Kamu
pulangnya nanti gimana? Mau aku--”
“Oh! Enggak apa-apa, Ti. Tenang aja. Nanti ada yang jemput aku kok.” Jawabnya memotong kalimatku yang belum selesai.
Yaaah… Kayanya aku harus segera nyicil
mobil nih.
Heem… Kalau mau nyicil Chevrolet Camaro yang per-bulannya 500,000
kira-kira harus ambil kredit yang berapa tahun ya?
“Oh.. Siapa tuh yang jemput?” Tanyaku
penasaran.
“Rini. Kebetulan dia teman sekosan aku juga. Jadi bareng nanti.”
“Hah? Rini?” Tanyaku lagi kali ini dengan sedikit kaget.
“Iya. Kenapa, Ti?” Dia balik bertanya.
“Oh.. Enggak.”
Aku enggak mungkin bilang kalau tadi
pagi si Rini itu juga ngajak aku nonton juga hari ini, tapi aku tolak karena
aku lebih suka nonton sama kamu, Ren.
Dari kejauhan aku lihat seseorang yang
aku kenal berjalan ke arah kami dengan langkah yang cepat. Mukanya datar
terlihat seperti orang yang sedang kesal. Aku mendadak menjadi khawatir.
Jangan-jangan dia marah kepadaku karena aku menolak ajakannya untuk menemaninya
menonton. Atau yang lebih bahaya lagi, jangan-jangan dia bakal melabrak Rena
sama seperti ketika Yuni Shara melabrak Jesica Iskandar dan Olga Syahputra.
Oh,
Syit!
Dia semakin dekat dengan kami dan
tiba-tiba kulihat dia memasukan tangannya ke dalam tas seperti sedang mencari
sesuatu dari dalam tas-nya. Ah, Jangan-jangan dia mengeluarkan Martil? Atau
tongkat baseball? Atau bambu tenda pecel ayam?!!!
Ahay!! Ternyata dia hanya mengeluarkan
selembar kertas saudara-saudara sekalian.
“Enak yaa yang abis nonton?” Katanya
ke Rena ketika sudah sampai di depan kami.
“Iya dooong.Hehehe” Jawab Rena. Mukanya kali ini terlihat seperti anak kecil yang sedang manja.
“Nih.. Udah gue bayar ya kosan buat bulan depan.” Katanya sambil menyerahkan selembar kertas kecil ke Rena. “Simpan kwitansinya jangan sampai hilang.”
“Asiik.. Makasih ya Rini sayang~ Hahaha”
Aku hanya diam mendengarkan mereka
berbicara. Sesekali menarik nafas panjang karena lega ternyata apa yang
kubayangkan tidak terjadi. Syukurlah. Aku mengambil biola yang ada di sampingku
lalu memainkan lagu Padamu Negeri.
Eh, enggak deh. Becanda.
“Ini gara-gara lo nih, ti. Gue jadi
kalah taruhan sama Rena.” Tiba-tiba Rini menoleh ke arahku.
“Eh, Rin. Jangan di—“ Rena merangkul lengan Rini. Kemudian menatap matanya dan mataku bergantian.
“Udah. Enggak apa-apa. Biarin aja, Ren.” Rini melepaskan tangannya dari rangkulan Rena.
“Eh, tunggu dulu. Maksudnya apa nih?” Aku menggaruk-garuk kepala keheranan.
“Iya. Jadi gue sama Rena taruhan. Lo kan cupu di kantor, kita taruhan siapa yang bisa ngajak lo nonton, yang kalah harus bayar kosan bulan depan.”
“Eh—“
“Dan tadi pagi lo gue ajak enggak mau, tapi pas diajak Rena lo malah mau. Yaudah.. Gue kalah. Lenyap deh ini duit gue sejuta. Gara-gara lo nih.”
“Jadi sebenarnya—“ Aku menatap Rena, kulihat wajahnya yang menunduk ke bawah tidak mau membalas tatapanku.
Dia mengangkat wajahnya lalu sedikit tersenyum, “Maaf yaa, ti.”
*
“SAKTI! SAKTI!”
Dari dalam kamar aku mendengar ada
seseorang yang memanggil namaku. Sedikit mengganggu kenyamananku yang sedang
menyaksikan pertandingan sepak bola Liga Inggris. Dengan berat hati aku bangun
dari tempat tidur, turun dari kasur dan berjalan ke luar kamar.
“SAKTI! SAKTI! ASSALAMUALAIKUM!!
PERMISII!!”
“Iya sebentar.” Aku menjawab pelan sapaannya tersebut yang sebenarnya walaupun aku jawab juga mungkin dia tidak mendengar.
Aku membuka pintu. Ada
seseorang yang berdiri di depan pintu pagar seberang rumahku sambil
berkali-kali menengok ke dalam rumah tersebut.
“SAKTI!! SAKTI!!”
Aku keluar dari dalam rumah dan membuka pintu pagar, “Woi, Rud!! Rumah gue di sini. Bukan di situ.”
Dia menengok ke belakang, “Lah, udah pindah ya, ti?!”
“Iya.”
“Kenapa pindah?” Tanyanya sambil berjalan pelan ke arahku.
“Enggak tau. Kata bokap, di sana pintu pagarnya enggak enak. Soalnya gesernya ke kiri. Bokap enggak suka sama pintu pagar yang digeser ke kiri.”
“Ooh.. Kalo di sini pintu pagarnya digeser ke kanan?”
“Enggak. Di sini pintu pagarnya enggak di geser tapi dilipat.”
“Dilipat ke kanan?”
“Enggak. Ke kiri.”
“Ooh..”
“Yuk.. Masuk, Rud. Ada perlu apa nih?” Aku mengajak Rudi untuk masuk ke dalam rumahku karena aku melihat dia seperti sedang kebingungan.
“Yaelah.. Pura-pura enggak tau," Ia mengikutiku dari belakang. " Gue ini ke sini mau nganterin duit taruhan.”
“Hahaha… Bingoooo!!”
“Keren juga ya lo, ti. Bisa jalan berduaan sama Rena. Gue nih udah dua minggu ngajakin dia jalan ditolak mentah-mentah mulu, njir. Lenyap deh ini duit gue tiga juta ke lo.”
***
Tambun, 3 Januari 2015
Cerpennya seperti biasa pernah dimuat di web-nya @komtungTV
http://komtungtv.com/detailarticle.php?vid=158&pid=9
Hahaha fakyuuuh kaya cerita orang di bar pas opening scenenya "Desperado"
BalasHapus