Sabtu, 17 Januari 2015

SKT48



“Halo, Rud! Lagi sibuk enggak?!”

“Heemm.. Enggak sih. Kenapa, Ti?”

“Lo masih suka nonton JKT48?!”

“Masih. Tapi udah jarang, Ti. Kenapa emang?”

“Gue mau nonton JKT48 dong. Di—“

“Serius lo, ti?!!”

“Eh, tungguin gue selesai ngomong dulu, nyet!”

“Oh, sorry, Ti. Hahaha”

“Gue pengen nonton JKT48 karena si Andin tiba-tiba ngajak gue nonton. Katanya dia lagi kepengen nonton JKT48. Dan gue sanggupin bakal ngajak dia nonton. ”

“Andin yang mana nih?!”

“Raihandini Fahira. Pemain keyboard Homeband yang gue kenal di acara talk show.”

“Ooh.. Si Andin pemain organ. Tahu gue. Terus?”

“Keyboard, nyet!”

“Sama aja kali.”

“Ah, bodo lah. Pokoknya lo ajarin gue nonton JKT48. Oke?!”

“Oke. Nanti malam gue ke rumah lo ya, ti.”

“Sip. Eh, ngomong-ngomong lo lagi kondangan nih? Berisik banget suaranya.”

“Enggak. Gue lagi latihan breakdance.”

“Breakdance apaan yang pake lagu Cita Citata di Remix?! Lagian sejak kapan lo suka breakdance?”

”Dari tadi siang. Ba’da dzuhur.”

Tadi itu percakapanku dengan temanku yang bernama Rudi Dirgantara empat hari yang lalu. Aku bercerita, ada seseorang wanita yang aku suka tiba-tiba mengajakku nonton JKT48. Aku bingung antara menolak atau mengiyakan ajakannya, aku bingung karena aku ini adalah seorang die hard fans band metal sejati, mulai dari Metallica, Lamb of God, Antrhrax sampai yang lokal seperti Seringai, Deadsquad dan Vagetoz! Ah, tapi karena yang mengajakku ini adalah wanita yang benar-benar aku puja mau tidak mau aku harus mengiyakan.

Demi cinta.

Ya! Cara untuk mengetahui seberapa hebat cinta seseorang itu bisa dilihat dari seberapa besar kita mau melakukan hal yang tidak kita sukai atau bahkan menyakitkan demi yang kita cintai.

Sekarang aku akan sedikit menjelaskan tentang siapa dia. Namanya Raihandhini Fahira. Nama panggilannya Andin. Tapi aku biasanya cukup memanggilnya dengan sebutan “ndin”, lebih singkat, hangat dan terasa dekat. Aku bermimpi dalam waktu dua bulan mendatang, aku ingin memanggilnya dengan sebutan “sayang”. Lalu dua tahun kemudian aku memanggil dia dengan sebutan “mamah”. Tapi ternyata di mimpiku tersebut aku tidak senang, karena di dalam mimpiku itu andin memanggilku dengan sebutan “Aa Abdel”.

Aku berkenalan dengannya di sebuah acara tv, dia merupakan pemain keyboard dari homeband sedangkan aku menjadi seorang co host-nya. Setiap hari Jum’at, selama enam bulan ini, kami selalu bertemu di studio tv, bahkan kadang kita juga sering janjian untuk bertemu di lain hari. Seringnya intensitas waktu untuk bertemu ternyata membuatku yakin akan perasaanku. Di suatu hari aku pernah mengungkapkan perasaan yang kurasakan kepadanya.

Sayangnya, dia tidak memberikan sebuah kepastian. Entah menjawab ya atau tidak. Tapi aku tidak pernah memaksanya untuk menjawab. Karena yang namanya cinta itu bukan perkara memaksakan, tapi tentang sebuah keikhlasan. Itu kata Raja Iblis Pikoro sewaktu melamar Bulma.

“Bagaimana, Ti? Siap buat nonton JKT48 malam minggu ini?” Kata Rudi dengan bersemangat. Kami sudah berada di sebuah mall tempat home base-nya JKT48.

“Siap sih.” Kataku pelan. “Tapi si Andin belum balas-balas WhatsApp gue, nih. Last seen-nya jam 12 siang tadi, sekarang udah jam 5."

“Lagi siap-siap mungkin. Atau malah udah jalan.” Dia coba meyakinkanku. “Yang penting kita udah sampai duluan. Lo udah hafal belom yang kemaren udah gue kasih tau tentang JKT48?”

“Udah, Rud.”

“Gue test ya?!” Siapa member JKT48 yang paling muda?”

“Nabilah.”

“Member JKT48 yang tomboy?”

“Ghaida.”

“Siapa centre JKT48?”

“Shaquille O'neal.”

“Yee.. Itu mah centre-nya LA Lakers dulu. Centre-nya JKT48 itu Melody. Gimana sih lo, ti.” Keluhnya.

“Ah, elah. Lagian ribet banget sih centre-centre-an. Enggak sekalian dibikin Playmaker, Winger sama Striker-nya?”

Keberadaan Andin yang sampai saat ini tidak ada kabar, sangat mengganggu pikiranku. Aku sudah menghubunginya dua kali, tetapi keduanya tidak diangkat. Aku terus memandangi handphone, melihat layarnya yang sedang menampilkan aplikasi Whatsapp. Di Whatsapp tersebut tertulis nama “Raihandini Fahira” dengan status ‘Last seen at 12:06’. Kemana kamu, ndin?

“Lo suka banget ya sama Andin, ti?” Tiba-tiba Rudi bertanya dan duduk di sebelahku.
“Iya. Suka banget. Gue ini ya, kalo misalnya liat cewek pertama kali terus langsung deg-degan itu biasanya gue suka banget. Si Andin ini salah satu yang bisa bikin gue kaya gitu.”
“Dia orang apa Debt Collector? Bisa bikin deg-degan gitu. Terus apa lagi yang lo suka dari dia?”
“Dia juga orang bisa bikin gue kepengen tobat, Rud. Dia solatnya rajin banget. Sampe tengsin (malu) gue kemaren.”

“Tengsin kenapa?” Tanyanya penasaran.

“Nih.. Lo liat sendiri chat-nya. Asli.. Bego banget gue kemaren. Hahaa.”

Aku menunjukan handphone dan memperlihatkan chat-ku dengan Andin dan Rudi segera mengambil handphone-ku dengan tangannya yang berlumur dosa. Eh, maksudku berlumur minyak bekas kentang goreng.

Sakti Widjaya: Andin.. Lagi di mana?
Sakti Widjaya: Udah sampai studio belum?
Raihandini Fahira: Udah kok. Udah sampai. Ini lagi solat dulu.
Sakti Widjaya: Solat dimana? Sama nih.. mau solat juga.
Sakti Widjaya: Tungguin dong. :D
Raihandini Fahira: Di musola lantai 2. Kamu mau solat apa?
Sakti Widjaya: Lah.. Andin emang solat apa?
Raihandini Fahira: Dzuhur.
Sakti Widjaya:  Oh, sama dong kalo gitu. Aku juga belum solat dzuhur nih. :D
Raihandini Fahira: Loh? Tapi kan sekarang hari Jum’at. Emang kamu tadi enggak jum’atan?
Sakti Widjaya: Oh….
Sakti Widjaya: itu.. aku kan orang Muhammadiyah, ndin. Jum’atannya udah kemaren. Biasa.. Lebih cepat sehari.
Sakti Widjaya: Hehehe..
Raihandini Fahira: Hahaha.. anak stand up, bisa aja ngelesnya. :D
Sakti Widjaya: Yaa… Aku bercanda dan kamu bahagia. Sesederhana itulah cinta. :p
Sakti Widjaya: Hehehe
Raihandini Fahira: Hehehehe..

Aku melihat Rudi tersenyum-senyum sendiri, tertawa kemudian melenguh dan mendesah. Aku curiga Rudi setelah membaca chat-ku dengan Andin, dia langsung streaming video bokep.

*tidung* *tidung*

Tiba-tiba aku mendengar bunyi notifikasi dari handphone milikku yang kini sedang dipegang oleh Rudi. Kalau didengar dari bunyinya, sepertinya itu berasal dari aplikasi Whatspp.

“Rud, dari siapa tuh?” Tanyaku

“Dari Andin, ti.” Jawabnya

“Eh, serius. Mana buruan sini!!” Aku mengambil handphone-ku dari genggaman Rudi.

Dengan hati yang was-was, jantung berdegup kencang, nafas tidak teratur dan belum bayar listrik, aku membaca WhatsApp dari Andin.

Raihandini Fahira:Saktiii…. Aku baru bangun. Tadi ketiduran.
Raihandini Fahira: Acaranya jam berapa sih? Keburu enggak ya?

Selesai membaca pesan dari Andin, mendadak badanku menjadi lemas dan ada sedikit perasaan kecewa. Perjuanganku selama tiga hari kemarin dengan menghafal nama-nama personilnya yang jumlahnya saja melebihi teman-teman seangkatanku waktu SD akhirnya menjadi sia-sia. Tapi mau bagaimana lagi? Namanya juga udah keburu cinta. Karena kalau kata Didier Drogba,  yang paling cinta itu biasanya yang paling sering dikecewakan. Dengan perasaan gamang, akhirnya aku membalas WhatsApp dari Andin.

Sakti Widjaya: Jam setengah enam batas terakhir beli tiketnya, ndin.
Raihandini Fahira: Yaah.. Enggak keburu dong.
Sakti Widjaya: Iya. Yaudah enggak apa-apa kok, ndin, Next time aja nontonnya.
Raihandini Fahira: Iya. Next time ya. :D
Raihandini Fahira: Terus sekarang kamu mau kemana? Enggak nonton sendiri?
Sakti Widjaya: Paling jalan-jalan aja ke sekitaran Senayan. Hana apa kabar, ndin?
Raihandini Fahira: Baik. Lagi lincah-lincahnya, main sama aku terus.Hehehe
Raihandini Fahira: Eh, Bener kamu enggak mau nonton sendiri ke sana?
Sakti Widjaya: iya enggak. Emang kenapa sih? Bagus banget yah emang?
Raihandini Fahira: Oh.. Enggak. Enggak apa-apa. Cuma tanya aja. :)
Raihandini Fahira: Hehehehe..

Aku menarik sebuah nafas pajang kemudian memandang Rudi. Kulihat dia sedikit tersenyum dan mengangguk, ‘Sabar ya, bro’. Mungkin itu maksud dari gesture yang dibuat olehnya.

“Rud, gue enggak jadi nonton ya. Dia ketiduran ternyata.”

“Iya, ti. Tapi gue tetap nonton ya. Lo mau nunggu di mana?”

“Di Kopi Tiam aja.”

“Oke. Kalo gitu gue nonton dulu ya. Selesai nonton gue ke sana.”

“Oke."

Dengan langkah gontai aku berjalan menuju kedai Kopi Tiam. Handphone yang dari tadi kupegang sudah aku bolak-balikan beberapa kali, berharap dan berdo’a tiba-tiba muncul pesan dari nya yang berbunyi, ‘Dari pada enggak kemana-mana. Mending kamu main ke rumah aku aja. :)’. Semoga saja. Tapi aku juga harus sadar diri menerima kenyataan bahwa enggak semua yang kita harapkan itu bisa kita dapatkan.

Kalau semua do’a dan harapan bisa langsung dikabulkan, kapan kita bisa belajar mengikhlaskan?

*

“Halo, ti! Dimana? Masih di Kopi Tiam??”

“Iya, Rud. Lo udah selesai nontonnya?”

“Iya. Udah, Ini lagi nunggu keluar. Eh, ti! Lo harusnya tadi ikut nonton!!”

“Kenapa? Seru banget ya emangnya?”

“Bukan. Tapi tadi gue liat Andini ada di dalam. Nonton sama Laki-laki, tampangnya om-om banget lah sama anak kecil juga.”

“Eh, serius lo, nyet?!”

“Iya.. Terus—“

“Rud… Laki-lakinya itu tampangnya jepang-jepangan gitu ya? Terus anaknya cewek masih balita gitu?”

“Iya. Kok lo tau sih?”

“Itu mantan suaminya Andin, Rud. Dan anak kecilnya itu anak mereka.”

“Hah?! Mantan? Dia janda gitu maksudnya?”

“Iya. Dulu dia pernah nikah sama orang Jepang salah satu bos atau anak bos waktu dia masih kerja di PT gitu deh. Lupa gue.”

“Oooh…”

“Abis itu enggak tau kapan, mereka cerai, terus kemaren beberapa bulan yang lalu dia cerita mantan suaminya itu ngajakin rujuk.”

“Emang emang Jepang ngerti rujuk?”

“Mana gue tau. Tapi emang enggak ada yang salah dari hati yang telah pergi tapi ingin kembali lagi.”

“Gaya lo dah. Eh, tapi sabar ya, Ti.”

iya. Eh, lo tau gak? Mantan suaminya Andin itu dulu wota juga tuh di Jepang, suka sama JKT-JKT-annya Jepang. Enggak tau apaan itu namanya.”

“AKB48 kali, ti.”

“Nah.. iya itu kali. Gara-gara dia gue jadi suka kesel banget kalo misalnya ngeliat wota gitu. Bawaannya kaya pengen nampol.”

“……”

“Eh, Rud. Lo masih lama? Jadi ke mari enggak nih?”

“Hemm... Sorry, ti. Gue enggak jadi ke sana nih. Gue lupa malam ini ada latihan Parkour.”

“Hah? Parkour? Sejak kapan lo suka parkour?”

“Barusan.”

***


Bekasi, 10 Januari 2015




Tulisan cerpen ini pernah dipublikasikan di Website-nya @KomtungTV dengan judul "EMPAT DELAPAN".
http://komtungtv.com/detailarticle.php?vid=170&pid=9

Jumat, 09 Januari 2015

BINGO!



“Tahun 2015 nanti, aku mau berhenti main judi. Entah itu judi bola, judi kartu apalagi judi dadu. Aku capek kalah terus. Padahal gayaku mengocok dadu udah kaya Chow Yun Fat si Dewa Judi, tapi nyatanya aku malah kaya Dewa 19. Pupus.”

“Yaa.. Bagus lah, ti. Makanya kamu jangan suka nongkrong sama Rudi anak bagian Finance. Bawa pengaruh buruk tuh dia, bokapnya katanya cukong judi.”

”Iya, Aku usahain.” Aku mengangguk pelan. “Terus aku juga mau berhenti berhenti buat nonton film kartun lagi.”

“Kenapa?” Tanyanya.

“Aku udah terlalu uzur buat lihat kucing sama anjing bisa ngomong.”

“Hahaha.”

“Eh, tapi kayanya enggak perlu berhenti.” Aku menopang daguku dengan satu tangan, sambil mencoba untuk meralat ucapanku tadi. “Cukup mengimbanginya dengan menonton acara-acara tv yang beredukasi kaya berita. Misalnya nonton Silet sama Kiss.”

“Itu sih gosip bukan berita.” Tangannya lembut menepuk lenganku.

“Yee.. Itu berita juga loh.” Aku mencoba menjelaskan, “Kemarin aku nonton katanya Ivan Gunawan dekat dengan Ayu Ting-ting sama Cita Citata.”

“Oh ya? Terus kalau kata kamu, kira-kira Ivan Gunawan cocoknya sama siapa?”

“Saiful Jamil.”

“Hahaha.. Odong ih. Hahaha.”

Dia tertawa. Ketika dia tertawa, aku melihat gigi gingsul-nya yang terselip diantara gigi-giginya.

Manis. 

“Tahun 2015 aku juga bakal janji buat bangun pagi supaya enggak sering telat datang ke kantor.” Kataku kembali mengungkapkan keinginan-keinginanku untuk berubag menjadi seseorang yang lebih baik di tahun baru ini.

“Nah iya tuh! Kamu sering banget telat. Padahal rumah enggak jauh dari kantor.”

“Aku bakal bangun jam 4 pagi!” Ujarku dengan mantap.

“Enggak mungkin. Itu enggak realistis. Revisi!” Katanya sambil menggelengkan kepala.

“Oke! Jam lima, deh. Eh, tanggung kayanya. Jam setengah enam aja.”

“Yakin?”

“Iya. Jam setengah enam. Pas. Enggak bisa kurang lagi. Kalau aku bisa bangun jam setengah enam, aku kan bisa olah raga pagi sebentar lari keliling komplek.”

“Olah raga? Please deh, Sakti. Bangun tidur terus olah raga pagi? Kayanya itu cuma bagus buat slogan iklan layanan masyarakat Kemenpora deh. Tolong bikin janji sesuai sama apa yang bakal bisa kamu kerjain.”

“Ooh.. Begitu. Jadi kalau aku ikut andil dalam menjaga perdamaian di Timur Tengah sama observasi penanganan banjir di Pintu Air Katulampa enggak perlu dimasukan nih?”

“IYA! ENGGAK PERLU!!”

Sore ini berbeda dengan sore-sore yang pernah kualami. Biasanya ketika weekend seperti hari ini, aku masih tidur-tiduran di kamar sambil nonton Naruto di TV. Ditemani sepiring mie goreng yang kubuat sambil memakai headset supaya mirip Al-Ghazali, tapi sayangnya setelah aku pakai ternyata aku malah mirip Al-Kafirun. 

Jadi, sore ini untuk pertama kalinya sejak aku tinggal di Jakarta 4 tahun lalu, aku jalan dengan seorang wanita. Berdua saja. Yaa.. Bahasa Norwegia-nya ngedate lah.

Nama wanita tersebut adalah Renata Fathiasabila. Atau biasa dipanggil dengan nama Rena.

Dia rekan kerjaku. Salah satu karyawati idola di kantor. Hampir semua karyawan, termasuk aku, ingin sekali menjadi teman se-kosan-nya. Tapi kalau mau jujur sih, aku hanya mengaguminya saja, enggak mau berharap lebih apalagi curi-curi kesempatan buat mendekatinya. Da Aku mah apa atuh… Hanya karyawan biasa yang ke kantor cuma naik motor Supra-X yang rantainya kendor.

Jadi begini ceritanya. Tadi siang ketika aku sedang menonton Marsa and The Bear jam setengah dua, tiba-tiba dia meneleponku dan mengajakku untuk menemaninya nonton film Stand By Me Doraemon. Dan yang hebatnya lagi tadi pagi, Rini, yang juga menjadi karyawati idola di kantorku, juga mengajakku untuk menemaninya nonton film Night At The Museum 3. Dua ajakan dari dua orang wanita idola di kantor membuatku sedikit berpikir merasa mirip Ferdi Nuril. Eh, bukan. Mungkin mirip Vino G.Bastian. Ah.. kayanya terlalu berlebihan. Kayanya aku lebih mirip sama Ucup Bengkel.

Akhirnya aku lebih menerima ajakan Rena, karena dia mengajakku nonton film Doraemon walaupun aku sendiri kemarin sudah menonton filmnya. Aku bukannya enggak suka sama film Night At The Museum 3, tapi si Rini mengajakku nonton film itu sore-sore. Aku takut film-nya belum buka. Dan yang lebih penting lagi… 

Ah, sudahlah. Nanti saja aku menjelaskannya.

“Terima kasih ya, ti. Udah mau menemani aku nonton tadi.” Katanya sambil tersenyum ke arahku.

“Iya. Sama-sama.”

“Eh, kamu kenapa sih mau aku ajak nonton? Selain karena aku yang bayarin yaa. Hehehe” Tanyanya.

“Eeee… Itu.. Anu, Ren. Eeee…”

“Enggak usah grogi gitu ah, ti. Hahaha” Dia kembali menepuk lembut lenganku. 

“Eeee… Itu loh.. Nganu, Ren. Eeee…”

Susah banget sih mau ngomong karena aku suka kamu.
Jangankan nemenin nonton, nemenin tidur juga aku mau!

“Keren ya tadi filmnya.” Katanya sambil matanya menatap lurus ke depan kemudian menengok menatapku.

“Iya, Ren.” Aku mengangguk pelan.

“Aku paling suka pas Nobita dan Shizuka terjebak di badai salju lalu Nobita mempercayai dirinya di masa depan untuk menolongnya. Dia berjudi dengan nasib dan waktunya. Beresiko abis.”

“Yaa namanya juga resiko. Dalam hidup, adanya resiko itu udah hal yang biasa.”

“Iya. Tapi enggak mengambil resiko juga termasuk resiko terbesar dalam hidup loh.”

“Jacksen F. Tiago pernah bilang, ‘He who is not courageous enough to take risks will accomplish nothing in life’.” Kataku sambil mengusap-usap hidung. Mengucapkan kalimat bahasa inggris kadang merasa membuat hidungku jadi bertambah sedikit mancung 5 cm.

“Kamu jangan bohongi aku deh, itu quote-nya Muhammad Ali. Aku pernah dengar. Weeee~” Katanya sambil menjulurkan sedikit lidahnya keluar dari bibirnya. Begitu menggemaskan.

“Hahaha.. Ternyata kamu tau juga ya.”

Kulihat jam tangan, waktu sudah menunjukan pukul lima lewat empat puluh delapan menit. Sebentar lagi maghrib. Aku enggak tahu apakah di kosan-nya Rena ada peraturan penghuni kost harus ada di kosan ketika waktu maghrib tiba karena bapak kos akan keliling kamar untuk mengadakan test ngaji.

Yaa ada atau enggak peraturan itu, sepertinya aku harus mengantarnya pulang karena biar lebih sopan aja untuk sebuah kencan pertama kali. Tapi masalahnya, dia mau enggak ya naik motor yang rantenya kendor?

“Eh, Ren. Udah mau maghrib nih. Kamu pulangnya nanti gimana? Mau aku--”

“Oh! Enggak apa-apa, Ti. Tenang aja. Nanti ada yang jemput aku kok.” Jawabnya memotong kalimatku yang belum selesai.

Yaaah… Kayanya aku harus segera nyicil mobil nih.
Heem… Kalau mau nyicil Chevrolet Camaro yang per-bulannya 500,000 kira-kira harus ambil kredit yang berapa tahun ya?

“Oh.. Siapa tuh yang jemput?” Tanyaku penasaran.

“Rini. Kebetulan dia teman sekosan aku juga. Jadi bareng nanti.”

“Hah? Rini?” Tanyaku lagi kali ini dengan sedikit kaget.

“Iya. Kenapa, Ti?” Dia balik bertanya.

“Oh.. Enggak.”

Aku enggak mungkin bilang kalau tadi pagi si Rini itu juga ngajak aku nonton juga hari ini, tapi aku tolak karena aku lebih suka nonton sama kamu, Ren.

Dari kejauhan aku lihat seseorang yang aku kenal berjalan ke arah kami dengan langkah yang cepat. Mukanya datar terlihat seperti orang yang sedang kesal. Aku mendadak menjadi khawatir. Jangan-jangan dia marah kepadaku karena aku menolak ajakannya untuk menemaninya menonton. Atau yang lebih bahaya lagi, jangan-jangan dia bakal melabrak Rena sama seperti ketika Yuni Shara melabrak Jesica Iskandar dan Olga Syahputra.

Oh, Syit!

Dia semakin dekat dengan kami dan tiba-tiba kulihat dia memasukan tangannya ke dalam tas seperti sedang mencari sesuatu dari dalam tas-nya. Ah, Jangan-jangan dia mengeluarkan Martil? Atau tongkat baseball? Atau bambu tenda pecel ayam?!!!

Ahay!! Ternyata dia hanya mengeluarkan selembar kertas saudara-saudara sekalian.

“Enak yaa yang abis nonton?” Katanya ke Rena ketika sudah sampai di depan kami.

“Iya dooong.Hehehe” Jawab Rena. Mukanya kali ini terlihat seperti anak kecil yang sedang manja.

“Nih.. Udah gue bayar ya kosan buat bulan depan.” Katanya sambil menyerahkan selembar kertas kecil ke Rena. “Simpan kwitansinya jangan sampai hilang.”

“Asiik.. Makasih ya Rini sayang~ Hahaha”

Aku hanya diam mendengarkan mereka berbicara. Sesekali menarik nafas panjang karena lega ternyata apa yang kubayangkan tidak terjadi. Syukurlah. Aku mengambil biola yang ada di sampingku lalu memainkan lagu Padamu Negeri.

Eh, enggak deh. Becanda.

“Ini gara-gara lo nih, ti. Gue jadi kalah taruhan sama Rena.” Tiba-tiba Rini menoleh ke arahku.

“Eh, Rin. Jangan di—“ Rena merangkul lengan Rini. Kemudian menatap matanya dan mataku bergantian.

“Udah. Enggak apa-apa. Biarin aja, Ren.” Rini melepaskan tangannya dari rangkulan Rena.

“Eh, tunggu dulu. Maksudnya apa nih?” Aku menggaruk-garuk kepala keheranan.

“Iya. Jadi gue sama Rena taruhan. Lo kan cupu di kantor, kita taruhan siapa yang bisa ngajak lo nonton, yang kalah harus bayar kosan bulan depan.”

“Eh—“

“Dan tadi pagi lo gue ajak enggak mau, tapi pas diajak Rena lo malah mau. Yaudah.. Gue kalah. Lenyap deh ini duit gue sejuta. Gara-gara lo nih.”

“Jadi sebenarnya—“ Aku menatap Rena, kulihat wajahnya yang menunduk ke bawah tidak mau membalas tatapanku.

Dia mengangkat wajahnya lalu sedikit tersenyum, “Maaf yaa, ti.”

*

“SAKTI! SAKTI!”

Dari dalam kamar aku mendengar ada seseorang yang memanggil namaku. Sedikit mengganggu kenyamananku yang sedang menyaksikan pertandingan sepak bola Liga Inggris. Dengan berat hati aku bangun dari tempat tidur, turun dari kasur dan berjalan ke luar kamar.

“SAKTI! SAKTI! ASSALAMUALAIKUM!! PERMISII!!”

“Iya sebentar.” Aku menjawab pelan sapaannya tersebut yang sebenarnya walaupun aku jawab juga mungkin dia tidak mendengar.

Aku membuka pintu. Ada seseorang yang berdiri di depan pintu pagar seberang rumahku sambil berkali-kali menengok ke dalam rumah tersebut.

“SAKTI!! SAKTI!!”

Aku keluar dari dalam rumah dan membuka pintu pagar, “Woi, Rud!! Rumah gue di sini. Bukan di situ.”

Dia menengok ke belakang, “Lah, udah pindah ya, ti?!”

“Iya.”

“Kenapa pindah?” Tanyanya sambil berjalan pelan ke arahku.

“Enggak tau. Kata bokap, di sana pintu pagarnya enggak enak. Soalnya gesernya ke kiri. Bokap enggak suka sama pintu pagar yang digeser ke kiri.”

“Ooh.. Kalo di sini pintu pagarnya digeser ke kanan?”

“Enggak. Di sini pintu pagarnya enggak di geser tapi dilipat.”

“Dilipat ke kanan?”

“Enggak. Ke kiri.”

“Ooh..”

“Yuk.. Masuk, Rud. Ada perlu apa nih?” Aku mengajak Rudi untuk masuk ke dalam rumahku karena aku melihat dia seperti sedang kebingungan.

“Yaelah.. Pura-pura enggak tau," Ia mengikutiku dari belakang. " Gue ini ke sini mau nganterin duit taruhan.”

“Hahaha… Bingoooo!!”

“Keren juga ya lo, ti. Bisa jalan berduaan sama Rena. Gue nih udah dua minggu ngajakin dia jalan ditolak mentah-mentah mulu, njir. Lenyap deh ini duit gue tiga juta ke lo.”

***


Tambun, 3 Januari 2015



Cerpennya seperti biasa pernah dimuat di web-nya @komtungTV
  http://komtungtv.com/detailarticle.php?vid=158&pid=9