“Pejabat kok tatoan sih. Enggak pantas banget.”
“Loh.. Emangnya salah? Selama kerjanya benar, buat aku enggak jadi masalah dia tatoan atau enggak.”
“Pasti enggak bener lah, Sakti. Liat aja tuh abang-abang di seberang kafe. Tatoan. Kerjanya apa?! Jangankan kerja bener, dia bisa kerja aja aku ragu.”
Aku menggeleng, “Kamu enggak boleh menilai orang dari luarnya aja. Apalagi buat mereka yang punya tato. Kalau kualitas kerja seseorang dinilai buruk karena tatoan, harusnya Chef Juna enggak jadi koki, tapi jadi joki.”
“Hahaha. Ngaco ah.” Dia menimpuku dengan tissue yang ada di atas meja. Aku mencoba membalasnya dengan menimpuknya dengan cangkir kopi. Tapi aku urungkan niatku. Karena kopinya belum habis.
Jum’at malam sehabis pulang bekerja, aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke Coffee Shop langgananku yang terletak di daerah perkantoran Kuningan. Biasanya aku ke tempat ini sendirian, duduk santai menunggu macet reda sambil sesekali membereskan pekerjaan yang belum sempat aku selesaikan. Tapi malam ini aku ditemani oleh seorang perempuan.
Dia bukan perempuan biasa. Dia seseorang yang dulu namanya sering aku ucapkan, terselip diantara do’a yang aku panjatkan. Iya! Dia mantanku.
Rafika Fauzia. Atau yang biasa dipanggil Fika
Aku ceritakan sedikit kenapa aku dengan Fika bisa putus. Aku putus dengan Fika karena alasan yang buatku tidak masuk akal. Perusahaan melarang pekerjanya memiliki hubungan asmara dengan pekerja lain. Baik itu antara karyawan dengan karyawati atau pun karyawan dengan karyawan. Manajemen menganggap hubungan asmara dalam satu kantor itu dapat mengganggu kinerja perusahaan. Perusahaan bisa rugi terus bangkrut lalu istri komisaris-komisarisnya pada stres, akhirnya mereka terpaksa menjadi PSK. Ah, suram deh. Begitu kata atasanku.
“Pandangan kamu terhadap tato itu sama seperti pandangan aku ke perusahaan terhadap hubungan kita.” Aku mulai membuka pembicaraan lagi karena kulihat dia sudah mulai mengeluarkan handphone dari dalam tasnya. Aku takut dia lebih sibuk memperhatikan handphone-nya daripada memperhatikanku.
“Maksudnya?” Tanyanya. Kulihat tangannya masih menggenggam handphone-nya.
“Iya! Enggak nyambung. Apa pengaruhnya pacaran sama rekan sekantor dengan urusan kinerja kerja? Kalo pacaran sama rekan kerja bisa menggangu kinerja kerja, kenapa sinetron Cinta Fitri bisa sampai Season 7?! Itu Teuku Wisnu sama Shiren Sunkar pacaran sesama rekan kerja loh.”
“Hahaha. Beda atuh.”
“Beda apanya?! Kamu juga kenapa nurut-nurut aja sih? Kita kan bisa pura-pura putus. Kok malah putus beneran?!”
”Ijazah aku masih ditahan. Kamu mau aku nanti kenapa-kenapa?”
“Emang ijazah kamu nyolong motor? Pake segala ditahan.”
Krik.. krik.. krik…
Ruangan Coffee Shop sudah mulai terisi. Beberapa orang yang ada di dalam ruangan berpenampilan hampir seragam. Mereka berkemeja, bercelana bahan dan membawa tas kerja Nampaknya tujuan mereka hampir sama sepertiku, menunggu macet reda. Dari speaker di sudut ruangan, terdengar suara Chris Martin sang vokalis Coldplay menyanyikan lagu yang hampir pasti selalu dinyanyikan penyanyi kafe mana pun.
Fix you.
Lagu ini konon diciptakan Chris Martin untuk kekasihnya, Gwyneth Paltrow, yang sedang berduka karena ditinggal pergi Ayahnya untuk selama-lamanya. Begitu romantisnya Chris Martin itu membuat aku harusnya menjadi malu. Aku terlalu posesif dengan Fika. Chris Martin aja yang bikinin lagu buat Gwyneth Paltrow masih bisa putus, apalagi aku yang tiap malam cuma bisa Whatsapp “Udah makan belum?”
“Ngomong-ngomong soal tato, sebenarnya aku kemarin bikin tato loh di dada sebelah kiri.” Aku kembali memulai percakapan karena aku melihat dia sudah mulai memainkan handphone-nya.
“Hah? Serius? Tato apaan?!” Tanyanya tampak kaget. “ Aah.. Kamu sekarang udah kaya preman aja.”
“Hei.. Stop membandingkan tato dengan preman dong. Tato itu seni.”
“Kamu belum pernah ketakukan karena ayahmu was-was diincar petrus sih.”
“Petrus? Petrus Penembak Misterius maksudnya?” Kali ini aku yang bertanya.
“Iya. Ayahku pernah cerita, di jaman orde baru tahun 80-an dia dulu punya tato. Tapi mendadak menghilangkan tatonya dengan cara disetrika karena ada kejadian petrus.”
“Kenapa dihilangkan?”
“Karena yang diincar petrus waktu itu adalah preman-preman yang meresahkan masyarakat. Dan ciri-ciri preman pada saat itu adalah mempunyai tato.” Jelasnya.
“Loh.. Emangnya salah? Selama kerjanya benar, buat aku enggak jadi masalah dia tatoan atau enggak.”
“Pasti enggak bener lah, Sakti. Liat aja tuh abang-abang di seberang kafe. Tatoan. Kerjanya apa?! Jangankan kerja bener, dia bisa kerja aja aku ragu.”
Aku menggeleng, “Kamu enggak boleh menilai orang dari luarnya aja. Apalagi buat mereka yang punya tato. Kalau kualitas kerja seseorang dinilai buruk karena tatoan, harusnya Chef Juna enggak jadi koki, tapi jadi joki.”
“Hahaha. Ngaco ah.” Dia menimpuku dengan tissue yang ada di atas meja. Aku mencoba membalasnya dengan menimpuknya dengan cangkir kopi. Tapi aku urungkan niatku. Karena kopinya belum habis.
Jum’at malam sehabis pulang bekerja, aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke Coffee Shop langgananku yang terletak di daerah perkantoran Kuningan. Biasanya aku ke tempat ini sendirian, duduk santai menunggu macet reda sambil sesekali membereskan pekerjaan yang belum sempat aku selesaikan. Tapi malam ini aku ditemani oleh seorang perempuan.
Dia bukan perempuan biasa. Dia seseorang yang dulu namanya sering aku ucapkan, terselip diantara do’a yang aku panjatkan. Iya! Dia mantanku.
Rafika Fauzia. Atau yang biasa dipanggil Fika
Aku ceritakan sedikit kenapa aku dengan Fika bisa putus. Aku putus dengan Fika karena alasan yang buatku tidak masuk akal. Perusahaan melarang pekerjanya memiliki hubungan asmara dengan pekerja lain. Baik itu antara karyawan dengan karyawati atau pun karyawan dengan karyawan. Manajemen menganggap hubungan asmara dalam satu kantor itu dapat mengganggu kinerja perusahaan. Perusahaan bisa rugi terus bangkrut lalu istri komisaris-komisarisnya pada stres, akhirnya mereka terpaksa menjadi PSK. Ah, suram deh. Begitu kata atasanku.
“Pandangan kamu terhadap tato itu sama seperti pandangan aku ke perusahaan terhadap hubungan kita.” Aku mulai membuka pembicaraan lagi karena kulihat dia sudah mulai mengeluarkan handphone dari dalam tasnya. Aku takut dia lebih sibuk memperhatikan handphone-nya daripada memperhatikanku.
“Maksudnya?” Tanyanya. Kulihat tangannya masih menggenggam handphone-nya.
“Iya! Enggak nyambung. Apa pengaruhnya pacaran sama rekan sekantor dengan urusan kinerja kerja? Kalo pacaran sama rekan kerja bisa menggangu kinerja kerja, kenapa sinetron Cinta Fitri bisa sampai Season 7?! Itu Teuku Wisnu sama Shiren Sunkar pacaran sesama rekan kerja loh.”
“Hahaha. Beda atuh.”
“Beda apanya?! Kamu juga kenapa nurut-nurut aja sih? Kita kan bisa pura-pura putus. Kok malah putus beneran?!”
”Ijazah aku masih ditahan. Kamu mau aku nanti kenapa-kenapa?”
“Emang ijazah kamu nyolong motor? Pake segala ditahan.”
Krik.. krik.. krik…
Ruangan Coffee Shop sudah mulai terisi. Beberapa orang yang ada di dalam ruangan berpenampilan hampir seragam. Mereka berkemeja, bercelana bahan dan membawa tas kerja Nampaknya tujuan mereka hampir sama sepertiku, menunggu macet reda. Dari speaker di sudut ruangan, terdengar suara Chris Martin sang vokalis Coldplay menyanyikan lagu yang hampir pasti selalu dinyanyikan penyanyi kafe mana pun.
Fix you.
Lagu ini konon diciptakan Chris Martin untuk kekasihnya, Gwyneth Paltrow, yang sedang berduka karena ditinggal pergi Ayahnya untuk selama-lamanya. Begitu romantisnya Chris Martin itu membuat aku harusnya menjadi malu. Aku terlalu posesif dengan Fika. Chris Martin aja yang bikinin lagu buat Gwyneth Paltrow masih bisa putus, apalagi aku yang tiap malam cuma bisa Whatsapp “Udah makan belum?”
“Ngomong-ngomong soal tato, sebenarnya aku kemarin bikin tato loh di dada sebelah kiri.” Aku kembali memulai percakapan karena aku melihat dia sudah mulai memainkan handphone-nya.
“Hah? Serius? Tato apaan?!” Tanyanya tampak kaget. “ Aah.. Kamu sekarang udah kaya preman aja.”
“Hei.. Stop membandingkan tato dengan preman dong. Tato itu seni.”
“Kamu belum pernah ketakukan karena ayahmu was-was diincar petrus sih.”
“Petrus? Petrus Penembak Misterius maksudnya?” Kali ini aku yang bertanya.
“Iya. Ayahku pernah cerita, di jaman orde baru tahun 80-an dia dulu punya tato. Tapi mendadak menghilangkan tatonya dengan cara disetrika karena ada kejadian petrus.”
“Kenapa dihilangkan?”
“Karena yang diincar petrus waktu itu adalah preman-preman yang meresahkan masyarakat. Dan ciri-ciri preman pada saat itu adalah mempunyai tato.” Jelasnya.
Aku baru ingat. Petrus. Ya! Aku pernah membaca artikel tersebut di forum teori konspirasi. Memang mengerikan pada saat itu, aku punya teman yang ayahnya mempunyai tato tetapi agak aneh karena tatonya ada luka bakarnya. Mungkin saat itu ayah temanku ini mencoba untuk menghilangkan paksa tatonya tersebut.
“Tapi jaman kan udah berubah,” Aku mencoba untuk memberikan penjelasan. “Tato sekarang sering jadi kebutuhan estetika seseorang. Enggak jarang, tato sering digunakan sebagai lambang pengalaman emosinal seseorang sehingga karakter tato sering memiliki makna tertentu.”
“Terus kamu bikin tato apa? Eh, ditato itu sakit enggak sih?”
“Tergantung. Kebanyakan sih sakit, tapi itu resiko lah. Kalo enggak mau sakit sih jangan ditato-“
“Terus diapain?”
“Disablon!”
“Hahaha.. Terus kamu bikin tato apa?” Tanyanya dengan penuh penasaran.
“Tato nama kamu dengan bentuk hati.” Aku mengatakan dengan nada penuh percaya diri berharap dia tahu kalau dia itu sangat berarti untukku. Tapi sayang respon yang aku dapatkan hanya sebuah senyum saja.
Ya! Dia hanya tersenyum. Entah apa makna dibalik senyumnya. Aku tidak tahu.
“Ti, Aku pulang duluan ya? Sudah dijemput nih. Good night.” Katanya sambil menyeruput kopinya untuk terakhir kali.
"Hati-hati ya, Fik."
Ia tersenyum dan mengangguk lalu berdiri meninggalkanku di meja sendirian.
Dia berjalan keluar ruangan lalu berdiri di trotoar Coffee Shop. Wajahnya menengok ke kiri dan kanan sepeti sedang mencari seseorang. Tak lama kemudian sebuah mobil Mercedes berhenti tepat di depannya. Dari balik jendela kafe tempatku duduk, kulihat sosok pria yang tidak asing lagi untukku keluar dari mobil, menghampiri dan mencium wanita yang beberapa menit lalu duduk bersamaku.
Dia adalah salah satu bos di perusahaan tempatku bekerja.
Brengsek!!
Aku mengambil telepon dari dalam saku celana lalu menekan tombol-tombol angka di layarnya bergegas untuk menghubungi seseorang.
“Haloo, dengan kang Haris Liank Tattoo? Ini aku Sakti, kang. Aku mau nambah tato lagi nih. Kemarin kan dada sebelah kiri. Sekarang aku mau buat di dada sebelah kanan. Iya. Tulisannya? Hemm… Tulisannya ‘Maaf Dibajak’.”
***
Bekasi, 6 Desember 2014
Cerpen ini pernah dipublikasikan di Web-nya @KomtungTV.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar