Selasa, 30 Desember 2014

MENENTUKAN ARAH



“Narik, pak?”

“Iya, mas. Mau ke mana?”

“Oh, iya maaf sebelumnya, radionya nyala enggak, pak?”

“Nyala kok, mas.”

“Oke.” Aku membuka pintu taksi yang dipintunya terdapat gambar dua tangan yang sedang berjabat tangan dengan tulisan SEPAKAT dan bernomor lambung taksi RF 2203.

“Mau ke mana, mas?” Dia mengulangi pertanyaannya.
Aku merebahkan diri duduk di belakang. Kulihat tanda pengenal di dashboard-nya, namanya Boy Dominggo,  “Ke Bekasi ya, Pak Boy.”

“Bekasi ya? Mohon diarahkan ya, mas.”

Ah, sial! Aku dapat taksi yang supirnya enggak tahu jalan.

Malam ini aku terpaksa pulang kerja dengan menumpang taksi, bukan karena terburu-buru atau tidak ada kendaraan umum lagi, tapi karena aku ingin mendengarkan sebuah siaran radio. Sayangnya, setelah menunggu selama setengah jam aku tidak berhasil mendapatkan taksi dengan logo burung biru yang menjadi kesukaanku. Karena dikejar waktu akhirnya aku terpaksa menaiki armada taksi yang dari namanya saja sudah aneh buatku, nama armada taksi yang kunaiki adalah SEPAKAT.

Perusahaan taksi yang kunaiki ini sepertinya menganut pepatah barat, ‘Apalah artinya sebuah nama?’ yang diambil dari novel Romeo Juliet karya  William Shakespeare, mereka bukan penganut pepatah arab yang mempunyai pepatah, ’Nama adalah Do’a’. Nama armada taksinya SEPAKAT, tapi warna armada ini menurutku enggak saling sepakat. Kadang aku melihat taksi ini ada yang bewarna merah, hijau, biru dan putih.

Apanya yang sepakat?! Kalau masalah warna saja mereka udah enggak sepakat, lalu bagaimana mereka melanjutkan ke hubungan yang lebih serius lagi ke depannya?

Tailah.

“Pak Boy, tolong setel radio ya. Frekuensinya 109,9. Radio Aktif 109,9 FM.” Pintaku sok akrab.

“Baik, mas… Maaf nama mas siapa?” Tanyanya

“Sakti, pak. Sakti Pamungkas.” Jawabku menyebutkan nama lengkapku.

“iya, mas Sakti. Mohon diarahkan ya.” Jawabnya.

“Oh, lurus terus aja, pak. Ambil kiri masuk kolong Semanggi nanti.”

“Enggak, mas Sakti. Maksud saya mohon diarahkan cara mengganti frekuensinya. Radionya model terbaru, saya enggak begitu paham, mas.”

Akhirnya aku menyuruhnya untuk menepi di pinggir jalan dahulu untuk mengajarinya memindahkan saluran radio ke frekuensi yang aku minta, 109,9 FM Radio Aktif dan ketika angka digital di Radio menunjukan angka 109,9 terdengarlah suara perempuan dari speaker mobil. Suaranya lembut bahkan terkesan dibuat manja.

“Jalan lagi, Pak Boy.” Aku menyuruh si supir taksi sepaham ini untuk kembali melaju.

“Baik, mas. Tapi Lewat mana ya? Mohon diarahkan ya, mas.”

“Lurus terus, ambil kiri masuk kolong Semanggi.” Ucapku sedikit kesal. Tapi untung suara lembut yang keluar dari seseorang yang ada di Radio tersebut bisa meredam kekesalanku.

Hai muda-mudi aktif semuanya. Gimana nih kabarnya di hari senin ini? Menyenangkan? Atau malah ada yang bikin bete? Ketemu lagi nih sama Ocha setelah satu minggu ocha absen. Waah.. Kangen nih sama kalian. Kalian pada kangen enggak nih sama suara Ocha yang bawel ini?

Kangen!! Kangen banget.

Aku menjawabnya dari dalam hati

Buat yang bete, tenang aja. Karena setiap senin sampai jumat jam 8 sampai jam 9 malam, Ocha bakal menemani muda-mudi aktif semua dengan obrolan santai sambil kalau ada yang mau cerita-cerita juga bisa kok. Buat muda-mudi aktif yang mau request lagu bisa kirim request-nya ke twitter kita di @RadioAktifFM. Ditunggu yaa.. Sekarang kita dengarkan dulu lagu dari RAN, apalagi lagunya kalau bukan… Dekat di Hati.

Aku mengambil handphone dari saku celana kemudian membuka aplikasi Twitter.

Ya! Aku mau request lagu ke Radio AktifFM. Sebuah lagu yang akan aku persembahkan untuk seseorang.

@xSAKTIx: @RadioAktifFM Mau request lagunya Bryan Adams yang Heaven dong, kak. Lagunya buat penyiarnya aja. Semoga suka. Pesannya, “Kapan kamu main ke mimpi aku?” Hehehe.

“Mas Sakti, persimpangan fly over depan ke mana ya? Lurus apa belok? Mohon diarahkan ya, mas”. Tiba-tiba Pak Boy, sang supir taksi, kembali menanyakan jalan.

“Belok kiri, pak.”

“Oke. Oh iya, mas. TKiri ya?" Kata Pak Boy sambil menekan tombol lampu sign ke kiri.

"Iya." Jawabku singkat.

"Mas suka dengerin radio juga ya? Jarang-jarang loh hari ini ada orang yang masih suka dengerin radio.” Lanjutnya kembali bertanya kepadaku, kali ini bukan bertanya jalan.


"Enggak juga sih," Jawabku datar. "Saya dengerin radio itu cuma karena penyiarnya, soalnya dia—“
“Penyiarnya yang tadi itu pacarnya, mas?” Pak Boy memotong ucapan yang belum sempat aku selesaikan.

“Bukan.”

“Gebetan?”

“Bukan...”

“Persimpangan depan ke mana, mas? Mohon diarahkan ya, mas.”

Syit luh! Aku mulai kesal.

“Lurus aja, pak.”

“Oke, mas. Mohon diarahkan ya, mas”

“Iya.” Jawabku singkat.

“Mas Sakti, yang siaran ini bener bukan pacar atau gebetannya?” Tanyanya lagi.

“Bener, pak.” Jawabku singkat. “Emang kenapa bapak tanya kaya gitu?” Kali ini aku yang penasaran.

Sebagai seorang supir taksi, menurutku Pak Boy ini cukup kepo. Mungkin Pak Boy ini dulunya seorang presenter gosip, namun karirnya jatuh karena dia terlibat skandal video asusila dengan seekor singa laut.

“Enggak, soalnya dari tadi mas saya liat senyum-senyum aja dengerinnya. Saya kira pacarnya yang
siaran.”

“Ooh.. Saya senyum-senyum karena cuma kangen sama suara penyiar aslinya, pak.”

“Penyiar asli? Maksud, mas? Emang yang siaran sekarang bukan penyiar aslinya?” Tanyanya lagi, kali ini dia bertanya jauh lebih kepo. Mungkin Pak Boy ini habis dapat award sebagai Presenter Ter-kepo  versi on the spot

“Bukan, pak. Itu.. Hemm.. dia bukan penyiar asli yang biasanya..” Jawabku terbata-bata.

“Lalu… Penyiar aslinya kemana, mas?”

“Sudah meninggal, pak. Namanya Rosa Fitriana, panggilannya Ocha. Tepat seminggu yang lalu, sebuah mobil menabraknya saat dia sedang menyebrang jalan untuk bertemu dengan saya di Kafe dekat kantor radionya. Dia meninggal ketika dalam perjalanan ke Rumah Sakit. Dia meninggal dalam pelukan saya.” Aku menjelaskan berusaha sambil menahan air mata yang sepertinya ingin keluar.

“Lalu yang siaran ini siapa?”

“Kakak kembarnya. Namanya Risya Fitriani."

Aku menjelaskan ke pas Boy tentang program siarannya Ocha. Karena program acara yang dibawakan Ocha di Radio banyak disukai oleh pendengar, maka pihak Radio memohon agar kembarannya menggantikannya siaran, karena suara mereka sama.

“Ooh.. Keluarganya terima itu, mas? Enggak masalah gitu?” Tanyanya lagi,

“Entah lah. Mungkin ada perjanjian di antara mereka. Perjanjian seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Seolah-olah dia masih hidup. Saya enggak tahu apa yang ditawarkan oleh pihak Radio kepada keluarganya. Tapi yang jelas sekarang… “ Aku menarik nafas dalam-dalam. “Saya kangen sama dia, pak.”

Hening tercipta di antara kita berdua sampai akhirnya aku sadar lagu yang keluar dari speaker mobil ternyata lagu Heaven-nya Bryan Adams. Lagu yang aku request ternyata diputarkan oleh Risya.

Aku mengingat Dia yang saat ini mungkin sedang ada di sana.

And baby, you're all that I want,
when you're lyin' here in my arms.
I'm findin' it hard to believe,
we're in heaven.

“Turut berduka ya, mas.”

“Iya. Terima kasih, pak.”

“Mas—“

“Iya, pak?”

“Lampu merah depan jalan ke mana? Mohon diarahkan ya, mas.”
Aku kembali menarik nafas dalam-dalam, “Baik, pak. Saya akan arahkan bapak ke jalan yang benar.”

“Iya, mas.”

“Ikuti saya pelan-pelan ya, pak.”

“iya—“

“AsyhaduaLaa Ilaaha Illallah wa Asyhadu anna Muhammadarrosuululloh”

***


Bekasi, 13 Desember 2014




Hoy. Hoyy..
Cerpen ini pernah dimuat di Web-nya @KomtungTV 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar