Selasa, 30 Desember 2014

SUDAH BERUBAH



“Anjirlah… Dian Sastro masih cantik aja.” Kataku sambil menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Apalagi scene dia pas lagi pakai piyama, terus adegan dia lagi sama anaknya. Aduh..  gemes banget deh jadi ingin peluk-- ”

“Peluk anaknya?”

“Ibunya. Hahaha”

“Hahaha“. Dia hanya tertawa mendengar celotehanku. Mungkin dia malas menanggapi apa yang tadi kukatakan.
 

“Dian Sastro yang udah punya dua anak itu sempat vakum dari dunia film sekitar 4 tahun, terus muncul lagi main film jadi pemeran utama bareng Lukman Sardi dan tetap cantik. Aku curiga sama Dian nih--” Aku terdiam sejenak.

“Curiga kenapa?”

“Aku curiga selama 4 tahun itu Dian Sastro ngumpulin Dragon Ball, pas lengkap dia minta ke dewa naga supaya diberikan kecantikan abadi.”

“Hahaha.”

Itu tadi percakapan setelah kami berdua keluar dari Studio 3 di sebuah Bioskop 21 yang dulunya dikenal dengan nama Bioskop Megaria. Malam ini aku pergi dengan seorang wanita yang kukenal sejak 2 bulan yang lalu di acara Pensi Ulang Tahun SMA ku dulu. Saat itu, aku diundang oleh panitia pensi sekolahku untuk tampil menghibur penonton dengan menyanyikan beberapa buah lagu, sampai akhirnya ada seseorang wanita yang menegurku ketika aku turun panggung, “Sakti ya? Sakti Banci? Yang dulu ngondek pas SMA?!”

Nama wanita tersebut adalah Rahayu Ferdianti.

Dia bilang kepadaku, kalau dia adalah teman satu angkatanku dulu tapi aku sendiri tidak ingat kalau di angkatanku itu ada murid yang namanya Rahayu Ferdianti. Ah, mungkin aku lupa karena dulu sewaktu SMA, aku termasuk murid yang pendiam, hanya punya teman sedikit dan enggak pernah punya pacar. Bahkan untuk mempunyai teman perempuan saja aku harus pura-pura ngondek dengan cara duduk sebangku dengan murid cowok yang sedikit tomboy. Menurut sepenglihatanku, cowok yang berpenampilan tomboy alias agak ngondek itu mempunyai banyak teman-teman perempuan.

Ah sudahlah. Sepertinya aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar tentang masa mudaku dulu di sekolah. Karena yang jelas sejak pertemuan di pensi tersebut, kami berdua saling bertukar nomor handphone melanjutkan hubungan komunikasi lewat WhatsApp dan telepon, bahkan tidak jarang pada saat weekend kami pergi jalan berdua. Entah kenapa aku merasa cocok dengannya, dia tahu banyak hal tentang apa yang aku suka seperti soal musik atau pun film.

“Menurut kamu, kenapa tadi di akhir film, Lukman Sardi enggak bisa menjelaskan apa itu yang dinamakan cinta?” katanya sambil menggigit sebuah donat cokelat dari sebuah garpu. Saat ini kami sedang berada di sebuah gerai donat buatan produk lokal.

“Kalau menurut film ‘Kata Hati’, cinta enggak bisa dideskripsikan. Cinta enggak cuma tentang hitam dan putih. Cinta enggak sejelas itu”. Kataku mencoba untuk menjelaskan.

“Tapi ada kan?” Tanyanya lagi.

“Ya pasti ada.” Jawabku dengan penuh keyakinan. “Kalau kata film ‘Bahwa Cinta Itu Ada’-nya mbah Sudjiwo Tedjo, cinta itu tetap ada, tapi tidak butuh arti, karena sudah punya banyak makna. Tidak perlu dicari, karena dimana pun dia ada."

“Kamu tiap hari nongkrongnya di tukang DVD bajakan ya? Daritadi ngutip kata-kata dari film terus.”

“Hahaha.. yaudah sekarang kalau menurut versi  aku ya. Menurutku cinta itu emang enggak bisa didefinisikan. Cinta itu buatku sebuah keihkhlasan.”

“Maksudnya?” Dia menaruh garpu yang berisi potongan donat ke atas piringnya.

“Iya! Cinta enggak perlu ada sebab, cinta lahir dari hati yang ikhlas. Itulah kenapa dulu Andre Taulany berhasil mendapatkan anaknya Deddy Mizwar di film Kiamat Sudah Dekat.”
 

“Aah.. Lagi-lagi alasannya dari film.”

“Cinta dan ikhlas itu perkara hati." Aku kembali menjelaskan. "Enggak perlulah disebutkan atau dituliskan. Itulah kenapa aku kalau bikin lagu meskipun lagunya lagu tentang cinta, enggak mau memasukan kata ‘cinta’ ke dalam liriknya.”

Dia mengetuk-ngetuk pipinya dengan jari telunjuknya. Seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Aku hanya bisa melihatnya saja sambil berusaha menaham senyum karena mengagumi wajagnyanya yang cantik.

“Oh, sama kaya Ponki Jikustik dulu ya?” Katanya tiba-tiba. “ Dia enggak pernah memasukan kata ‘cinta’ di dalam lagu-lagunya.”
“Ya! Betul. Sekarang paham kan kenapa Lukman Sardi enggak mau menyebutkan apa arti cinta itu?"

Kulihat dia mengangguk pelan. Seperti sudah paham dengan apa yang dari tadi aku jelaskan atau malah dia sudah lelah mendengarkan ucapanku.

“Aduh, aku masih ngebayangin Dian Sastro nih. Nonton lagi yuk besok?” Ajakku dengan perasaan penuh harap. Berharap dia membalas ajakanku dengan mengatakan ‘iya’, ‘boleh’, ‘ayo’, atau ‘capcus cyin’.
 

“Ngapain sih kamu ngebayangin Dian yang di film, kenapa enggak ngebayangin Dian yang ada di depan kamu aja?”

Ah, sial. Aku lupa. Wanita yang ada di depanku ini juga sering dipanggil oleh teman-temannya termasuk aku dengan nama ‘Dian’.

”Eh, iya ya. Hahaha. Tapi emangnya kamu mau aku bayangin gitu?” Tanyaku sedikit memancing.
 

“Mau!” Jawabnya singkat.

“Eh?!”

”Memangnya kamu mau bayangin aku bagaimana?” Tanyanya. Tiba-tiba dia sedikit mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dengan tatapan yang menggoda, jemarinya memainkan ujung rambutnya lalu direntangkan kedua tangannya ke belakang.  Dia menguncir rambutnya.

Rambut memang pas kalau dibilang sebagai salah satu mahkotanya wanita yang bisa menarik hati orang yang melihatnya. Ya seperti aku ini misalnya, diam-diam aku mengagumi rambutnya yang digulung membentuk konde-entah-apa-namanya-itu, dijepit dengan sumpit berwarna hitam. Beberapa helai rambutnya dibiarkan jatuh tergerai di dekat telinganya yang jika dia bergerak rambut-rambutnya itu ikut melambai pelan seakan memanggil-manggil namaku untuk segera menyentuhnya dan menyelipkan ke celah telinganya.

Aaaaahh... Entah kenapa aku selalu terobsesi sama wanita yang lagi mengikat atau menguncir rambutnya. Momen itu terlihat seksi saja di mataku. Kalau aku disuruh melihat wanita lagi pakai baju seksi atau melihat wanita yang sedang mengikat rambutnya, pasti aku bakal memilih wanita yang lagi mengikat rambut tapi pakai baju seksi.

Hatiku mendadak berdesir. Sepertinya memang inilah saatnya aku mengungkapkan apa yang aku rasakan selama ini.

Aku menarik nafas panjang, menundukan kepala, mengumpulkan nyali dan keberanian. Jari-jemariku memainkan sedotan yang berada di dalam gelas yang sudah terlihat kosong. Hembusan nafas panjang berulang kali aku lakukan, bahkan kadang terdengar cukup jelas. Aku mengeluarkan suara lembut, menyebut nama wanita yang ada di depanku ini.

“Dian….”

“Iya?”

Akhirnya.. Ratusan kata-kata indah yang aku kutip dari lirik-lirik lagu dan film, kuucapkan kepadanya. Perasaan yang telah aku tahan selama satu bulan ini akhirnya keluar dan tersampaikan juga. Di depan Choco Caviar Chocolate Donut, Don Mochino Donut dan Kopi Gelas Granita (aku diam-diam membawanya dari rumah), kata-kata tersebut mengalir keluar dari mulutku dengan penuh keyakinan dan percaya diri. Dian yang semenjak tadi mendengarkan dan menatapku dengan tatapan lembutnya, tiba-tiba memegang erat tanganku.

“Terima kasih ya, ti."

"Terima kasih untuk?"

"Yaa.. Terima kasih kamu udah mau jujur. Aku senang banget kamu udah jujur ke aku.”

Aku tersenyum. Pikiranku menerawang menerka-nerka, kata-kata apa yang selanjutnya akan dia ucapkan.

“Karena kamu sudah jujur, sekarang aku juga mau jujur ke kamu.” Katanya.

“Jujur kenapa?”

"Sebenarnya aku ini—“

“Iyaa..?”

“Sebenarnya aku ini… Laki-laki.”

Haaaaaaaahh!!!!

Pernyataannya benar-benar membuatku kaget bagaikan mendengar suara kenalpot RX King yang dinaiki oleh Dian Sastro jam dua belas malam di Komplek Koramil.

Kaget banget!

“Kamu bohong. Aku enggak percaya.” Aku menggelengkan kepala.

“Benar, ti. Aku enggak bohong. Kamu harus percaya.  Dan satu hal lagi kenapa aku tahu banyak tentang hal-hal yang kamu suka?”

“Kenapa?”

“Itu karena…”

“……”

“Itu karena aku ini adalah teman sebangkumu dulu sewaktu di SMA.”

“Hah?! Jadi kamu dulu teman sebangku aku dulu waktu SMA?!” Tanyaku seakan tidak percaya.

“……”

“Rahmat Ferdianto?” Aku mencoba untuk memastikan.

Dia mengangguk pelan.

Aku menarik nafas panjang seakan tidak percaya pada apa yang aku alami malam ini. Tiba-tiba ingatanku memutar kejadian beberapa jam yang lalu saat kita sedang menonton film 7 hari 24 jam, di penghujung film yang menampilkan adegan Dian Sastro dan Lukman Sardi berciuman, tiba-tiba aku refleks menggenggam tangannya. Dia menoleh kepadaku lalu memberikan sebuah anggukan kecil serta senyuman manis dan… kami berdua pun berciuman.

Anying!

Aku tadi habis mencium seorang laki-laki. Tapi cantik. Tapi kalau kencing berdiri. Tapi manis. Tapi kayanya suka ikut solat jumat. Tapi…. Ah,brengsek lah.

“Tolong jawab pertanyaanku.” Kali ini aku yang bertanya sambil sedikit mendekatkan wajahku ke wajahnya.

“Kamu mau tanya apa, ti?”

“Bagaimana kamu bisa jadi secantik ini? Kamu operasi Thailand ya?”

“Bukan…”

“Oh, kalau begitu pasti di Korea Selatan?”

“Bukan, ti.”

“Lalu?”

Dia mengambil tas yang ada di sampingnya kemudian menaruhnya di atas meja. Dari dalam tas-nya, dia mengambil sebuah benda yang sepertinya sangat familiar untukku. Aku dulu sering melihat benda tersebut di hari minggu pagi ketika aku masih kecil.

Sebuah Radar Dragon Ball.

***


Senayan, 20 Desember 2014. 



Tulisan cerpen ini pernah dipublikasikan di Website-nya @KomtungTV


MENENTUKAN ARAH



“Narik, pak?”

“Iya, mas. Mau ke mana?”

“Oh, iya maaf sebelumnya, radionya nyala enggak, pak?”

“Nyala kok, mas.”

“Oke.” Aku membuka pintu taksi yang dipintunya terdapat gambar dua tangan yang sedang berjabat tangan dengan tulisan SEPAKAT dan bernomor lambung taksi RF 2203.

“Mau ke mana, mas?” Dia mengulangi pertanyaannya.
Aku merebahkan diri duduk di belakang. Kulihat tanda pengenal di dashboard-nya, namanya Boy Dominggo,  “Ke Bekasi ya, Pak Boy.”

“Bekasi ya? Mohon diarahkan ya, mas.”

Ah, sial! Aku dapat taksi yang supirnya enggak tahu jalan.

Malam ini aku terpaksa pulang kerja dengan menumpang taksi, bukan karena terburu-buru atau tidak ada kendaraan umum lagi, tapi karena aku ingin mendengarkan sebuah siaran radio. Sayangnya, setelah menunggu selama setengah jam aku tidak berhasil mendapatkan taksi dengan logo burung biru yang menjadi kesukaanku. Karena dikejar waktu akhirnya aku terpaksa menaiki armada taksi yang dari namanya saja sudah aneh buatku, nama armada taksi yang kunaiki adalah SEPAKAT.

Perusahaan taksi yang kunaiki ini sepertinya menganut pepatah barat, ‘Apalah artinya sebuah nama?’ yang diambil dari novel Romeo Juliet karya  William Shakespeare, mereka bukan penganut pepatah arab yang mempunyai pepatah, ’Nama adalah Do’a’. Nama armada taksinya SEPAKAT, tapi warna armada ini menurutku enggak saling sepakat. Kadang aku melihat taksi ini ada yang bewarna merah, hijau, biru dan putih.

Apanya yang sepakat?! Kalau masalah warna saja mereka udah enggak sepakat, lalu bagaimana mereka melanjutkan ke hubungan yang lebih serius lagi ke depannya?

Tailah.

“Pak Boy, tolong setel radio ya. Frekuensinya 109,9. Radio Aktif 109,9 FM.” Pintaku sok akrab.

“Baik, mas… Maaf nama mas siapa?” Tanyanya

“Sakti, pak. Sakti Pamungkas.” Jawabku menyebutkan nama lengkapku.

“iya, mas Sakti. Mohon diarahkan ya.” Jawabnya.

“Oh, lurus terus aja, pak. Ambil kiri masuk kolong Semanggi nanti.”

“Enggak, mas Sakti. Maksud saya mohon diarahkan cara mengganti frekuensinya. Radionya model terbaru, saya enggak begitu paham, mas.”

Akhirnya aku menyuruhnya untuk menepi di pinggir jalan dahulu untuk mengajarinya memindahkan saluran radio ke frekuensi yang aku minta, 109,9 FM Radio Aktif dan ketika angka digital di Radio menunjukan angka 109,9 terdengarlah suara perempuan dari speaker mobil. Suaranya lembut bahkan terkesan dibuat manja.

“Jalan lagi, Pak Boy.” Aku menyuruh si supir taksi sepaham ini untuk kembali melaju.

“Baik, mas. Tapi Lewat mana ya? Mohon diarahkan ya, mas.”

“Lurus terus, ambil kiri masuk kolong Semanggi.” Ucapku sedikit kesal. Tapi untung suara lembut yang keluar dari seseorang yang ada di Radio tersebut bisa meredam kekesalanku.

Hai muda-mudi aktif semuanya. Gimana nih kabarnya di hari senin ini? Menyenangkan? Atau malah ada yang bikin bete? Ketemu lagi nih sama Ocha setelah satu minggu ocha absen. Waah.. Kangen nih sama kalian. Kalian pada kangen enggak nih sama suara Ocha yang bawel ini?

Kangen!! Kangen banget.

Aku menjawabnya dari dalam hati

Buat yang bete, tenang aja. Karena setiap senin sampai jumat jam 8 sampai jam 9 malam, Ocha bakal menemani muda-mudi aktif semua dengan obrolan santai sambil kalau ada yang mau cerita-cerita juga bisa kok. Buat muda-mudi aktif yang mau request lagu bisa kirim request-nya ke twitter kita di @RadioAktifFM. Ditunggu yaa.. Sekarang kita dengarkan dulu lagu dari RAN, apalagi lagunya kalau bukan… Dekat di Hati.

Aku mengambil handphone dari saku celana kemudian membuka aplikasi Twitter.

Ya! Aku mau request lagu ke Radio AktifFM. Sebuah lagu yang akan aku persembahkan untuk seseorang.

@xSAKTIx: @RadioAktifFM Mau request lagunya Bryan Adams yang Heaven dong, kak. Lagunya buat penyiarnya aja. Semoga suka. Pesannya, “Kapan kamu main ke mimpi aku?” Hehehe.

“Mas Sakti, persimpangan fly over depan ke mana ya? Lurus apa belok? Mohon diarahkan ya, mas”. Tiba-tiba Pak Boy, sang supir taksi, kembali menanyakan jalan.

“Belok kiri, pak.”

“Oke. Oh iya, mas. TKiri ya?" Kata Pak Boy sambil menekan tombol lampu sign ke kiri.

"Iya." Jawabku singkat.

"Mas suka dengerin radio juga ya? Jarang-jarang loh hari ini ada orang yang masih suka dengerin radio.” Lanjutnya kembali bertanya kepadaku, kali ini bukan bertanya jalan.


"Enggak juga sih," Jawabku datar. "Saya dengerin radio itu cuma karena penyiarnya, soalnya dia—“
“Penyiarnya yang tadi itu pacarnya, mas?” Pak Boy memotong ucapan yang belum sempat aku selesaikan.

“Bukan.”

“Gebetan?”

“Bukan...”

“Persimpangan depan ke mana, mas? Mohon diarahkan ya, mas.”

Syit luh! Aku mulai kesal.

“Lurus aja, pak.”

“Oke, mas. Mohon diarahkan ya, mas”

“Iya.” Jawabku singkat.

“Mas Sakti, yang siaran ini bener bukan pacar atau gebetannya?” Tanyanya lagi.

“Bener, pak.” Jawabku singkat. “Emang kenapa bapak tanya kaya gitu?” Kali ini aku yang penasaran.

Sebagai seorang supir taksi, menurutku Pak Boy ini cukup kepo. Mungkin Pak Boy ini dulunya seorang presenter gosip, namun karirnya jatuh karena dia terlibat skandal video asusila dengan seekor singa laut.

“Enggak, soalnya dari tadi mas saya liat senyum-senyum aja dengerinnya. Saya kira pacarnya yang
siaran.”

“Ooh.. Saya senyum-senyum karena cuma kangen sama suara penyiar aslinya, pak.”

“Penyiar asli? Maksud, mas? Emang yang siaran sekarang bukan penyiar aslinya?” Tanyanya lagi, kali ini dia bertanya jauh lebih kepo. Mungkin Pak Boy ini habis dapat award sebagai Presenter Ter-kepo  versi on the spot

“Bukan, pak. Itu.. Hemm.. dia bukan penyiar asli yang biasanya..” Jawabku terbata-bata.

“Lalu… Penyiar aslinya kemana, mas?”

“Sudah meninggal, pak. Namanya Rosa Fitriana, panggilannya Ocha. Tepat seminggu yang lalu, sebuah mobil menabraknya saat dia sedang menyebrang jalan untuk bertemu dengan saya di Kafe dekat kantor radionya. Dia meninggal ketika dalam perjalanan ke Rumah Sakit. Dia meninggal dalam pelukan saya.” Aku menjelaskan berusaha sambil menahan air mata yang sepertinya ingin keluar.

“Lalu yang siaran ini siapa?”

“Kakak kembarnya. Namanya Risya Fitriani."

Aku menjelaskan ke pas Boy tentang program siarannya Ocha. Karena program acara yang dibawakan Ocha di Radio banyak disukai oleh pendengar, maka pihak Radio memohon agar kembarannya menggantikannya siaran, karena suara mereka sama.

“Ooh.. Keluarganya terima itu, mas? Enggak masalah gitu?” Tanyanya lagi,

“Entah lah. Mungkin ada perjanjian di antara mereka. Perjanjian seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Seolah-olah dia masih hidup. Saya enggak tahu apa yang ditawarkan oleh pihak Radio kepada keluarganya. Tapi yang jelas sekarang… “ Aku menarik nafas dalam-dalam. “Saya kangen sama dia, pak.”

Hening tercipta di antara kita berdua sampai akhirnya aku sadar lagu yang keluar dari speaker mobil ternyata lagu Heaven-nya Bryan Adams. Lagu yang aku request ternyata diputarkan oleh Risya.

Aku mengingat Dia yang saat ini mungkin sedang ada di sana.

And baby, you're all that I want,
when you're lyin' here in my arms.
I'm findin' it hard to believe,
we're in heaven.

“Turut berduka ya, mas.”

“Iya. Terima kasih, pak.”

“Mas—“

“Iya, pak?”

“Lampu merah depan jalan ke mana? Mohon diarahkan ya, mas.”
Aku kembali menarik nafas dalam-dalam, “Baik, pak. Saya akan arahkan bapak ke jalan yang benar.”

“Iya, mas.”

“Ikuti saya pelan-pelan ya, pak.”

“iya—“

“AsyhaduaLaa Ilaaha Illallah wa Asyhadu anna Muhammadarrosuululloh”

***


Bekasi, 13 Desember 2014




Hoy. Hoyy..
Cerpen ini pernah dimuat di Web-nya @KomtungTV