“Anjirlah… Dian Sastro masih cantik aja.”
Kataku sambil menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Apalagi
scene dia pas lagi pakai piyama, terus adegan dia lagi sama anaknya.
Aduh.. gemes banget deh jadi ingin peluk-- ”
“Peluk anaknya?”
“Ibunya. Hahaha”
“Hahaha“. Dia hanya tertawa mendengar celotehanku. Mungkin dia malas menanggapi apa yang tadi kukatakan.
“Dian Sastro yang udah punya dua anak itu sempat vakum dari dunia film sekitar 4 tahun, terus muncul lagi main film jadi pemeran utama bareng Lukman Sardi dan tetap cantik. Aku curiga sama Dian nih--” Aku terdiam sejenak.
“Curiga kenapa?”
“Aku curiga selama 4 tahun itu Dian Sastro ngumpulin Dragon Ball, pas lengkap dia minta ke dewa naga supaya diberikan kecantikan abadi.”
“Hahaha.”
Itu tadi percakapan setelah kami
berdua keluar dari Studio 3 di sebuah Bioskop 21 yang dulunya dikenal dengan
nama Bioskop Megaria. Malam ini aku pergi dengan seorang wanita yang kukenal
sejak 2 bulan yang lalu di acara Pensi Ulang Tahun SMA ku dulu. Saat itu, aku
diundang oleh panitia pensi sekolahku untuk tampil menghibur penonton dengan
menyanyikan beberapa buah lagu, sampai akhirnya ada seseorang wanita yang
menegurku ketika aku turun panggung, “Sakti ya? Sakti Banci? Yang dulu ngondek
pas SMA?!”
Nama wanita tersebut adalah Rahayu
Ferdianti.
Dia bilang kepadaku, kalau dia adalah
teman satu angkatanku dulu tapi aku sendiri tidak ingat kalau di angkatanku
itu ada murid yang namanya Rahayu Ferdianti. Ah, mungkin aku lupa karena dulu
sewaktu SMA, aku termasuk murid yang pendiam, hanya punya teman sedikit dan
enggak pernah punya pacar. Bahkan untuk mempunyai teman perempuan saja aku
harus pura-pura ngondek dengan cara duduk sebangku dengan murid cowok yang
sedikit tomboy. Menurut sepenglihatanku, cowok yang berpenampilan tomboy alias
agak ngondek itu mempunyai banyak teman-teman perempuan.
Ah sudahlah. Sepertinya aku tidak
perlu menjelaskan panjang lebar tentang masa mudaku dulu di sekolah. Karena
yang jelas sejak pertemuan di pensi tersebut, kami berdua saling bertukar nomor
handphone melanjutkan hubungan
komunikasi lewat WhatsApp dan telepon,
bahkan tidak jarang pada saat weekend kami pergi jalan berdua. Entah kenapa aku
merasa cocok dengannya, dia tahu banyak hal tentang apa yang aku suka seperti
soal musik atau pun film.
“Menurut kamu, kenapa tadi di akhir
film, Lukman Sardi enggak bisa menjelaskan apa itu yang dinamakan cinta?”
katanya sambil menggigit sebuah donat cokelat dari sebuah garpu. Saat ini kami
sedang berada di sebuah gerai donat buatan produk lokal.
“Kalau menurut film ‘Kata Hati’, cinta enggak bisa dideskripsikan. Cinta enggak cuma tentang hitam dan putih. Cinta enggak sejelas itu”. Kataku mencoba untuk menjelaskan.
“Tapi ada kan?” Tanyanya lagi.
“Ya pasti ada.” Jawabku dengan penuh keyakinan. “Kalau kata film ‘Bahwa Cinta Itu Ada’-nya mbah Sudjiwo Tedjo, cinta itu tetap ada, tapi tidak butuh arti, karena sudah punya banyak makna. Tidak perlu dicari, karena dimana pun dia ada."
“Kamu tiap hari nongkrongnya di tukang DVD bajakan ya? Daritadi ngutip kata-kata dari film terus.”
“Hahaha.. yaudah sekarang kalau menurut versi aku ya. Menurutku cinta itu emang enggak bisa didefinisikan. Cinta itu buatku sebuah keihkhlasan.”
“Maksudnya?” Dia menaruh garpu yang berisi potongan donat ke atas piringnya.
“Iya! Cinta enggak perlu ada sebab, cinta lahir dari hati yang ikhlas. Itulah kenapa dulu Andre Taulany berhasil mendapatkan anaknya Deddy Mizwar di film Kiamat Sudah Dekat.”
“Aah.. Lagi-lagi alasannya dari film.”
“Cinta dan ikhlas itu perkara hati." Aku kembali menjelaskan. "Enggak perlulah disebutkan atau dituliskan. Itulah kenapa aku kalau bikin lagu meskipun lagunya lagu tentang cinta, enggak mau memasukan kata ‘cinta’ ke dalam liriknya.”
Dia mengetuk-ngetuk pipinya dengan
jari telunjuknya. Seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Aku hanya bisa
melihatnya saja sambil berusaha menaham senyum karena mengagumi wajagnyanya
yang cantik.
“Oh, sama kaya Ponki Jikustik dulu ya?”
Katanya tiba-tiba. “ Dia enggak pernah memasukan kata ‘cinta’ di dalam
lagu-lagunya.”
“Ya! Betul. Sekarang paham kan kenapa
Lukman Sardi enggak mau menyebutkan apa arti cinta itu?"
Kulihat dia mengangguk pelan. Seperti
sudah paham dengan apa yang dari tadi aku jelaskan atau malah dia sudah lelah
mendengarkan ucapanku.
“Aduh, aku masih ngebayangin Dian
Sastro nih. Nonton lagi yuk besok?” Ajakku dengan perasaan penuh harap.
Berharap dia membalas ajakanku dengan mengatakan ‘iya’, ‘boleh’, ‘ayo’, atau
‘capcus cyin’.
“Ngapain sih kamu ngebayangin Dian yang di film, kenapa enggak ngebayangin Dian yang ada di depan kamu aja?”
“Ngapain sih kamu ngebayangin Dian yang di film, kenapa enggak ngebayangin Dian yang ada di depan kamu aja?”
Ah, sial. Aku lupa. Wanita yang ada di
depanku ini juga sering dipanggil oleh teman-temannya termasuk aku dengan nama
‘Dian’.
”Eh, iya ya. Hahaha. Tapi emangnya
kamu mau aku bayangin gitu?” Tanyaku sedikit memancing.
“Mau!” Jawabnya singkat.
“Mau!” Jawabnya singkat.
“Eh?!”
”Memangnya kamu mau bayangin aku bagaimana?” Tanyanya. Tiba-tiba dia sedikit mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dengan tatapan yang menggoda, jemarinya memainkan ujung rambutnya lalu direntangkan kedua tangannya ke belakang. Dia menguncir rambutnya.
Rambut memang pas kalau dibilang
sebagai salah satu mahkotanya wanita yang bisa menarik hati orang yang
melihatnya. Ya seperti aku ini misalnya, diam-diam aku mengagumi rambutnya yang
digulung membentuk konde-entah-apa-namanya-itu, dijepit dengan sumpit berwarna
hitam. Beberapa helai rambutnya dibiarkan jatuh tergerai di dekat telinganya
yang jika dia bergerak rambut-rambutnya itu ikut melambai pelan seakan
memanggil-manggil namaku untuk segera menyentuhnya dan menyelipkan ke celah
telinganya.
Aaaaahh... Entah kenapa aku selalu
terobsesi sama wanita yang lagi mengikat atau menguncir rambutnya. Momen itu
terlihat seksi saja di mataku. Kalau aku disuruh melihat wanita lagi pakai baju
seksi atau melihat wanita yang sedang mengikat rambutnya, pasti aku bakal
memilih wanita yang lagi mengikat rambut tapi pakai baju seksi.
Hatiku mendadak berdesir. Sepertinya
memang inilah saatnya aku mengungkapkan apa yang aku rasakan selama ini.
Aku menarik nafas panjang, menundukan
kepala, mengumpulkan nyali dan keberanian. Jari-jemariku memainkan sedotan yang
berada di dalam gelas yang sudah terlihat kosong. Hembusan nafas panjang
berulang kali aku lakukan, bahkan kadang terdengar cukup jelas. Aku
mengeluarkan suara lembut, menyebut nama wanita yang ada di depanku ini.
“Dian….”
“Iya?”
Akhirnya.. Ratusan kata-kata indah
yang aku kutip dari lirik-lirik lagu dan film, kuucapkan kepadanya. Perasaan
yang telah aku tahan selama satu bulan ini akhirnya keluar dan tersampaikan
juga. Di depan Choco Caviar Chocolate
Donut, Don Mochino Donut dan Kopi
Gelas Granita (aku diam-diam membawanya dari rumah), kata-kata tersebut
mengalir keluar dari mulutku dengan penuh keyakinan dan percaya diri. Dian yang
semenjak tadi mendengarkan dan menatapku dengan tatapan lembutnya, tiba-tiba
memegang erat tanganku.
“Terima kasih ya, ti."
"Terima kasih untuk?"
"Yaa.. Terima kasih kamu udah mau jujur. Aku senang banget kamu udah jujur ke aku.”
Aku tersenyum. Pikiranku menerawang
menerka-nerka, kata-kata apa yang selanjutnya akan dia ucapkan.
“Karena kamu sudah jujur, sekarang aku
juga mau jujur ke kamu.” Katanya.
“Jujur kenapa?”
"Sebenarnya aku ini—“
“Iyaa..?”
“Sebenarnya aku ini… Laki-laki.”
Haaaaaaaahh!!!!
Pernyataannya benar-benar membuatku
kaget bagaikan mendengar suara kenalpot RX King yang dinaiki oleh Dian Sastro
jam dua belas malam di Komplek Koramil.
Kaget banget!
“Kamu bohong. Aku enggak percaya.” Aku
menggelengkan kepala.
“Benar, ti. Aku enggak bohong. Kamu harus percaya. Dan satu hal lagi kenapa aku tahu banyak tentang hal-hal yang kamu suka?”
“Kenapa?”
“Itu karena…”
“……”
“Itu karena aku ini adalah teman sebangkumu dulu sewaktu di SMA.”
“Hah?! Jadi kamu dulu teman sebangku aku dulu waktu SMA?!” Tanyaku seakan tidak percaya.
“……”
“Rahmat Ferdianto?” Aku mencoba untuk memastikan.
Dia mengangguk pelan.
Aku menarik nafas panjang seakan tidak
percaya pada apa yang aku alami malam ini. Tiba-tiba ingatanku memutar kejadian
beberapa jam yang lalu saat kita sedang menonton film 7 hari 24 jam, di penghujung film yang menampilkan adegan Dian
Sastro dan Lukman Sardi berciuman, tiba-tiba aku refleks menggenggam tangannya.
Dia menoleh kepadaku lalu memberikan sebuah anggukan kecil serta senyuman manis
dan… kami berdua pun berciuman.
Anying!
Aku tadi habis mencium seorang laki-laki. Tapi cantik. Tapi
kalau kencing berdiri. Tapi manis. Tapi kayanya suka ikut solat jumat. Tapi….
Ah,brengsek lah.
“Tolong jawab pertanyaanku.” Kali ini
aku yang bertanya sambil sedikit mendekatkan wajahku ke wajahnya.
“Kamu mau tanya apa, ti?”
“Bagaimana kamu bisa jadi secantik ini? Kamu operasi Thailand ya?”
“Bukan…”
“Oh, kalau begitu pasti di Korea Selatan?”
“Bukan, ti.”
“Lalu?”
Dia mengambil tas yang ada di sampingnya
kemudian menaruhnya di atas meja. Dari dalam tas-nya, dia mengambil sebuah
benda yang sepertinya sangat familiar untukku. Aku dulu sering melihat benda
tersebut di hari minggu pagi ketika aku masih kecil.
Sebuah Radar Dragon Ball.
***
Senayan, 20 Desember 2014.
Tulisan cerpen ini pernah dipublikasikan di Website-nya @KomtungTV