“Kamu udah maghrib-an belum?”
“Belum. Nanti aja, habis nganterin kamu.”
“Kamu ini selalu deh, harus diingatkan sama siapa sih biar tepat waktu? Sama Nabilah JKT48?”
“Hahahaha!” Aku hanya bisa tertawa.
“Tuh! Anaknya barusan ngetwit, katanya, ’Jangan lupa yaa solat maghrib-nyaaa :)’. Buruan tuh dibales.” Katanya sambil sedikit meledekku.
“Hahaha!”
“Apa perlu aku nyanyi-nyanyi ‘I want you, I need you, I love you’, biar kalo aku ingatin kamu, kamu langsung nurut?”
“Hahahhaa!” Lagi-lagi aku hanya bisa tertawa. “Iya. Nanti habis nganterin kamu aku langsung maghrib-an kok. Tenang aja.“
“Yaudah. Yuk jalan deh!” katanya sambil memakai seat belt. Dia duduk di sebelah kiriku.
Regina Frieska.
Nama perempuan yang hari ini sedang bersamaku. Hari ini dia terlihat lebih cantik dari biasanya.
Ya! Lebih cantik dari biasanya, karena biasanya aku tidak bisa melihatnya.
Jarak Jakarta – Semarang yang terbentang sepanjang 471 km, membuatku terpaksa tidak bisa bertemu dengannya setiap hari. Capek rasanya kalau membayangkan bolak-balik Jakarta – Semarang tiap minggu, apalagi kalau perginya naik sepeda mini. Iya. Pasti capek banget. Apalagi kalau sepedanya itu sepeda Family.
Mesin mobil Toyota Great Corolla sudah dinyalakan. Meskipun usianya sudah cukup uzur tapi suara mesinnya masih halus seperti suara Ruth Sahanaya. Bersamaan dengan menyalanya mesin mobil, terdengar suara vokal Duta sedang bernyanyi. Lagu-lagu Sheila on 7 dari album ketiga yang bertajuk '07 Des' mengalun merdu dari CD Player mobilku.
Aku memacu mobil bergerak keluar dari komplek perumahan, melaju di tengah jalan raya dengan kecepatan tidak terlalu kencang meski malam ini jalanan ibu kota sedang lenggang.
“Semalam aku sudah ngomong lagi ke Papa.” Katanya membuka obrolan tanpa menoleh kepadaku ketika kami sedang berada di sebuah persimpangan lampu merah.
Sekilas terlihat lamanya durasi lampu merah tersebut kira-kira kalau kita turun terus nyuci mobil di sini, sampai selesai nyuci mobil mungkin lampu merahnya belum berubah jadi hijau.
“Terus?” tanyaku sambil mengecilkan volume CD Player. Suaranya tadi terdengar samar karena berbarengan dengan suara Duta.
“Masih sama seperti minggu lalu. Papa gak setuju, kecuali—“
“Kecuali apa?”
“Kamu pindah.” Dia menoleh menatap mataku dengan tatapan yang penuh harap tapi tidak memaksa.
Aku langsung menyenderkan kepala dan menutup mata. Memikirkan beberapa hal di dalam kepala. Pertama, tumpukan pekerjaan di Semarang yang kutinggalkan beberapa hari ini, jemuran baju yang berisi kaos JKT48 masih tergantung lupa diangkat karena aku pergi dengan tergesa-gesa. Sebagai seorang fans JKT48, aku berdoa semoga enggak ada wota yang lewat di depan kontrakanku. Kedua, yang paling penting, aku memikirkan bagaimana kelanjutan nasib hubungan aku dan dia.
Di tengah mata yang terpejam, tiba-tiba dia memegang tanganku. Terasa hangat. Kemudian kurasakan salah satu tangannya yang lain memegang pundakku, badanku sedikit tertarik ke arahnya. Kalau yang sudah-sudah aku lihat di FTV-FTV sih ini kayanya bakal ada adegan.. uhuk.. ciuman.
Oke! Aku siap!
Aku menahan nafas. Satu… dua… tiga…
Tiba-tiba terdengar kata-kata gombal indah yang pernah aku lihat di spanduk buatan Polda Metro Jaya:
“Ngantuk jangan nyetir, nyetir jangan ngantuk. Ingat keluarga menunggu di rumah.” Katanya-katanya terdengar lembut di telingaku sampai merusak semua imajinasi yang ada di kepalaku.
“.....”
“Lampu merahnya tinggal 7 detik lagi tuh, sayang.” Lanjutnya.
Syit! Adegan FTV semuanya pembohong!
Aku. Sakti Pamungkas berjanji, mulai saat ini aku tidak bakal lagi setiap sabtu-minggu nonton FTV di kontrakan. Tapi kalau senin-jum’at enggak apa-apa. Soalnya nonton di kantor sambil main Zuma atau enggak Solitaire.
“Yaa.. kalau soal pindah itu kamu sudah tahu jawabanku kan. Aku enggak bisa pindah.” Kataku sambil kembali memacu mobil. Volume CD Player kembali aku perbesar lagi. Terdengar suara Duta sedang menyanyikan lagu yang berjudul ‘Tentang Hidup’.
Akhirnya semua terjadi juga,
yang kutakutkan, yang kuelakkan.
Keresahan ini tak seharusnya terjadi,
seakan jurang tercipta untuk kita.
“Iya. Aku paham. Itu pilihan kamu. Aku juga enggak pernah memaksa kamu kan.” Dia tersenyum. Sebenarnya senyumnya menyejukan hati bagi siapa saja yang melihatnya tapi entah kenapa malam ini aku melihatnya dengan perasaan sedikit perih.
Kulepaskan tangan kiriku dari gagang perseneling lalu kuraih jemarinya. Aku genggam erat tangannya seperti seorang anak kecil yang sedang memegang erat iPad-nya sambil memainkan permainan Angry Bird, tidak mau dilepaskan meski pun ada orang yang memintanya.
Selalu kucoba menghangatkanmu,
dengan sebatang lilin di tengah badai ini.
Akupun tak ingin kau meredup dan membeku,
dan lilin ini segalanya yang tersisa.
“Kamu kapan pulang ke Semarang?” Tanyanya.
“Aku pulang lusa malam.”
“Terus… Ke sininya lagi kapan?”
“Belum tahu, Re.”
“Tapi kamu bakal ke sini lagi kan?” Tanyanya dengan penuh harap-harap cemas. Dari matanya aku bisa melihat sebuah ketulusan. Menanti sebuah jawaban yang mungkin bisa menenangkan hatinya.
Aku tersenyum dan mengangguk, “Iya. Pasti. Aku pasti kesini lagi.”
Dia tersenyum. Cantik. Bahkan amat sangat cantik.
Coba berusaha untuk lebih mencintaiku,
aku ‘kan mencoba hal yang sama.
Aku pun tak ingin meninggalkan tempat ini,
apa yang kau rasakan, aku juga merasakan.
“Eh, Pelan-pelan, ti. Sudah dekat. Itu di sebelah kiri”.
“Oh. Oke.” Aku menyalakan lampu sign ke arah kiri lalu menghentikan mobil tepat di depan sebuah bangunan bergaya Eropa.
Aku sering melihatnya dulu saat kecil sewaktu menonton film Home Alone. Sebuah katedral tua yang dibangun dengan arsitektur neo-gothik, sebuah gaya seni arsitektur dari Eropa yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung Gereja pada sekitar abad ke-12 dan 13.
Bertahan sayang dengan do’a mu,
kucoba bertanya pada Tuhanku.
“Misa-nya jam berapa, Re?” tanyaku.
“Jam 7, ti.”
“Oh.. 20 menit lagi ya. Yaudah kamu siap-siap dulu di dalam sana. Aku mau cari pom bensin dulu buat numpang maghrib-an. Nanti aku kesini lagi jam 8-an ya buat jemput kamu.”
“Nanti ah. Aku masih mau di sini. Lima menit lagi deh.” Pintanya dengan manja.
“Yee… Kamu ini selalu deh, harus disuruh sama siapa sih biar nurut? Sama Lee Min Ho?”
“Hahahaha! Lee Min Ho mana pernah ngingetin orang buat ke Gereja.” Dia hanya tertawa dan aku pun juga ikut tertawa.
Kita berdua tertawa tetapi mungkin Tuhan tersenyum diatas sana karena kita sebentar lagi akan memanggil nama-Nya dengan berbeda. Namun tetap membagi kasih meskipun saling berdoa dari tempat yang berbeda.
Semoga Tuhan Kamu dan Aku tahu bahwa kita harus tetap bersama.
***
Bekasi, 10 Oktober 2014
*terinspirasi dari lagu Sheila On 7 – Tentang Hidup ( Cipt. Eross Chandra )
“Belum. Nanti aja, habis nganterin kamu.”
“Kamu ini selalu deh, harus diingatkan sama siapa sih biar tepat waktu? Sama Nabilah JKT48?”
“Hahahaha!” Aku hanya bisa tertawa.
“Tuh! Anaknya barusan ngetwit, katanya, ’Jangan lupa yaa solat maghrib-nyaaa :)’. Buruan tuh dibales.” Katanya sambil sedikit meledekku.
“Hahaha!”
“Apa perlu aku nyanyi-nyanyi ‘I want you, I need you, I love you’, biar kalo aku ingatin kamu, kamu langsung nurut?”
“Hahahhaa!” Lagi-lagi aku hanya bisa tertawa. “Iya. Nanti habis nganterin kamu aku langsung maghrib-an kok. Tenang aja.“
“Yaudah. Yuk jalan deh!” katanya sambil memakai seat belt. Dia duduk di sebelah kiriku.
Regina Frieska.
Nama perempuan yang hari ini sedang bersamaku. Hari ini dia terlihat lebih cantik dari biasanya.
Ya! Lebih cantik dari biasanya, karena biasanya aku tidak bisa melihatnya.
Jarak Jakarta – Semarang yang terbentang sepanjang 471 km, membuatku terpaksa tidak bisa bertemu dengannya setiap hari. Capek rasanya kalau membayangkan bolak-balik Jakarta – Semarang tiap minggu, apalagi kalau perginya naik sepeda mini. Iya. Pasti capek banget. Apalagi kalau sepedanya itu sepeda Family.
Mesin mobil Toyota Great Corolla sudah dinyalakan. Meskipun usianya sudah cukup uzur tapi suara mesinnya masih halus seperti suara Ruth Sahanaya. Bersamaan dengan menyalanya mesin mobil, terdengar suara vokal Duta sedang bernyanyi. Lagu-lagu Sheila on 7 dari album ketiga yang bertajuk '07 Des' mengalun merdu dari CD Player mobilku.
Aku memacu mobil bergerak keluar dari komplek perumahan, melaju di tengah jalan raya dengan kecepatan tidak terlalu kencang meski malam ini jalanan ibu kota sedang lenggang.
“Semalam aku sudah ngomong lagi ke Papa.” Katanya membuka obrolan tanpa menoleh kepadaku ketika kami sedang berada di sebuah persimpangan lampu merah.
Sekilas terlihat lamanya durasi lampu merah tersebut kira-kira kalau kita turun terus nyuci mobil di sini, sampai selesai nyuci mobil mungkin lampu merahnya belum berubah jadi hijau.
“Terus?” tanyaku sambil mengecilkan volume CD Player. Suaranya tadi terdengar samar karena berbarengan dengan suara Duta.
“Masih sama seperti minggu lalu. Papa gak setuju, kecuali—“
“Kecuali apa?”
“Kamu pindah.” Dia menoleh menatap mataku dengan tatapan yang penuh harap tapi tidak memaksa.
Aku langsung menyenderkan kepala dan menutup mata. Memikirkan beberapa hal di dalam kepala. Pertama, tumpukan pekerjaan di Semarang yang kutinggalkan beberapa hari ini, jemuran baju yang berisi kaos JKT48 masih tergantung lupa diangkat karena aku pergi dengan tergesa-gesa. Sebagai seorang fans JKT48, aku berdoa semoga enggak ada wota yang lewat di depan kontrakanku. Kedua, yang paling penting, aku memikirkan bagaimana kelanjutan nasib hubungan aku dan dia.
Di tengah mata yang terpejam, tiba-tiba dia memegang tanganku. Terasa hangat. Kemudian kurasakan salah satu tangannya yang lain memegang pundakku, badanku sedikit tertarik ke arahnya. Kalau yang sudah-sudah aku lihat di FTV-FTV sih ini kayanya bakal ada adegan.. uhuk.. ciuman.
Oke! Aku siap!
Aku menahan nafas. Satu… dua… tiga…
Tiba-tiba terdengar kata-kata gombal indah yang pernah aku lihat di spanduk buatan Polda Metro Jaya:
“Ngantuk jangan nyetir, nyetir jangan ngantuk. Ingat keluarga menunggu di rumah.” Katanya-katanya terdengar lembut di telingaku sampai merusak semua imajinasi yang ada di kepalaku.
“.....”
“Lampu merahnya tinggal 7 detik lagi tuh, sayang.” Lanjutnya.
Syit! Adegan FTV semuanya pembohong!
Aku. Sakti Pamungkas berjanji, mulai saat ini aku tidak bakal lagi setiap sabtu-minggu nonton FTV di kontrakan. Tapi kalau senin-jum’at enggak apa-apa. Soalnya nonton di kantor sambil main Zuma atau enggak Solitaire.
“Yaa.. kalau soal pindah itu kamu sudah tahu jawabanku kan. Aku enggak bisa pindah.” Kataku sambil kembali memacu mobil. Volume CD Player kembali aku perbesar lagi. Terdengar suara Duta sedang menyanyikan lagu yang berjudul ‘Tentang Hidup’.
Akhirnya semua terjadi juga,
yang kutakutkan, yang kuelakkan.
Keresahan ini tak seharusnya terjadi,
seakan jurang tercipta untuk kita.
“Iya. Aku paham. Itu pilihan kamu. Aku juga enggak pernah memaksa kamu kan.” Dia tersenyum. Sebenarnya senyumnya menyejukan hati bagi siapa saja yang melihatnya tapi entah kenapa malam ini aku melihatnya dengan perasaan sedikit perih.
Kulepaskan tangan kiriku dari gagang perseneling lalu kuraih jemarinya. Aku genggam erat tangannya seperti seorang anak kecil yang sedang memegang erat iPad-nya sambil memainkan permainan Angry Bird, tidak mau dilepaskan meski pun ada orang yang memintanya.
Selalu kucoba menghangatkanmu,
dengan sebatang lilin di tengah badai ini.
Akupun tak ingin kau meredup dan membeku,
dan lilin ini segalanya yang tersisa.
“Kamu kapan pulang ke Semarang?” Tanyanya.
“Aku pulang lusa malam.”
“Terus… Ke sininya lagi kapan?”
“Belum tahu, Re.”
“Tapi kamu bakal ke sini lagi kan?” Tanyanya dengan penuh harap-harap cemas. Dari matanya aku bisa melihat sebuah ketulusan. Menanti sebuah jawaban yang mungkin bisa menenangkan hatinya.
Aku tersenyum dan mengangguk, “Iya. Pasti. Aku pasti kesini lagi.”
Dia tersenyum. Cantik. Bahkan amat sangat cantik.
Coba berusaha untuk lebih mencintaiku,
aku ‘kan mencoba hal yang sama.
Aku pun tak ingin meninggalkan tempat ini,
apa yang kau rasakan, aku juga merasakan.
“Eh, Pelan-pelan, ti. Sudah dekat. Itu di sebelah kiri”.
“Oh. Oke.” Aku menyalakan lampu sign ke arah kiri lalu menghentikan mobil tepat di depan sebuah bangunan bergaya Eropa.
Aku sering melihatnya dulu saat kecil sewaktu menonton film Home Alone. Sebuah katedral tua yang dibangun dengan arsitektur neo-gothik, sebuah gaya seni arsitektur dari Eropa yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung Gereja pada sekitar abad ke-12 dan 13.
Bertahan sayang dengan do’a mu,
kucoba bertanya pada Tuhanku.
“Misa-nya jam berapa, Re?” tanyaku.
“Jam 7, ti.”
“Oh.. 20 menit lagi ya. Yaudah kamu siap-siap dulu di dalam sana. Aku mau cari pom bensin dulu buat numpang maghrib-an. Nanti aku kesini lagi jam 8-an ya buat jemput kamu.”
“Nanti ah. Aku masih mau di sini. Lima menit lagi deh.” Pintanya dengan manja.
“Yee… Kamu ini selalu deh, harus disuruh sama siapa sih biar nurut? Sama Lee Min Ho?”
“Hahahaha! Lee Min Ho mana pernah ngingetin orang buat ke Gereja.” Dia hanya tertawa dan aku pun juga ikut tertawa.
Kita berdua tertawa tetapi mungkin Tuhan tersenyum diatas sana karena kita sebentar lagi akan memanggil nama-Nya dengan berbeda. Namun tetap membagi kasih meskipun saling berdoa dari tempat yang berbeda.
Semoga Tuhan Kamu dan Aku tahu bahwa kita harus tetap bersama.
***
Bekasi, 10 Oktober 2014
*terinspirasi dari lagu Sheila On 7 – Tentang Hidup ( Cipt. Eross Chandra )
Pernah dipublikasikan di website-nya @KomtungTV. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar