Rabu, 13 Agustus 2014

YOU'LL NEVER BE A RED DEVIL





“Kenapa sih kamu kalau stand up pasti selalu jelek-jelekin United terus?”

“United? United Traktor? Aku gak pernah bikin materi stand up tentang Traktor.”

“Manchester United!! Hih.. Dasar fans Liverpool!!“ Ucapnya sedikit keras sambil melototkan matanya kemudian memonyongkan bibirnya yang berwarna pink dan glossy ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Benar-benar menggemaskan.
 

Hujan deras sore ini membuatku terpaksa menepikan motor dan berteduh di depan sebuah Convenience Store yang katanya dibangun dengan bantuan Jin. Karena setiap melewatinya aku selalu mempunyai perasaan kayanya kemaren ini belom ada deh, kok tiba-tiba sekarang ada. Di seberangnya terdapat kios lapak MP3 dan DVD bajakan yang sedang memutarkan lagu-lagu hits saat ini seperti Last Child, D'Bagindas dan Armada. 

Lima belas menit aku menunggu hujan reda sampai akhirnya tadi ada seorang perempuan yang menegurku. Perempuan yang dulu pernah sangat aku harapkan namun kemudian aku kecewakan. 

Raline Faranissa.

Mungkin tidak perlu aku ceritakan kenapa aku pernah mengecewakannya tapi yang penting saat ini aku masih berharap ingin kembali kepadanya.

“Kamu kapan muncul di TV lagi?” Tanyanya memecah pandanganku yang sejak tadi hanya tersenyum melihatnya. “Aku bulan lalu nonton kamu loh di Tangerang.”
 

“Oh ya? Terima kasih ya. Tapi kenapa kamu tidak menemuiku?”
 

“Yaa.. Waktu itu aku nontonnya sama pacar. Dia orangnya cemburuan dan apalagi kamu stand up-nya jelek-jelekin United."

"Hahaha!"

"Sepanjang kamu ngomong di atas panggung, dia kesal dan ngajak untuk pulang terus.”
 

“Ooh.. kamu nonton sama orang yang udah bikin kamu sekarang jadi suka bola. Bikin kamu jadi fans MU lalu dicuci otak sama dia dan sekarang kamu berubah jadi perempuan yang benci sama fans Liverpool dan tidak bisa menerima kenyataan?”
 

“Tidak bisa menerima kenyataan? Maksudnya?” Tanyanya sambil mengeryitkan dahi.
 

“Yaa…  Tidak bisa menerima kenyataan kalau musim depan MU gak main di Liga Champions.” Jawabku.
 

“Sakti?!”
 

“Apa?”
 

“Yang gak bisa menerima kenyataan itu bukannya kamu?”
 

“Aku? Maksudnya?” Tanyaku. Kali ini aku yang keheranan karena tidak mengerti.
 

“Untuk apa kamu kembali? Menunggu di depan pintu hati yang telah terkunci setelah kamu tinggal pergi.”

Aku terdiam dan hanya bisa menatap matanya. Selain melihat bola matanya yang indah, sampai sekarang aku masih percayakalau kita ingin memasuki hati  seseorang maka tataplah matanya terlebih dahulu. Tapi sayang di matanya sekarang ini aku juga melihat garis kekecewaan yang dulu pernah aku goreskan masih membekas di sana.

"Kamu itu sudah seperti rumah buat aku, sejauh-jauhnya aku pergi, pasti akan kembali lagi."
 

"Tapi sayang selama kamu pergi, rumah ini sudah disegel sama Perumnas BTN. Kamu nunggak tiga bulan."

"Hahahaha!"

Aku hanya bisa tertawa. Ternyata dia masih seperti dulu, selalu melucu disaat kita sedang mengatakan hal-hal yang serius.

"Rumah yang dulu kamu tinggalkan sekarang sudah ada pemiliknya." Lanjutnya pelan.

“Heeey.. Ayolah… Aku ini orang yang paling tahu banyak hal tentang kamu dibanding semua laki-laki yang pernah atau sedang ingin memilikimu. Termasuk si fans MU itu, yang hanya bisa membahagiakan kamu tiga bulan saja.”
 

“Maaf, itu bukan ‘hanya’ tapi ‘sudah’. Sudah membahagiakanku selama tiga bulan”
 

“Apalah itu bedanya. Sama-sama tiga  bulan. Pacaran kok cuma tiga bulan. Itu pacaran apa perpanjang SKCK?!”
 

“Hahaha!”

Sudah lama aku tidak melihatnya tertawa lepas seperti yang baru saja kulihat. Selama 3 bulan ini aku hanya bisa melihatnya di Path. Memberinya icon love setiap kali dia memposting apapun di path, termasuk foto sewaktu dia dipeluk mesra oleh seorang laki-laki yang memakai jersey Manchester United.

“Boleh aku kembali?” Tanyaku penuh harap.
 

“..........”

"Masa cuma karena aku fans Liverpool dan sekarang kamu jadi fans MU, sekarang kamu gak bisa menerima aku."

"Yeee... Ngaco, ah! Hehehe"

“Maafin aku, Din.”

“Tidak,” Ia menggeleng. “Kalau semua masalah bisa diselesaikan dengan maaf, buat apa ada kantor polisi?”

“Ayolah, Raline," Pintaku penuh harap. "Bukankah setiap orang berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua?”
 

“Ya! itu untuk mereka gagal di kesempatan pertama. Tapi mereka yang sudah menyia-nyiakan itu tidak pantas meminta kesempatan kedua.”
 

“..........”
 

“Paham kan bedanya ‘gagal’ sama ‘menyia-nyiakan’?”

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Percuma mendebatnya. Aku kira si Fans Manchester United Karbitan Tiga Bulan ini sikapnya sudah berubah. Tetapi ternyata masih sama keras kepala seperti waktu aku mengenalnya pertama kali. Dari lapak MP3 bajakan yang ada di seberang Convenience Store terdengar suara nyanyian dari band Last Child. Band yang sampai saat ini entah mengapa menjadi keresahanku, bagaimana mungkin seorang laki-laki yang berbadan besar dan tangannya penuh dengan tattoo bisa menciptakan lagu yang berlirik melankolis. 

Engkau yang hatinya terluka. 
Dipeluk nestapa, tersapu derita. 

“Eh, hujannya sudah reda. Mau bareng?”

“Terima kasih. Aku sudah ada yang jemput, ti. Maaf ya.”

“Ooh.. Gak apa-apa,” Balasku datar. “Anak bola lagi?”

“Belum tahu suka bola apa gak, tapi yang pasti dia anak band. Eh, Itu dia datang.” Jawabnya sambil menunjuk kearah sebuah mobil Toyota Starlet yang baru memasuki parkiran Convenience Store.

Dari dalam mobil tersebut keluar seorang laki-laki berkacamata, bercelana jeans dan berkaos putih dengan tulisan nama sebuah band yang sangat legendaris. The Beatles.

“Din, kamu tahu gak The Beatles itu kota asalnya darimana?”
 

Dia menatapku dan menggelengkan kepalanya, “Dari mana?”

“Liverpool.”

“..........”

“Kalau kamu mau tahu banyak tentang Liverpool, kamu bisa tanya-tanya aku kok. Whatsapp aku belum di-block kan?”


***


Bekasi, 13 Agustus 2014



Cerpen ini pernah dipublikasikan di web-nya @komtungTV dengan judul "KEMBALI".
http://www.komtungtv.com/detailarticle.php?vid=123&pid=9








Tidak ada komentar:

Posting Komentar