Sabtu, 25 Oktober 2014

MELAWAN WAKTU



“Mesin waktu itu sampai kapan pun tidak bakal pernah ada.”

“Kamu jadi cowok harusnya visioner dong. Dulu juga siapa yang tahu ponsel, komputer dan berbagai teknologi canggih lainnya bisa diciptakan,” Katanya mencoba menjelaskan. “Sama seperti hal-nya dengan mesin waktu, kelak pasti bakal ada.”
 

“Nggak mungkin lah. Aku ini lulusan Teknik Fisika. Manusia tidak mungkin bisa melawan putaran waktu.”

“Aku juga lulusan Teknik Fisika. Tapi bedanya aku lulus dalam waktu empat tahun. Kamu? Tujuh tahun, Ti. Tujuh tahun! Jadi aku yang lebih paham.”
 

“Bisa nggak sih nggakk usah bawa-bawa lulus kuliah berapa tahun.” Aku mulai sedikit kesal kepadanya.

“Nih baca!! Ilmuwan di Iran sudah berhasil menciptakan mesin yang memungkinkan manusia untuk melihat hidupnya di masa depan dengan akurasi 98%. Itu artinya membuat mesin waktu sekarang bukan hanya khayalan.” Katanya sambil menunjukan sebuah artikel dari iPad-nya.

“Berita apaan tuh? Mana mesin waktunya?!. Nggak penting,” balasku cuek.

“Kamu ih, selalu gitu.”

“Kamu tuh baca yang jelas dong beritanya, di sana tertulis ‘Mesin ini tidak akan membawa Anda ke masa depan, tapi akan membawa masa depan untuk Anda. Mesin ini bisa melihat hasil konfrontasi militer dengan negara-negara asing, mempersiapkan fluktuasi nilai mata uang asing dan perubahan harga minyak’.” Aku membacakan beberapa baris berita tersebut. “Itu sih namanya mesin prediksi bukan mesin waktu.”
 
Sudah empat cangkir kopi kunikmati hingga sore ini. Aku sebenarnya bukan termasuk orang yang menyukai kopi, terbukti dari caraku meminum kopi, penggemar kopi biasanya menikmati kopinya dengan meminumnya pelan-pelan, sedangkan aku minum kopi langsung ditenggak. Udah kaya minum sirup.

Risa Farizia.

Rasanya aku tidak perlu menjelaskan siapa dia, perempuan yang saat ini sedang berdebat tentang konsep mesin waktu. Karena nanti kalian juga akan tahu sendiri siapa si Risa ini.

“Seandainya Mesin Waktu itu ada dan bisa membawa kita kembali ke masa lalu. Kamu bakal memilih kembali ke momen apa di masa lalu, Ti? Mau ketemu aku di masa lalu nggak?” Ia kembali memulai perbicaraan.

“Ah, kamu bertanya sesuatu yang nggak bakal mungkin terjadi. Aku malas jawabnya.”

“Tinggal jawab aja susah banget sih!”

“Iya!” Aku membenarkan posisi duduk kemudian menatap matanya. “Kalau mesin waktu itu ditemukan, orang yang paling bahagia adalah mereka yang sering membuat kesalahan kemudian menyesal. Dengan adanya mesin waktu, tidak bakal ada lagi orang-orang yang akan menyesal setelah membuat kesalahan.”

“Iya. Terus kamu bakal ikut pergi ke masa lalu juga enggak? Kamu kan pernah bikin kesalahan sama aku.”

“Iya. Aku memang pernah membuat kesalahan. Tapi aku tidak ingin kembali ke masa lalu buat ketemu kamu. Karena-“

“Kenapa?”

“Karena aku tidak menyesal pernah mengenal seseorang yang bernama Risa Farizia.”

Dia menatapku agak lama mungkin sekitar tiga detik. Kemudian menunduk perlahan. Mungkin mencoba menyembunyikan wajahnya yang merona dan mencoba menahan senyum.

“Tapi seandainya aku bisa kembali ke masa lalu…” Aku melanjutkan pembicaraan. Kulihat wajahnya sudah tidak menunduk lagi. Tapi kulihat garis-garis bekas senyumannya tadi masih tersisa di bibirnya. “Aku bakal pergi ke masa di mana aku kena razia waktu SMA.”

“Memangnya kamu kena razia apa?”

“Razia rokok.”

“Ya ampun, Sakti. Cuma kena razia rokok aja sampai bela-belain balik pakai mesin waktu.”

“Yaa.. aku kesel aja. Abis aku nggak ngerokok tapi malah kena razia”

“Lah.. kok bisa kena razia?” Tanyanya keheranan.

“Aku kena razia soalnya aku bawa samurai.”

“AH GILA LO , AH!!” Dia menimpukku dengan tisu yang dari tadi dipegangnya.

“Apes banget ya aku, Ris. Ketangkep basah bawa samurai.Hahaha."

Jadi saat itu sewaktu SMA, aku pernah kena razia. SMA tempatku menuntut ilmu memang sering mengadakan razia rokok tiap bulannya. Bodohnya aku, sudah tahu bakal ada razia rokok, bukannya bawa rokok malah bawa samurai. Aku lolos dari razia rokok tapi enggak sengaja ketangkep razia senjata tajam.

“BODO AMAT! MASA LALU LO SEREM  AH, TI!” Risa tiba-tiba kesal sendiri setelah mendengar ceritaku.
 

“Saat itu aku langsung digiring ke ruang BP, Ris. Berhadapan dengan Pak Hendra, guru yang terkenal karena suka main tangan--” Kedua Mataku memandang langit-langit mencoba kembali mengingat-ingat kejadian waktu itu.

“Wah abis dong kamu sama dia digamparin?! Sukurin!! Lagian bandel!”

“Enggak. Pak Hendra enggak main tangan tuh.” Jawabku tanpa rasa penyesalan.

“Kok bisa?” Tanyanya penasaran.

“Iya. Dia enggak main tangan, tapi main usir! Aku dikeluarin dari SMA saat itu juga tanpa buku rapot dan ijazah. Hahahaa”

“BODO AMAT!”

Aku hanya tertawa melihat dia geregetan karena mendengar ceritaku. Sejak mengenalnya pertama kali waktu kami kuliah di kota Bandung, baru kali ini aku menceritakan cerita sewaktu aku sekolah. Kami memang dekat sejak status kami menjadi seorang mahasiswa dan mahasiswi, bahkan sudah teramat dekat dan hampir kelewatan. Banyak teman-teman di kampus kami yang menganggap kami berpacaran, padahal sebenarnya tidak. Kami hanya berteman. Meskipun aku kepinginnya pacaran.Hahaha.

Tapi ternyata dia pergi terlalu cepat. Dia lulus dari kampus di tahun ke-4 sedangkan aku lulus di tahun ke tujuh. Oke! Aku ralat. Bukan dia yang pergi terlalu cepat tapi aku yang tinggal terlalu lama.

“Ssst.. ssst.. Ti!” Dia berbisik sambil mencolek punggung tanganku. Dan aku paham kode yang dia berikan.

Aku tersenyum kepadanya seolah memberi tanda berbicara kepadanya ‘Jangan khawatir, Risa. Aku paham’

“Mamah! Mamah! Masa tadi aku naik perosotan tinggiiiii banget.” Seorang anak kecil berusia sekitar 4 tahun berteriak sambil berlari dari arah belakangku dan berhenti di depan Risa.

“Oh yaa? Raka berani? Emangnya Raka nggak takut?” Kata Risa kepada anak kecil tersebut sambil memegang kepalanya.

“Enggak, mah. Raka berani. Papah yang takut.”

“Wah hebat anak mamah”. Risa mencium bocah yang bernama Raka tersebut kemudian menggendong dan menaruhnya dipangkuannya. “Terus sekarang papah mana?”
 

“Itu papah!!” Teriak bocah itu sambil menunjukan jari mungilnya ke arahku.

Aku menengok ke belakang. Terlihat seorang laki-laki berambut klimis memakai jersey Manchester United dan berkaca mata nampak sedang berjalan ke arahku.

Imran. Entah siapa nama panjangnya. Aku lupa. Tapi yang aku ingat, dia adalah laki-laki yang sudah merebut Risa dariku. Jadi begini ceritanya, setelah lulus kuliah dan baru bekerja selama 3 bulan, Risa ternyata dijodohkan oleh orang tuanya dengan Imran. Kata ayahnya, Imran merupakan anak dari teman ayahnya sewaktu SMA, padahal ayahnya Risa itu nggak pernah SMA, dia setelah SMP langsung melanjutkan pendidikan di pesantren.

Aku tahu. Ini cuma akal-akalan mereka saja yang tidak merestui hubungan aku dengan Risa. Orang tua Risa tidak mau menunggu aku yang saat itu jangankan ada niat menikah, niat lulus saja enggak jelas. Tetapi untungnya Imran tidak tahu kalau aku pernah mempunyai hubungan dengan Risa. Dia juga tidak tahu kalau dulu aku merupakan musuh sekolahannya.

Seandainya dulu aku tidak terkena razia, mungkin dia sudah kuhabisi bersama dengan teman-temannya yang lain. Ya! Samurai yang aku bawa sewaktu SMA dulu kupersiapkan untuk menghajar Imran dan teman-temannya.

“Bagaimana, mas Sakti? Kira-kira tanggal 16 nanti di ulang tahunnya Raka mau dikasih konsep tema apa ya?"

"Itu, mas--"

"Masalah biaya nggak masalah, kita percaya dengan kualitas dari EO-nya mas Saakti.” Potong Imran sambil memegang pundakku, mungkin lebih tepatnya menyandarkan tangannya di pundakku.

Aku berbalik badan sambil secara perlahan menyingkirkan tangannya, “Bagaimana kalau temanya Mesin Waktu, Mas? Jadi nanti teman-temannya Raka pakai kostum dari berbagai zaman gitu. Ada pakai kostum kaisar, samurai, tentara nazi, artis Hollywood era 50-an, 60-an, 70-an pokoknya semua zaman deh."

"Hemmm..."

"Bagaimana, mas? Tadi saya sudah bicara sama mba Risa katanya dia tertarik dengan konsep Mesin waktu.”

Kulihat Risa hanya tersenyum. Tapi senyumnya aneh. Mungkin dia tersenyum sambil menahan tawa.

“Lalu untuk orang dewasanya pakai kostum apa, mas Sakti?”

“Untuk orang dewasa termasuk teman-teman EO, nanti kita akan pakai kostum seragam SMA. Kita bakal menembus waktu kembali ke masa SMA. Bagaimana, mas Imran? Seru kan? Setuju?”

“Oke. Ide yang bagus, mas. Saya setuju!”

Aku tersenyum lalu mengambil smartphone dari saku celana. Membuka aplikasi Reminders.

 
NEW LIST
Raka Birthday (Risa)
Minggu, 16 November 2014.
Tema: Mesin Waktu
Kostum: Seragam SMA

PS: jangan lupa bawa samurai, ti. kali ini habisi dia! ^^  

***

 
Bekasi, 25 Oktober 2014



Cerpen ini pernah dipublikasikan di website-nya @KomtungTV.


Sabtu, 11 Oktober 2014

TENTANG HIDUP



“Kamu udah maghrib-an belum?”

“Belum. Nanti aja, habis nganterin kamu.”
 

“Kamu ini selalu deh, harus diingatkan sama siapa sih biar tepat waktu? Sama Nabilah JKT48?”
 

“Hahahaha!” Aku hanya bisa tertawa.
 

“Tuh! Anaknya barusan ngetwit, katanya, ’Jangan lupa yaa solat maghrib-nyaaa :)’. Buruan tuh dibales.” Katanya sambil sedikit meledekku.
 

“Hahaha!”
 

“Apa perlu aku nyanyi-nyanyi ‘I want you, I need you, I love you’, biar kalo aku ingatin kamu, kamu langsung nurut?”
 

“Hahahhaa!” Lagi-lagi aku hanya bisa tertawa. “Iya. Nanti habis nganterin kamu aku langsung maghrib-an kok. Tenang aja.“
 

“Yaudah. Yuk jalan deh!” katanya sambil memakai seat belt. Dia duduk di sebelah kiriku.

Regina Frieska.

Nama perempuan yang hari ini sedang bersamaku. Hari ini dia terlihat lebih cantik dari biasanya.
 

Ya! Lebih cantik dari biasanya, karena biasanya aku tidak bisa melihatnya.

Jarak Jakarta – Semarang yang terbentang sepanjang 471 km, membuatku terpaksa tidak bisa bertemu dengannya setiap hari. Capek rasanya kalau membayangkan bolak-balik Jakarta – Semarang tiap minggu, apalagi kalau perginya naik sepeda mini. Iya. Pasti capek banget. Apalagi kalau sepedanya itu sepeda Family. 


Mesin mobil Toyota Great Corolla sudah dinyalakan. Meskipun usianya sudah cukup uzur tapi suara mesinnya masih halus seperti suara Ruth Sahanaya. Bersamaan dengan menyalanya mesin mobil, terdengar suara vokal Duta sedang bernyanyi. Lagu-lagu Sheila on 7 dari album ketiga yang bertajuk '07 Des' mengalun merdu dari CD Player mobilku.

Aku memacu mobil bergerak keluar dari komplek perumahan, melaju di tengah jalan raya dengan kecepatan tidak terlalu kencang meski malam ini jalanan ibu kota sedang lenggang.

“Semalam aku sudah ngomong lagi ke Papa.” Katanya membuka obrolan tanpa menoleh kepadaku ketika kami sedang berada di sebuah persimpangan lampu merah.


Sekilas terlihat lamanya durasi lampu merah tersebut kira-kira kalau kita turun terus nyuci mobil di sini, sampai selesai nyuci mobil mungkin lampu merahnya belum berubah jadi hijau.

“Terus?” tanyaku sambil mengecilkan volume CD Player. Suaranya tadi terdengar samar karena berbarengan dengan suara Duta.
 

“Masih sama seperti minggu lalu. Papa gak setuju, kecuali—“
 

“Kecuali apa?”
 

“Kamu pindah.” Dia menoleh menatap mataku dengan tatapan yang penuh harap tapi tidak memaksa.

Aku langsung menyenderkan kepala dan menutup mata. Memikirkan beberapa hal di dalam kepala. Pertama, tumpukan pekerjaan di Semarang yang kutinggalkan beberapa hari ini, jemuran baju yang berisi kaos JKT48 masih tergantung lupa diangkat karena aku pergi dengan tergesa-gesa. Sebagai seorang fans JKT48, aku berdoa semoga enggak ada wota yang lewat di depan kontrakanku. Kedua, yang paling penting, aku memikirkan bagaimana kelanjutan nasib hubungan aku dan dia.

Di tengah mata yang terpejam, tiba-tiba dia memegang tanganku. Terasa hangat. Kemudian kurasakan salah satu tangannya yang lain memegang pundakku, badanku sedikit tertarik ke arahnya. Kalau yang sudah-sudah aku lihat di FTV-FTV sih ini kayanya bakal ada adegan.. uhuk.. ciuman.

Oke! Aku siap!


Aku menahan nafas. Satu… dua… tiga…

Tiba-tiba terdengar kata-kata gombal indah yang pernah aku lihat di spanduk buatan Polda Metro Jaya:
 

“Ngantuk jangan nyetir, nyetir jangan ngantuk. Ingat keluarga menunggu di rumah.” Katanya-katanya terdengar lembut di telingaku sampai merusak semua imajinasi yang ada di kepalaku.
 

“.....”
 

“Lampu merahnya tinggal 7 detik lagi tuh, sayang.” Lanjutnya.

Syit! Adegan FTV semuanya pembohong!

Aku. Sakti Pamungkas berjanji, mulai saat ini aku tidak bakal lagi setiap sabtu-minggu nonton FTV di kontrakan. Tapi kalau senin-jum’at enggak apa-apa. Soalnya nonton di kantor sambil main Zuma atau enggak Solitaire.

“Yaa.. kalau soal pindah itu kamu sudah tahu jawabanku kan. Aku enggak bisa pindah.” Kataku sambil kembali memacu mobil. Volume CD Player kembali aku perbesar lagi. Terdengar suara Duta sedang menyanyikan lagu yang berjudul ‘Tentang Hidup’.


Akhirnya semua terjadi juga,
yang kutakutkan, yang kuelakkan.
Keresahan ini tak seharusnya terjadi,
seakan jurang tercipta untuk kita.

“Iya. Aku paham. Itu pilihan kamu. Aku juga enggak pernah memaksa kamu kan.” Dia tersenyum. Sebenarnya senyumnya menyejukan hati bagi siapa saja yang melihatnya tapi entah kenapa malam ini aku melihatnya dengan perasaan sedikit perih.

Kulepaskan tangan kiriku dari gagang perseneling lalu kuraih jemarinya. Aku genggam erat tangannya seperti seorang anak kecil yang sedang memegang erat iPad-nya sambil memainkan permainan Angry Bird, tidak mau dilepaskan meski pun ada orang yang memintanya.

Selalu kucoba menghangatkanmu,
dengan sebatang lilin di tengah badai ini.
Akupun tak ingin kau meredup dan membeku,
dan lilin ini segalanya yang tersisa.


“Kamu kapan pulang ke Semarang?” Tanyanya.
 

“Aku pulang lusa malam.”
 

“Terus… Ke sininya lagi kapan?”
 

“Belum tahu, Re.”
 

“Tapi kamu bakal ke sini lagi kan?” Tanyanya dengan penuh harap-harap cemas. Dari matanya aku bisa melihat sebuah ketulusan. Menanti sebuah jawaban yang mungkin bisa menenangkan hatinya.
 

Aku tersenyum dan mengangguk, “Iya. Pasti. Aku pasti kesini lagi.”

Dia tersenyum. Cantik. Bahkan amat sangat cantik.

Coba berusaha untuk lebih mencintaiku,
aku ‘kan mencoba hal yang sama.
Aku pun tak ingin meninggalkan tempat ini,

apa yang kau rasakan, aku juga merasakan.

“Eh, Pelan-pelan, ti. Sudah dekat. Itu di sebelah kiri”.
 

“Oh. Oke.” Aku menyalakan lampu sign ke arah kiri lalu menghentikan mobil tepat di depan sebuah bangunan bergaya Eropa.

Aku sering melihatnya dulu saat kecil sewaktu menonton film Home Alone. Sebuah katedral tua yang dibangun dengan arsitektur neo-gothik, sebuah gaya seni arsitektur dari Eropa yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung Gereja pada sekitar abad ke-12 dan 13.

Bertahan sayang dengan do’a mu,
kucoba bertanya pada Tuhanku.


“Misa-nya jam berapa, Re?” tanyaku.
 

“Jam 7, ti.”
 

“Oh.. 20 menit lagi ya. Yaudah kamu siap-siap dulu di dalam sana. Aku mau cari pom bensin dulu buat numpang maghrib-an. Nanti aku kesini lagi jam 8-an ya buat jemput kamu.”
 

“Nanti ah. Aku masih mau di sini. Lima menit lagi deh.” Pintanya dengan manja.
 

“Yee… Kamu ini selalu deh, harus disuruh sama siapa sih biar nurut? Sama Lee Min Ho?”
 

“Hahahaha! Lee Min Ho mana pernah ngingetin orang buat ke Gereja.” Dia hanya tertawa dan aku pun juga ikut tertawa.

Kita berdua tertawa tetapi mungkin Tuhan tersenyum diatas sana karena kita sebentar lagi akan memanggil nama-Nya dengan berbeda. Namun tetap membagi kasih meskipun saling berdoa dari tempat yang berbeda.

Semoga Tuhan Kamu dan Aku tahu bahwa kita harus tetap bersama.

***


Bekasi, 10 Oktober 2014
*terinspirasi dari lagu Sheila On 7 – Tentang Hidup ( Cipt. Eross Chandra )



Pernah dipublikasikan di website-nya @KomtungTV. :D