“Mesin waktu itu sampai kapan pun tidak bakal pernah ada.”
“Kamu jadi cowok harusnya visioner dong. Dulu juga siapa yang tahu ponsel, komputer dan berbagai teknologi canggih lainnya bisa diciptakan,” Katanya mencoba menjelaskan. “Sama seperti hal-nya dengan mesin waktu, kelak pasti bakal ada.”
“Nggak mungkin lah. Aku ini lulusan Teknik Fisika. Manusia tidak mungkin bisa melawan putaran waktu.”
“Aku juga lulusan Teknik Fisika. Tapi bedanya aku lulus dalam waktu empat tahun. Kamu? Tujuh tahun, Ti. Tujuh tahun! Jadi aku yang lebih paham.”
“Bisa nggak sih nggakk usah bawa-bawa lulus kuliah berapa tahun.” Aku mulai sedikit kesal kepadanya.
“Nih baca!! Ilmuwan di Iran sudah berhasil menciptakan mesin yang memungkinkan manusia untuk melihat hidupnya di masa depan dengan akurasi 98%. Itu artinya membuat mesin waktu sekarang bukan hanya khayalan.” Katanya sambil menunjukan sebuah artikel dari iPad-nya.
“Berita apaan tuh? Mana mesin waktunya?!. Nggak penting,” balasku cuek.
“Kamu ih, selalu gitu.”
“Kamu tuh baca yang jelas dong beritanya, di sana tertulis ‘Mesin ini tidak akan membawa Anda ke masa depan, tapi akan membawa masa depan untuk Anda. Mesin ini bisa melihat hasil konfrontasi militer dengan negara-negara asing, mempersiapkan fluktuasi nilai mata uang asing dan perubahan harga minyak’.” Aku membacakan beberapa baris berita tersebut. “Itu sih namanya mesin prediksi bukan mesin waktu.”
Sudah empat cangkir kopi kunikmati hingga sore ini. Aku sebenarnya bukan termasuk orang yang menyukai kopi, terbukti dari caraku meminum kopi, penggemar kopi biasanya menikmati kopinya dengan meminumnya pelan-pelan, sedangkan aku minum kopi langsung ditenggak. Udah kaya minum sirup.
Risa Farizia.
Rasanya aku tidak perlu menjelaskan siapa dia, perempuan yang saat ini sedang berdebat tentang konsep mesin waktu. Karena nanti kalian juga akan tahu sendiri siapa si Risa ini.
“Seandainya Mesin Waktu itu ada dan bisa membawa kita kembali ke masa lalu. Kamu bakal memilih kembali ke momen apa di masa lalu, Ti? Mau ketemu aku di masa lalu nggak?” Ia kembali memulai perbicaraan.
“Ah, kamu bertanya sesuatu yang nggak bakal mungkin terjadi. Aku malas jawabnya.”
“Tinggal jawab aja susah banget sih!”
“Iya!” Aku membenarkan posisi duduk kemudian menatap matanya. “Kalau mesin waktu itu ditemukan, orang yang paling bahagia adalah mereka yang sering membuat kesalahan kemudian menyesal. Dengan adanya mesin waktu, tidak bakal ada lagi orang-orang yang akan menyesal setelah membuat kesalahan.”
“Iya. Terus kamu bakal ikut pergi ke masa lalu juga enggak? Kamu kan pernah bikin kesalahan sama aku.”
“Iya. Aku memang pernah membuat kesalahan. Tapi aku tidak ingin kembali ke masa lalu buat ketemu kamu. Karena-“
“Kenapa?”
“Karena aku tidak menyesal pernah mengenal seseorang yang bernama Risa Farizia.”
Dia menatapku agak lama mungkin sekitar tiga detik. Kemudian menunduk perlahan. Mungkin mencoba menyembunyikan wajahnya yang merona dan mencoba menahan senyum.
“Tapi seandainya aku bisa kembali ke masa lalu…” Aku melanjutkan pembicaraan. Kulihat wajahnya sudah tidak menunduk lagi. Tapi kulihat garis-garis bekas senyumannya tadi masih tersisa di bibirnya. “Aku bakal pergi ke masa di mana aku kena razia waktu SMA.”
“Memangnya kamu kena razia apa?”
“Razia rokok.”
“Ya ampun, Sakti. Cuma kena razia rokok aja sampai bela-belain balik pakai mesin waktu.”
“Yaa.. aku kesel aja. Abis aku nggak ngerokok tapi malah kena razia”
“Lah.. kok bisa kena razia?” Tanyanya keheranan.
“Aku kena razia soalnya aku bawa samurai.”
“AH GILA LO , AH!!” Dia menimpukku dengan tisu yang dari tadi dipegangnya.
“Apes banget ya aku, Ris. Ketangkep basah bawa samurai.Hahaha."
Jadi saat itu sewaktu SMA, aku pernah kena razia. SMA tempatku menuntut ilmu memang sering mengadakan razia rokok tiap bulannya. Bodohnya aku, sudah tahu bakal ada razia rokok, bukannya bawa rokok malah bawa samurai. Aku lolos dari razia rokok tapi enggak sengaja ketangkep razia senjata tajam.
“BODO AMAT! MASA LALU LO SEREM AH, TI!” Risa tiba-tiba kesal sendiri setelah mendengar ceritaku.
“Saat itu aku langsung digiring ke ruang BP, Ris. Berhadapan dengan Pak Hendra, guru yang terkenal karena suka main tangan--” Kedua Mataku memandang langit-langit mencoba kembali mengingat-ingat kejadian waktu itu.
“BODO AMAT! MASA LALU LO SEREM AH, TI!” Risa tiba-tiba kesal sendiri setelah mendengar ceritaku.
“Saat itu aku langsung digiring ke ruang BP, Ris. Berhadapan dengan Pak Hendra, guru yang terkenal karena suka main tangan--” Kedua Mataku memandang langit-langit mencoba kembali mengingat-ingat kejadian waktu itu.
“Wah abis dong kamu sama dia digamparin?! Sukurin!! Lagian bandel!”
“Enggak. Pak Hendra enggak main tangan tuh.” Jawabku tanpa rasa penyesalan.
“Kok bisa?” Tanyanya penasaran.
“Iya. Dia enggak main tangan, tapi main usir! Aku dikeluarin dari SMA saat itu juga tanpa buku rapot dan ijazah. Hahahaa”
“BODO AMAT!”
Aku hanya tertawa melihat dia geregetan karena mendengar ceritaku. Sejak mengenalnya pertama kali waktu kami kuliah di kota Bandung, baru kali ini aku menceritakan cerita sewaktu aku sekolah. Kami memang dekat sejak status kami menjadi seorang mahasiswa dan mahasiswi, bahkan sudah teramat dekat dan hampir kelewatan. Banyak teman-teman di kampus kami yang menganggap kami berpacaran, padahal sebenarnya tidak. Kami hanya berteman. Meskipun aku kepinginnya pacaran.Hahaha.
Tapi ternyata dia pergi terlalu cepat. Dia lulus dari kampus di tahun ke-4 sedangkan aku lulus di tahun ke tujuh. Oke! Aku ralat. Bukan dia yang pergi terlalu cepat tapi aku yang tinggal terlalu lama.
“Ssst.. ssst.. Ti!” Dia berbisik sambil mencolek punggung tanganku. Dan aku paham kode yang dia berikan.
Aku tersenyum kepadanya seolah memberi tanda berbicara kepadanya ‘Jangan khawatir, Risa. Aku paham’
“Mamah! Mamah! Masa tadi aku naik perosotan tinggiiiii banget.” Seorang anak kecil berusia sekitar 4 tahun berteriak sambil berlari dari arah belakangku dan berhenti di depan Risa.
“Ssst.. ssst.. Ti!” Dia berbisik sambil mencolek punggung tanganku. Dan aku paham kode yang dia berikan.
Aku tersenyum kepadanya seolah memberi tanda berbicara kepadanya ‘Jangan khawatir, Risa. Aku paham’
“Mamah! Mamah! Masa tadi aku naik perosotan tinggiiiii banget.” Seorang anak kecil berusia sekitar 4 tahun berteriak sambil berlari dari arah belakangku dan berhenti di depan Risa.
“Oh yaa? Raka berani? Emangnya Raka nggak takut?” Kata Risa kepada anak kecil tersebut sambil memegang kepalanya.
“Enggak, mah. Raka berani. Papah yang takut.”
“Wah hebat anak mamah”. Risa mencium bocah yang bernama Raka tersebut kemudian menggendong dan menaruhnya dipangkuannya. “Terus sekarang papah mana?”
“Itu papah!!” Teriak bocah itu sambil menunjukan jari mungilnya ke arahku.
Aku menengok ke belakang. Terlihat seorang laki-laki berambut klimis memakai jersey Manchester United dan berkaca mata nampak sedang berjalan ke arahku.
Imran. Entah siapa nama panjangnya. Aku lupa. Tapi yang aku ingat, dia adalah laki-laki yang sudah merebut Risa dariku. Jadi begini ceritanya, setelah lulus kuliah dan baru bekerja selama 3 bulan, Risa ternyata dijodohkan oleh orang tuanya dengan Imran. Kata ayahnya, Imran merupakan anak dari teman ayahnya sewaktu SMA, padahal ayahnya Risa itu nggak pernah SMA, dia setelah SMP langsung melanjutkan pendidikan di pesantren.
Aku tahu. Ini cuma akal-akalan mereka saja yang tidak merestui hubungan aku dengan Risa. Orang tua Risa tidak mau menunggu aku yang saat itu jangankan ada niat menikah, niat lulus saja enggak jelas. Tetapi untungnya Imran tidak tahu kalau aku pernah mempunyai hubungan dengan Risa. Dia juga tidak tahu kalau dulu aku merupakan musuh sekolahannya.
Seandainya dulu aku tidak terkena razia, mungkin dia sudah kuhabisi bersama dengan teman-temannya yang lain. Ya! Samurai yang aku bawa sewaktu SMA dulu kupersiapkan untuk menghajar Imran dan teman-temannya.
“Bagaimana, mas Sakti? Kira-kira tanggal 16 nanti di ulang tahunnya Raka mau dikasih konsep tema apa ya?"
Seandainya dulu aku tidak terkena razia, mungkin dia sudah kuhabisi bersama dengan teman-temannya yang lain. Ya! Samurai yang aku bawa sewaktu SMA dulu kupersiapkan untuk menghajar Imran dan teman-temannya.
“Bagaimana, mas Sakti? Kira-kira tanggal 16 nanti di ulang tahunnya Raka mau dikasih konsep tema apa ya?"
"Itu, mas--"
"Masalah biaya nggak masalah, kita percaya dengan kualitas dari EO-nya mas Saakti.” Potong Imran sambil memegang pundakku, mungkin lebih tepatnya menyandarkan tangannya di pundakku.
Aku berbalik badan sambil secara perlahan menyingkirkan tangannya, “Bagaimana kalau temanya Mesin Waktu, Mas? Jadi nanti teman-temannya Raka pakai kostum dari berbagai zaman gitu. Ada pakai kostum kaisar, samurai, tentara nazi, artis Hollywood era 50-an, 60-an, 70-an pokoknya semua zaman deh."
"Hemmm..."
"Bagaimana, mas? Tadi saya sudah bicara sama mba Risa katanya dia tertarik dengan konsep Mesin waktu.”
Kulihat Risa hanya tersenyum. Tapi senyumnya aneh. Mungkin dia tersenyum sambil menahan tawa.
“Lalu untuk orang dewasanya pakai kostum apa, mas Sakti?”
“Untuk orang dewasa termasuk teman-teman EO, nanti kita akan pakai kostum seragam SMA. Kita bakal menembus waktu kembali ke masa SMA. Bagaimana, mas Imran? Seru kan? Setuju?”
“Oke. Ide yang bagus, mas. Saya setuju!”
Aku tersenyum lalu mengambil smartphone dari saku celana. Membuka aplikasi Reminders.
NEW LIST
Raka Birthday (Risa)
Minggu, 16 November 2014.
Tema: Mesin Waktu
Kostum: Seragam SMA
PS: jangan lupa bawa samurai, ti. kali ini habisi dia! ^^
PS: jangan lupa bawa samurai, ti. kali ini habisi dia! ^^
***
Bekasi, 25 Oktober 2014
Cerpen ini pernah dipublikasikan di website-nya @KomtungTV.